IKUTILAH AHLI SYURA DAN PENDAPAT MAYORITAS KAUM
MUSLIMIN
Oleh : Hadya Noer
Akhir-akhir ini telah banyak kita lihat perbedaan
pendapat dikalangan umat Islam semakin meluas tidak hanya dikalangan para
Ulama, tetapi juga dikalangan intelektual islam. Parahnya lagi ranah yang
seharusnya menjadi "Ikhtilaful Ulama" ini menjadi konsumsi umat yang
notabene sama sekali tidak memiliki kapasitas keilmuan dalam bidangnya. Perang
pemikiran semakin berkembang terus seiring dengan perkembangan zaman (antara
umat islam dan islam sekuler/pembaharuan). Ini diperparah lagi dimana
pemerintah sebagai (ulil amri) tidak memiliki sikap ketegasan dalam menetapkan
berkenaan dengan perkara hukum itu tadi (karena negara tidak mengurus agama)
sebuah pemikiran yang "absurd" menurut saya. Sebagaimana yang telah
digambarkan oleh baginda nabi shallallahu'alaihiwasallam, "Barangsiapa
yang hidup lama sesudahku maka akan kalian temukan perselisihan yang besar
ditengah-tengah umat. Bila engkau temukan perselisihan itu maka kembalilah
kepada Al quran dan Sunnahku". Hadist ini shahih dan jelas sekali
keterangannya, namun ternyata tidak mudah untuk dijalankan.
Perkataan Nabi berkenaan kembalilah kepada Al
Quran dan Sunnah begitu jelas dikemukakan oleh baginda Nabi
Shallallahu'alaihiwasallam. Namun tidak semua orang diperkenankan melakukannya
(istinbath langsung kepada Al Quran dan Hadist).
Timbul pertanyaan siapakah yang mampu mengambil
hikmah atau istinbath hukum yang terkandung di dalam Al Quran dan Hadist itu
tadi. Ijtihad siapa yang harus kita ikuti ? bahkan ada dikalangan umat islam
ketika kita katakan ikutilah pendapat yang masyhur dikalangan (jumhur) ‘ulama,
mereka mengatakan ulama siapa, na'uzubillah?. Lalu kita bertanya agama islam
yang kita jalani selama ini dengan segala ketentuan (syari’at) nya ini apakah
langsung datang dari pada baginda nabi?. Lalu apa makna hadist "al 'ulama
warisatul anbiya"?.
Padahal ‘ulama itu sendiri adalah :
العارفون
بالكتاب و السنة
Mereka yang ‘arif dengan
Al Kitab dan As-sunnah (I’anatuth Thalibin : 3 : 157, Bab Waqaf)
Umat islam kita saat ini telah berada pada
degradasi iman, akhlaq dan islamnya. Inikah umat yang mampu membangun sebuah
peradaban? inikah umat yang mampu menetapkan ijtihad Dinul Islam? umat yang
terbaik?.
Di dunia ini hanya beberapa orang saja yang
disebut sebagai ulama mufassirin dan muhaddistin yang memiliki kemampuan dan
kapasitas keilmuan di bidangnya. Diantaranya adalah :
- Fadhilah
Syeikh DR.Wahbah Zuhaili (Syafi’iy),
- Syeikh
DR. Ramadhan Al Buthi (Syafi’iy),
- Syeikh
DR.Ali Jum'ah (Syafi’iy),
- Syeikh
DR.Yusuf Qardhawi (Kontemporer) dan
- Allahyarham
Maulana Syeikh DR.Muhammad Hasan Al Maliki Al Makki (Maliki/Syafi’iy).
Mereka adalah ulama mujtahidin namun mereka tetap
bermazhab kepada ulama-ulama mu’tabarah. Perhatikan dari ke-5 ulama tadi
sebagian besar bermazhab Syafi’iy. Bila kita ingin menggunakan pendapat sendiri
maka bangunlah agama sendiri (Ahlul bid'ah).
Dalam menyikapi perbedaan pandangan ini saya
tertarik untuk mencoba menarik benang merah dimana kita umat islam kita ini
harus bersandar (dalam masalah aqidah, syariat dan mu’amalah). Ini muncul
bermula adanya seorang tokoh ormas islam yang mengatakan, keputusan MUI
bersifat "one man show" dan tidak sesuai dengan semangat demokrasi
(dalam penentuan isbath 1 Ramadhan dan 1 Syawwal). Pertanyaannya apakah kita
ikuti demokrasi ataukah Ayat wal Hadits dalam penetapan masalah agama ?.
Berikut pendapat para ulama-ulama mutaqaddimin dalam
menyikapi pendapat dikalangan umat :
(As Shamad Al A'zam) : Dalam kitab "At-Tariq
Ila Jamaah Al-Muslimin", tulisan Husain bin Muhsin bin Ali Jabir
menyatakan, syarat ahli majlis Syura adalah seperti berikut; [m.s : 60]
1-
Adil [tidak buat dosa kecil dan besar]
2-
Bertaqwa [tidak dikenal sebagai orang yang
melakukan pengkhianatan kepada Allah dan umat].
3-
Memiliki Ilmu tentang Al-Quran dan hadist dan yang
berkaitan dengannya
4-
Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang
perkara yang diminta pandangan [Al-Mustasyar Fih ; المستشار
فيه] ]
5-
Kebijakan Luar Biasa.
6-
Amanah dan benar.
Nabi Shallallahu'alaihiwasallam menerima pandangan
mayoritas ketika berlaku perbedaan pendapat; Sabda Nabi
Shallallahu'alaihiwasallam ;
إِنَّ
أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا
فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ
Maksudnya; “Sesungguhnya Umatku tidak akan
bersepakat atas kesesatan. Sekiranya kamu lihat perselisihan, maka hendaklah
kamu ambil “As-Sawad Al-‘Azam”” [Ibnu Majah : 3940]
Dalam menafsirkan maksud “Sawadul A’zham”, Kitab
As-Sindi menyatakan;
أَيْ بِالْجَمَاعَةِ الْكَثِيرَة
فَإِنَّ اِتِّفَاقهمْ أَقْرَب إِلَى الْإِجْمَاع
Maksudnya : “Jama’ah yang ramai. Karena,
kesepakatan mereka itu lebih mendekati kepada ijma'” [Hasyiah As Sindi :3942]
Imam As-Sayuti dalam menafsirkan “Sawadul A’zham”;
أَيْ جَمَاعَة النَّاس وَمُعْظَمهمْ
الَّذِينَ يَجْتَمِعُونَ
عَلَى سُلُوك الْمَنْهَج الْمُسْتَقِيم وَالْحَدِيث يَدُلّ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي الْعَمَل بِقَوْلِ
الْجُمْهُور
Maksudnya; “Ia adalah himpunan manusia dan
kebanyakan yang mereka bersepakat atas melalui jalan yang betul. Hadis itu
menunjukkan bahawa selayaknya beramal dengan perkataan mayoritas” [Hasyiah
As-Sindi : 3940]
Al-Munawi pula berkata;
)فعليكم بالسواد الأعظم) من أهل
الإسلام أي الزموا متابعة جماهير المسلمين فهو الحق الواجب والفرض الثابت الذي
لا يجوز خلافه فمن خالف مات ميتة جاهلية
Maksudnya; “[hendaklah kamu ikut Sawadul A’zham
dari ahli islam] yaitu, lazimnya mengikut pendapat mayoritas orang islam,
karena ia adalah kebenaran yang wajib dan fardhu yang pasti, yang tidak boleh
menyalahinya. Barangsiapa menyalahinya, lalu ia mati, maka ia mati dalam
keadaan jahiliyyah” [Faidhul Qadir : 2/547] Pendapat ini, sesuai dengan sabda
Nabi Shallallahu'alaiwasallam ;
اثْنَانِ خَيْرٌ مِنْ وَاحِدٍ وَثَلَاثٌ خَيْرٌ مِنْ اثْنَيْنِ
وَأَرْبَعَةٌ خَيْرٌ مِنْ ثَلَاثَةٍ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجْمَعَ أُمَّتِي إِلَّا عَلَى هُدًى
Maksudnya; “dua lebih baik dari satu. Tiga lebih
baik dari dua. Empat lagi baik dari tiga. Hendaklah kamu dengan jama’ah
[mayoritas], karena Allah SWT tidak akan menghimpunkan umatku kecuali atas
petunjuk”
[Musnad Ahmad : 20331] Imam Al-Munawi menyebutkan
tentang Jamaah:
))وعليكم بالجماعة)) أي أركان الدين والسواد
الأعظم من أهل السنة أي الزموا هديهم فيجب اتباع ما هم عليه من العقائد والقواعد وأحكام الدين
Maksudnya: “(Hendaklah kamu bersama dengan
Al-Jamaah) yaitu berpegang dengan rukun-rukun agama dan As-Sawad Al-A’zam dari
kalangan Ahlus-Sunnah. Yaitu, kamu ikutilah petunjuk mereka. Maka hendaklah seseorang
itu mengikut apa yang mereka berpegang dengannya daripada Aqidah (Mazhab
Aqidah), Qawa’id (Usul Aqidah dan Usul Fiqh) dan Hukum Agama (Mazhab Fiqh).
[Al-Faidh Al-Qadir 3/101]
Makna As Sawadul A’zham :
As Sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam,
dalam bentuk plural. Al A’zam artinya besar, agung, banyak. Sehingga As Sawadul
A’zham secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang
sangat banyak. Menggambarkan orang-orang yang sangat banyak karena rambut
mereka umumnya hitam.
Dalam terminologi syar’iy, kita telah dapati bahwa
As Sawaadul A’zham itu semakna dengan Al Jama’ah. Sebagaimana penjelasan Ath
Thabari : “…Dan makna Al Jama’ah adalah As Sawadul A’zam. Kemudian Ath Thabari
berdalil dengan Riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau
berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan
terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah
karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan.. ”
(Fathul Baari, 13/37)
Dalam Hadist lain Rasulullah
shallallahu'alaihiwasallam bersabda :
“Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya.
Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia.
Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki
pengikut. Lalu diperlihatkan kepadaku sekelompok hitam yang sangat besar, aku
mengira itu adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘itulah Nabi Musa
'alaihisalam dan kaumnya’. Dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke arah ufuk’. Aku melihat
sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan lagi, ‘Lihat juga ke arah ufuk
yang lain’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan kepadaku,
‘Inilah umatmu dan diantara mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa
hisab dan tanpa adzab’.” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)
Maka makna As Sawaadul A’zham mencakup seluruh
makna dari Al Jama’ah. Dipertegas lagi dengan beberapa penjelasan lain dari
para sahabat dan para ulama mengenai makna As Sawaadul A’zham berikut ini.
Sahabat Nabi, Abu Umamah Al Bahili
Radhiallahu’anhu, berkata : “Berpeganglah kepada As Sawadul A’zam. Lalu ada
yang bertanya, siapa As Sawadul A’zham itu? Lalu Abu Umamah membaca ayat dalam
surat An Nur:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ
مَا حُمِّلَ
وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
(HR. Ahmad no.19351. Sanadnya shahih sebagaimana
dikatakan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 5/220) Allah berfirman :
“Katakanlah (wahai Muhammad): “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul;
dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang
dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang
dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat
petunjuk.
Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS. An Nuur: 54)
Dalam ayat lain saya tambahkan Allah Ta'ala
berfirman :
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا
Maksudnya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.(An Nisa : 115)
Abu Umamah mengisyaratkan bahwa makna As Sawadul
A’zam adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, atau dengan kata
lain, pengikut kebenaran.
Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy (wafat 242H)
berkata: “Berpeganglah pada As Sawadul A’zham. Orang-orang bertanya, siapa As
Sawadul A’zhham itu? Beliau (Muhammad bin Aslam) menjawab, ia adalah seorang
atau dua orang yang berilmu, yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengikuti jalannya. Bukanlah As Sawaadul
A’zham itu mayoritas kaum muslimin secara mutlak. Barangsiapa berpegang pada
seorang atau dua orang tadi dan mengikutinya, maka ia adalah Al Jama’ah. Dan
barangsiapa yang menyelisihi mereka, ia telah menyelisihi ahlul jama’ah”
(Thabaqat Al Kubra Lisy Sya’rani, 1/54)
Muhammad bin Aslam sendiri oleh ulama sezamannya,
Ishaq bin Rahawaih (wafat 238H), dikatakan sebagai As Sawaadul A’zham: Ada
seorang yang bertanya, wahai Abu Ya’qub (Ishaq bin Rahawaih), siapa As Sawadul
A’zham itu? Beliau menjawab: Muhammad bin Aslam, murid-muridnya dan para
pengikutinya. Kemudian beliau berkata: Aku tidak pernah mendengar orang yang
alim sejak 500 tahun yang lebih berpegang teguh pada sunnah Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam selain Muhammad bin Aslam” (Siyar ‘Alamin Nubala,
9/540)
Abdullah Bin Mubarak (wafat 181H) ditanya as
sawaadul a’zham: “Seorang lelaki bertanya kepada Ibnul Mubarak, wahai Abu
Abdirrahman siapa As Sawadul A’zam itu? Beliau menjawab, Abu Hamzah As Sakuni”
(Hilyatul Aulia, 9/238)
Lihatlah Imam Al-Munawi membuat kesimpulan
bahwasanya Al-Jamaah adalah suatu:
Ø Rukun-rukun
agama
Ø As-Sawad
Al-A’zam
Ø Ahlus-Sunnah
Maksudnya, berpegang dengan As-Sawad Al-A’zam
berarti berpegang dengan Ahlus-Sunnah. Berpegang dengan Ahlus-Sunnah berarti
berpegang teguh dengan rukun-rukun agama. Berpegang dengan rukun-rukun agama
tersebutlah berarti berpegang teguh dengan Al-Jamaah.
Maka, bagaimana dapat berpegang dengan As-Sawad
Al-A’zam? Imam Al-Munawi menyebutkan bahwasanya, kita perlu mengikut manhaj
mereka dalam perkara-perkara :
Ø Aqidah
Ø Ushul
(kaedah2 baik dalam fiqh atau aqidah)
Ø Fiqh.
Jadi, pegangan "mayoritas" ulama' adalah
berkenaan dengan tiga bidang agama tersebut yaitu Kesepakatan dalam bidang
Aqidah pada masalah2 Ushul (yang bersumberkan dalil2 qath'iy tsubut dan
dilalah) dan kesepakatan dalam bidang Usul (Usul Aqidah atau Fiqh)
Syeikh Asy Syatibi berkata sebagai berikut yang
bermaksud : "Fatwa-fatwa para mujtahid itu bagi para orang awam bagaikan
dalil syariat bagi para mujtahidin. Adapun alasannya ialah ada atau tidak
adanya dalil bagi orang yang taqlid (muqallid) adalah sama saja. Karena mereka
sedikit pun tidak mampu mengambil faedah darinya. Jadi, masalah meneliti
istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka tidak diperkenankan melakukan hal
tersebut (Al Muwafaqat) .
Dan sungguh Allah Subhanhu wa ta'ala telah
berfirman yang bermaksud :
...
ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ
ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"(Maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui) – (Surah An Nahl :43)
Orang yang taqlid bukanlah orang yang ‘alim. Oleh
kerana itu, tidak sah baginya selain bertanya kepada ahli ilmu. Para ahli ilmu
itulah tempat kembali baginya dalam urusan hukum agama secara mutlak. Jadi,
kedudukan mereka bagi orang yang taqlid serta ucapannya seperti syara'."
Wallahuwalyyuttaufiq Walhidayah Wassalamu'alikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Al Faqir,
Hadya Noer (https://www.facebook.com/hadya.noer)
Pengurus Harian DPP PERTI
Diedit dan ditambah kembali oleh Nawawi Hakimis
Ketua Pemuda Islam Perti Manggeng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar