Saleum Troeh Teuka

Saleum Troeh Teuka
Selamat datang wahai saudaraku ke tempat kami

Jumat, 20 Juli 2012

Keutamaan Shalat Tarawih Malam 1 sd 30

KEUTAMAAN SHALAT TARAWIH MALAM KE-1 S.D 30

Dalam Riwayat Al-Muslim : “Semua amal anak Adam dilipat gandakan pahalanya, setiap kebaikan 10 kali lipat, hingga 700 kali, kecuali puasa Akulah (ALLAH) yang membalasnya, sebab ia meninggalkan syahwat dan makan minumnya hanya karena Aku, dan baginya ada dua kegembiraan pertama ketika berbuka dan kedua ketika berjumpa Tuhannya. Sungguh bau mulutnya, bagi Allah melebihi harumnya kasturi”
Dalam Riwayat Al-Muslim : “Semua amal anak Adam dilipat gandakan pahalanya, setiap kebaikan 10 kali lipat, hingga 700 kali, kecuali puasa Akulah (ALLAH) yang membalasnya, sebab ia meninggalkan syahwat dan makan minumnya hanya karena Aku, dan baginya ada dua kegembiraan pertama ketika berbuka dan kedua ketika berjumpa Tuhannya. Sungguh bau mulutnya, bagi Allah melebihi harumnya kasturi”

Hadist Rasulullah Salallahualaihiwassalam, dalam Kitab Durratun Nasihin yang disusun oleh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syaakir Alkhaubawiyyi yang telah diterjemahkan oleh Abdullah Shonhadji Ali bin Abi Thalib Ra, berkata, bahwa pada suatu waktu Nabi Muhammad SAW ditanya tentang keutamaan Shalat Tarawih di bulan Ramadhan bagi orang yang melakukannya karena Allah SWT, maka beliau bersabda (30 keutaamaan tarawih -red) (HR Majalis).
[maksud dari HR Majalis disini adalah periwayat dari para tabi’ tabi’in Bukhari, Muslim, Imam, dll yang membenarkan hadist diatas.]

Berikut :
Dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa dia berkata: Nabi SAW ditanya tentang keutamaan-keutamaan tarawih di bulan Ramadhan. Kemudian beliau bersabda malam ke:
  1. Orang mukmin keluar dari dosanya pada malam pertama, seperti saat dia dilahirkan oleh ibunya.
  2. Ia diampuni, dan juga kedua orang tuanya, jika keduanya mukmin.
  3. Seorang malaikat berseru dibawah ‘Arsy: “Mulailah beramal, semoga Allah mengampuni dosamu yang telah lewat.”
  4. Dia memperoleh pahala seperti pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqan (Al-Quran).
  5. Allah Ta’ala memeberikan pahala seperti pahala orang yang shalat di Masjidil Haram, masjid Madinah dan Masjidil Aqsha.
  6. Allah Ta’ala memberikan pahala orang yang berthawaf di Baitul Makmur dan dimohonkan ampun oleh setiap batu dan cadas.
  7. Seolah-olah ia mencapai derajat Nabi Musa a.s. dan kemenangannya atas Fir’aun dan Haman.
  8. Allah Ta’ala memberinya apa yang pernah Dia berikan kepada Nabi Ibrahin as
  9. Seolah-olah ia beribadat kepada Allah Ta’ala sebagaimana ibadatnya Nabi saw.
  10. Allah Ta’ala mengaruniai dia kebaikan dunia dan akhirat.
  11. Ia keluar dari dunia seperti saat ia dilahirkan dari perut ibunya.
  12. Ia datang pada hari kiamat sedang wajahnya bagaikan bulan di malam purnama.
  13. Ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari segala keburukan.
  14. Para malaikat datang seraya memberi kesaksian untuknya, bahwa ia telah melakukan shalat tarawih, maka Allah tidak menghisabnya pada hari kiamat.
  15. ia didoakan oleh para malaikat dan para penanggung (pemikul) Arsy dan Kursi.
  16. Allah menerapkan baginya kebebasan untuk selamat dari neraka dan kebebasan masuk ke dalam surga.
  17. ia diberi pahala seperti pahala para nabi.
  18. Seorang malaikat berseru, “Hai hamba Allah, sesungguhnya Allah ridha kepadamu dan kepada ibu bapakmu.”
  19. Allah mengangkat derajat-derajatnya dalam surga Firdaus.
  20. Allah memberi pahala para Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan shalihin (orang-orang yang saleh).
  21. Allah membangun untuknya sebuah gedung dari cahaya.
  22. Ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari setiap kesedihan dan kesusahan.
  23. Allah membangun untuknya sebuah kota di dalam surga.
  24. Ia memperoleh duapuluh empat doa yang dikabulkan.
  25. Allah Ta’ala menghapuskan darinya azab kubur.
  26. Allah mengangkat pahalanya selama empat puluh tahun.
  27. Ia dapat melewati shirath pada hari kiamat, bagaikan kilat yang menyambar.
  28. Allah mengangkat baginya seribu derajat dalam surga.
  29. Allah memberinya pahala seribu haji yang diterima.
  30. Allah ber firman : “Hai hamba-Ku, makanlah buah-buahan surga, mandilah dari air Salsabil dan minumlah dari telaga Kautsar. Akulah Tuhanmu, dan engkau hamba-Ku.”
Akhirnya, semoga amal ibadah kita diterima dan kita mendapatkan pangkat dan derajat dari Allah sebagai seorang yang bertakwa.

Sumber Hadist dari Kitab Duratun Nasihin, Bab Keistimewaan Bulan Ramadhan.

Selasa, 17 Juli 2012

Kritisi Pelaksanaan Shalat Tarawih 4 Raka’at


Kritisi Pelaksanaan Shalat Tarawih 4 Raka’at




Masalah :

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

Dan

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ

Kajian :

Tarawih, (kadang-kadang disebut teraweh atau taraweh) adalah salat sunnat yang dilakukan khusus hanya pada bulan Ramadhan.

Tarawih ( تَراوِيْح )dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari تَرْوِيْحَةٌ yang diartikan sebagai "waktu sesaat untuk istirahat". (duduk bersenang-senang atau beristirahat.) sehingga dikatakan orang bahwa Shalat Tarawih berarti shalat dengan rasa senang dan kelapangan hati setelah shalat fardhu Isya'

Tarawih menurut asal katanya ialah duduk untuk istirahat setelah mengerjakan sembahyang empat rakaat shalat tarawih. Setiap empat rakaat dinamakan tarawih adalah sebagai majaz, kerana adabnya beristirahat sesudah pelaksanaan 4 rakaat.

Tarawih itu disebut juga dengan Qiyamu Ramadhan. Sembahyang Tarawih dikerjakan setelah mengerjakan sembahyang Isya’ dan waktunya berpanjangan sehingga akhir malam.

Pelaksanaan yang terjadi

Banyak orang mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam, dengan dalil hadis Siti Aisyah sebagai berikut:

 مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

Artinya: 
Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya ”Ya Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat Witir”? Kemudian beliau menjawab: ”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur”.

Banyak orang terkecoh dan terjebak dalam memahami penjelasan Imam Muhammad al-Shan’âniy dalam kitab Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, sehingga mereka mengatakan tata cara shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam disebutkan dalam kitab itu. Untuk menjawab tuduhan itu, mari kita lihat secara langsung redaksi Imam Muhammad al-Shan’âniy, sebagai berikut:

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ فَصَّلَتْهَا بِقَوْلِهَا ( يُصَلِّي أَرْبَعًا ) يُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُتَّصِلَاتٌ وَهُوَ الظَّاهِرُ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُنْفَصِلَاتٌ وَهُوَ بَعِيدٌ إلَّا أَنَّهُ يُوَافِقُ حَدِيثَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى .

Artinya; 
Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Kemudian Siti A’isyah merincikan shalat Rasulullah dengan perkataannya:”Beliau shalat 4 rakaat”. Redaksi ini memiliki kemungkinan 4 rakaat dilakukan sekaligus dengan 1 salam, ini adalah yang zhahir, dan juga bisa dipahami 4 rakaat itu dilakukan secara terpisah (2 rakaat- 2 rakaat), tetapi pemahaman ini jauh hanya saja ia sesuai dengan hadis Shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat. (Muhammad Ibn Ismâîl al-Shan’âniy, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, vol. 2 h. 27).

Maksud perkataan Imam Muhammad al-Shan’âniy:” 4 rakaat dilakukan dengan sekali salam, dipahami menurut zhahir/tekstual hadis. Sedangkan pelaksanaan 4 rakaat dengan 2 salam menjadi jauh bila tidak ada keterangan dari hadis lain. Tetapi 4 rakaat dengan cara 2 salam memiliki kekuatan dengan adanya keterangan hadis Shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat-2 rakaat.

Dalam hal ini Imam Syafii mengatakan dalam kitab al-Risâlah sebagai berikut:

فَكُلُّ كَلَامٍ كَانَ عَامًا ظَاهِرًا فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَهُوَ عَلَى ظُهُوْرِهِ وَعُمُوْمِهِ حَتَّى يُعْلَمَ حَدِيْثٌ ثَابِتٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ

Artinya: 
“Setiap perkataan Rasulullah dalam hadis yang bersifat umum/zhahir diberlakukan kepada arti zhahir dan umumnya sehingga diketahui ada hadis lain yang tetap dari Rasulullah”. (9 Muhammad Ibn Idrîs al-Syâfiiy, al-Risâlah, Jakarta: (Dinamika Jakarta t.t) h. 148).

Maksud dari  perkataan Imam Syafii adalah redaksi hadis yang masih bersifat umum/zhahir, boleh-boleh saja dipahami demikian adanya, dengan catatan selama tidak ada keterangan lain dari hadis Rasulullah. Tetapi bila ditemukan hadis Rasulullah yang menjelaskan redaksi zhahir dan umum satu hadis, maka hadis tersebut tidak boleh lagi dipahami secara zhahir dan umum.

Jika hendak dipertentangkan, hadis tentang shalat yang dikerjakan 2-2 lebih kuat dan lebih banyak diamalkan oleh umat sebab ia merupakan hadis Qauliy (perkataan Nabi) dalam riwayat lain dikatakan juga sebagai hadis Fi’liy (perbuatan Nabi), sedangkan hadis Siti Aisyah 4-4 hanya merupakan hadis Fi’liy (perbuatan Nabi).

Ketika terjadi perbedaan antara perkataan Nabi dengan perbuatannya maka yang harus dilakukan umatnya adalah mengamalkan apa yang diperintahkannya (perkataannya), sebabnya adalah lantaran perbuatan Nabi bisa jadi merupakan kekhususan bagi beliau yang tidak berlaku bagi umatnya. Contohnya adalah tentang kandungan surat Annisa ayat 3 sebagai perintah Nabi kepada para sahabat dan umatnya agar tidak memiliki istri lebih dari 4 orang. Padahal beliau sendiri di akhir hayatnya meninggalkan 9 orang istri. Dalam hal ini yang berlaku adalah kita tetap tidak boleh memiliki istri lebih dari 4. Sementara beristri lebih dari 4 merupakan kekhususan yang hanya boleh bagi Nabi.

Dengan kaidah ini, maka mengerjakan shalat malam dengan 2-2 rakaat lebih tepat ketimbang mengerjakannya dengan 4-4 rakat sekali salam, sebab bisa jadi shalat 4-4 rakaat merupakan sesuatu yang khusus bagi Nabi.

Masih ada cara lain yang paling mudah untuk memahami hadis Siti Aisyah yakni dengan mencari ucapan Aisyah sendiri pada lain kesempatan. Kita tentu berhak mempertanyakan kembali apakah yang dimaksud Siti Aisyah 4 rakaat benar-benar sekali salam??? Ternyata Siti Aisyah sendiri sebagai periwayat hadis 4-4 menjelaskan dalam hadis lain bahwa yang dimaksud dengan 4 rakaat pelaksanaannya adalah dengan 2-2.

Perhatikanlah penjelasan Siti Aisyah pada hadis berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ.

Artinya: 
Dari Aisyah berkata: ”Seringkali Rasulullah melakukan shalat antara selesai shalat Isya yang disebut orang dengan shalat ’Atamah sampai Fajar beliau mengerjakan shalat 11 rakaat, beliau melakukan salam pada tiap 2 rakaat dan melakukan 1 rakaat Witir. Apabila seorang Muadzzin selesai dari azan shalat Shubuh yang menandakan fajar telah datang, Muadzzin tersebut mendatangi beliau beliau pun melakukan shalat 2 rakaat ringan setelah itu beliau berbaring (rebah-rabahan) atas lambungnya yang kanan sampai Muadzzin itu mendatangi beliau untuk Iqamah (Imam Muslim dalam kitab Shahihnya hadis no: 1216, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak hadis No: 1671, Imam al-Darimiy dalam sunannya hadis No: 1447, Imam al-Bayhaqiy dalam al-Sunan al-Shughra hadis No: 600, al-sunan al-Kubra hadis No: 4865 dan Ma’rifah Sunan Wa al-Atsar hadis No: 1435).

Dalam Riwayat hadis Imam al-Bukhariy dari sahabat Nabi, Abdullah Ibn Umar:

إِنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ صَلَاةُ اللَّيْلِ قَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ . (صحيح البخاري رقم : 1069(

Artinya:
Sesungguhnya Seorang lelaki bertanya; Ya Rasulullah, bagaimana cara shalat malam? Rasulullah menjawab; Shalat malam itu 2 rakaat-2 rakaat. Maka apabila engkau khawatir subuh maka shalat witirlah engkau dengan satu rakaat.

Nashiruddin al-Albaniy dalam bukunya “صلاة التراويح” sebagai berikut:

وَصَدَقَ رَحِمَهُ اللهُ فَقَوْلَ الشَّافِعِيَّةُ: "يَجِبُ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَإِذَا صَلاَّهَا بِسَلاَمٍ وَاحِدٍ لَمْ تَصِحُّ"، كَمَا فِي اْلفِقْهِ عَلَي اْلمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَشَرْحِ اْلقَسْطَلاَنِي عَلَي اْلبُخَارِي وَغَيْرِهَا خِلاَفُ هَذَا اْلحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَمَنَافٌ لَقَوْلِ النَّوَوِي بِاْلجَوَازِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ اْلعُلَمَاءِ اْلمُحَقِّقِيْنَ فِي اْلمَذْهَبِ الشَّافِعِي فَلاَ عَذْرَ لِأَحَدٍ يُفْتِي بِخَلاَفِهِ. [صلاة التراويح، ص: 17-18]

Artinya: 
“Dan sungguh benar ucapan Imam an-Nawawi rahimahullah itu, maka mengenai pendapat ulama-ulama Syafi’iyyah bahwa wajib salam tiap dua raka’at dan bila shalat empat raka’at dengan satu salam tidak sah, sebagaimana terdapat dalam kitab fiqih mazhab empat itu dan uraian al-Qasthallani terhadap hadis al-Bukhari dan lainnya, hal itu menyalahi hadis (Aisyah) yang shahih itu serta menafikan terhadap ucapan (pendapat) an-Nawawi yang mengatakan hukum boleh (jawaz) itu. Padahal an-Nawawi salah seorang ulama besar ahli tahqiq dalam mazhab Syafi’i, hal itu tidak bisa ditolerir (dibenarkan) bagi siapapun juga berfatwa menyalahi ucapan beliau itu.” [Shalatut-Tarawih, hal 17-18]

Imam Nawawiy al-Dimasyqiy:

يَدْخُلُ وَقْتُ التَّرَاوِيْحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ ذَكَرَهُ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ وَيَبْقَى إِلَى طُلُوْعِ اْلفَجْرِ وَلْيُصَلِّهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ كَمَا هُوَ اْلعَادَةُ فَلَوَْصَلَّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيْمةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ الْقَاضِى حُسَيْنٌ فيِ فَتَاوِيْهِ ِلاَنَّهُ خِلاَفُ الْمَشْرُوْعِ قَالَ وَلاَ تَصِحُّ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ بَلْ يَنْوِى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ أَوْ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ أَوْ قِيَامَ رَمَضَانَ فَيَنْوِيْ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ مِنْ صَلاَةِ التَّرَاوِيحِ . )المجموع شرح المهذب : ج 4 ص : 38 (دار الفكر 2000(

Artinya:
”Masuk waktu shalat Tarawih itu setelah melaksanakan shalat Isya. Imam al-Baghawi dan lainnya menyebutkan: “waktu tarawih masih ada sampai terbit fajar”. Hendaklah seseorang mengerjakan shalat Tarawih dengan dua rakaat-dua rakaat, sebagaimana kebiasaan shalat sunah lainnya. Seandainya ia shalat dengan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah. Hal ini telah dikatakan oleh al-Qâdhi Husain dalam fatwanya, dengan alasan hal demikian menyalahi aturan yang telah disyariatkan. Al-Qâdhi juga berpendapat seorang dalam shalat Tarawih ia tidak boleh berniat mutlak, tetapi ia berniat dengan niat shalat sunah Tarawih, shalat Tarawih atau shalat Qiyam Ramadhan. Maka ia berniat pada setiap 2 rakaat dari shalat Tarawih.

Imam Ahmad Ibn Hajar al-Haytamiy:

اَلتَّرَاوِيْحُ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً , وَيَجِبُ فِيْهَا أَنْ تَكُوْنَ مَثْنَى بِأَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ , فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ لِشِبْهِهَا بِاْلفَرْضِ فِي طَلَبِ الْجَمَاعَةِ فَلاَ تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ بِخِلاَفِ نَحْوِ سُنَّةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ . )فتح الجواد شرح الارشاد :ج 1 ص : 163 (مكتبة اقبال حاج ابراهيم سيراغ ببنتن 1971(

Artinya: 
Shalat Tarawih itu 20 rakaat, wajib dalam pelaksanaanya dua-dua, dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Bila seseorang mengerjakan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah karena hal tersebut menyerupai shalat fardhu dalam menuntut berjamaah, maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang). Lain halnya dengan shalat sunah Zuhur dan Ashar (boleh dikerjakan empat rakaat satu salam) atas Qaul Mu’tamad.
===

Dari berbagai sumber

Senin, 16 Juli 2012

Bersedekah Dari Harta Yang Tidak Jelas


Kajian | Hukum bersedekah kafir atau muslim dari harta yang tidak jelas kehalalalannya untuk kepentingan islam


Akhy fillah, Mari kita lihat Firman Allah berikut : 

قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ وَلاَتَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَتَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعَكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَاكُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ {164}

“.... dan tiadalah (kejahatan) yang diusahakan oleh sesuatu jiwa (seorang) melainkan dialah yang menanggung dosanya; dan seseorang yang boleh memikul tidak akan memikul dosa orang lain”. (Surah al-An’am, ayat 164)
====

Riwayat Imam Bukhari dalam kitab sahihnya:


 
ما رواه أنس بن مالك رضي الله عنه أن يهودية أتت النبي صلى الله عليه وسلم بشاة مسمومة فأكل منها، فجيء بها فقيل: ألا نقتلها؟ قال:"لا". فما زلت أعرفها في لهوات رسول الله صلى الله عليه وسلم.{رواه البخاري{.

Riwayat Anas bin Malil ra, sesungguhnya seorang Yahudi wanita berjumpa Nabi saw membawa kambing yang diletak racun. Nabi saw pun makan. Kemudian wanita tersebut dibawa kepada Nabi saw dan baginda ditanya “ Apakah perlu kita membunuhnya?” Nabi saw menjawab “Tidak perlu.” Anas berkata “ Aku sentiasa ingat daging kambing itu berada dalam mulut Nabi saw.”


قال أنس رضي الله عنه: أهدي للنبي صلى الله عليه وسلم جبة سندس وكان ينهى عن الحرير، فعجب الناس منها، فقال:"والذي نفس محمد بيده لمناديل سعد بن معاذ في الجنة أحسن من هذا"

Anas bin Malik ra berkata: Nabi saw dihadiahkan jubah diperbuat dari kain sundus dan sebelum itu Nabi saw telah melarang lelaki dari memakai kain sutera. Lalu orang ramai kagum dengan kain tersebut. Nabi saw pun bersabda “ Dan demi tuhan yang mana diriku dalam kekuasaannya, sesungguhnya kain sapu tangan Saad bin Muaz dalam syurga lebih baik dari kain ini.”
====

Dalam kitab “Mughnil Muhtaj” karangan Syeikh Syarbaini seorang Ulama mazhab Syafi’iy:

وَقَبِلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةَ الْمُقَوْقَسِ الْكَافِرِ وَتَسَرَّى مِنْ جُمْلَتِهَا بِمَارِيَةَ الْقِبْطِيَّةِ وَأَوْلَدَهَا".


"Nabi saw telah menerima hadiah dari Muqauqis seorang raja yang kafir. Termasuk dari hadiah tersebut adalah Mariah Qibtiyyah dan anak-anaknya.”
=====

Dr Yusuf al-Qaradawi ketika ditanya mengenai uang riba ke mana patut disalurkan, beliau menyebut antaranya:
“Sebenarnya, uang tersebut keji (haram) melihat kepada orang mendapatkan secara tidak halal, tetapi ia baik (halal) untuk fakir miskin dan badan-badan kebajikan…

(penyelesaiannya) disalurkan ke badan-badan kebajikan yaitu fakir miskin, anak-anak yatim, orang terputus perjalanan, institusi-institusi kebajikan islam, dakwah dan kemasyarakatan..” (al-Fatawa al-Mu’asarah 2/411, Beirut: Dar Ulil Nuha).
====

Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq r.a pernah bertaruh (di awal Islam) dengan seorang Musyrik (tentang ketepatan Al-Quran dari surah Ar-Rum ayat pertama dan kedua yang mengisyaratkan kejatuhan kerajaan Roma). Saat Roma benar-benar jatuh/kalah, Sayyidina Abu Bakar muncul sebagai pemenang dan telah memperoleh harta pertaruhan itu (harta tersebut hukumnya haram karena judi dan tujuan Abu Bakar hanyalah untuk membuktikan kebenaran al-Quran).

Saat Sayyidina Abu Bakar datang kepada Rasulullah s.a.w menceritakan perihal harta dari pertaruhan tersebut, Rasulullah bersabda :
هذا سحت فتصدق به
Artinya : Ini kotor, sedeqahkan ia. (At-Tirmizi . 16/22 ; At-Tirmizi : Sohih)

Setelah peristiwa ini, barulah turun perintah pengharaman judi secara sepenuhnya sekalipun dengan orang kafir. (Tafsir At-Thabari, 20/16) Kisah ini dengan jelas menunjukkan Nabi tidak mengarahkannya dikembalikan kepada si Kafir, tetapi disedeqahkan untuk tujuan umum dan kebaikan ramai.
===

Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya At-Tafsir ai-Munier Juz X halaman 140-141/"Menurut pendapat yang paling shahih (valid) bahwa, orang kafir diperbolehkan membantu pembangunan masjid dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan pembangunan masjid seperti menjadi tukang batu dan tukang kayu. Karena hal ini tidak termasuk larangan yang termaktub pada surat at-Taubah ayat 17-18:
مَا كَانَ لِلمُشْرِكِينَ أَن يَعْمُرُواْ مَسَاجِدَ الله شَاهِدِينَ عَلَى أَنفُسِهِمْ بِالكُفْرِ أُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ(17) إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ المُهْتَدِينَ(18)التوبة

Artinya:
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. ltulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. At-Taubah, 9:17-18.

Akan tetapi, orang kafir tidak boleh menjadi pengurus masjid (ta'mir masjid), atau pengurus Yayasan Wakaf Masjid...

Demikian juga, orang kafir diperbolehkan membangun masjid atau memberikan bantuan dana pembangunan masjid dengan syarat hal itu tidak dijadikan sarana untuk menimbulkan bahaya (dlarar). Jika dijadikan sarana untuk menimbulkan bahaya atau fitnah, maka hal itu dilarang karena sama dengan masjid dlirar (masjid yang dibangun oleh orang-orang munafiq di Madinah pada masa Rasulullah untuk memecah belah umat Islam)'.
====

Dari berbagi sumber

Memegang Tongkat oleh Khatib Jumat


Memegang Tongkat oleh Khatib Jumat


Dalam masalah ini ada beberapa riwayat yang menceritakannya, di antaranya:

Dari Hakam bin Hazn Radhiyallahu ‘Anhu, katanya:

شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ كَلِمَاتٍ خَفِيفَاتٍ طَيِّبَاتٍ مُبَارَكَاتٍ

Kami melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Jumat, Beliau berdiri (khutbah) memegang tongkat atau busur panah, lalu dia memuji Allah dengan berbagai kalimat yang ringan, baik, dan penuh berkah ...   
(HR. Abu Daud No. 1096, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shaghir No. 484, juga Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 1761)

Driwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari sahabat Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كان إذا خطب يعتمد على عنزة له

Adalah nabi SAW berkhutbah, Beliau berpegangan dengan tombaknya. (Subulus Salam, 2/59)

dalam Sunan Abi Daud ada hadits seperti ini.  

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي جَنَابٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْبَرَاءِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُووِلَ يَوْمَ الْعِيدِ قَوْسًا فَخَطَبَ عَلَيْهِ

Berkata kepada kami Al Hasan bin Ali, berkata kepada kami Abdurrazzaq, mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Abu Janaab, dari Yazid bin Al Bara’, dari ayahnya (Al Bara bin ‘Azib), bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diambilkan untuknya busur panah pada hari raya, lalu dia berkhutbah sambil berpegangan dengannya. (HR. Abu Daud No. 1145)

عَنْ شُعَيْبِ بْنِ زُرَيْقٍ الطَائِفِيِّ قَالَ شَهِدْناَ فِيْهَا الجُمْعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصَا أَوْقَوْسٍ

Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka  Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud hal. 824).
As Shan’ani mengomentari hadits terserbut bahwa hadits itu menjelaskan tentang “sunnahnya khatib memegang pedang atan semacamnya pada waktu menyampaikan khutbahnya”. (Subululus Salam, juz II, hal 59)

Komentar Para Ulama

Berikut, perkataan para ulama tentang berkhutbah sambil bersandar dengan tongkat atau lainnya :

Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu berkata:


قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى) بَلَغَنَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ اِعْتَمَدَ عَلَى عَصَى. وَقَدْ قِيْلَ خَطَبَ مُعْتَمِدًا عَلَى عُنْزَةٍ وَعَلَى قَوْسٍ وَكُلُّ ذَالِكَ اِعْتِمَادًا. أَخْبَرَنَا الرَّبِيْعُ قَالَ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ أَخْبَرَناَ إِبْرَاهِيْمُ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَطَاءٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ يَعْتَمِدُ عَلَى عُنْزَتِهِ اِعْتِمَادًا

Imam Syafi'i RA berkata: Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan". (al-Umm, juz I, hal 272)

وَأُحِبُّ لِكُلِّ من خَطَبَ أَيَّ خُطْبَةٍ كانت أَنْ يَعْتَمِدَ على شَيْءٍ وَإِنْ تَرَكَ الِاعْتِمَادَ أَحْبَبْتُ له أَنْ يُسْكِنَ يَدَيْهِ وَجَمِيعَ بَدَنِهِ وَلَا يَعْبَثُ بِيَدَيْهِ ...   

Saya suka bagi setiap khatib yang berkhutbah agar dia menyandarkan dirinya pada sesuatu, kalau pun dia tidak bersandar hendaknya dia menenangkan kedua tangannya dan semua anggota badannya .. (Al Umm, 1/238)

Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata:

وَذَلِكَ مِمَّا يُسْتَحَبُّ لِلأْئِمَّةِ أَصْحَابِ الْمَنَابِرِ أَنْ يَخْطُبُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمَعَهُمُ الْعَصَا ، يَتَوَكَّئُونَ عَلَيْهَا فِي قِيَامِهِمْ ، وَهُوَ الَّذِي رَأَيْنَا وَسَمِعْنَا

Demikian itu merupakan di antara hal yang disunahkan bagi para imam yang berada di mimbar bahwa jika mereka berkhutbah Jumat hendaknya mereka memegang tongkat dan bersandar kepadanya pada saat mereka berdiri, itulah yang kami lihat dan kami dengar. (Jawahir Iklil, 1/97, Hasyiah Ad Dasuqi, 1/382-383, Al Mudawanah Al Kubra, 1/151, Raudhatuth Thalibin, 2/32, Hasyiah Al Qalyubi, 1/282, Kasysyaaf Al Qina’, 2/36, Al Inshaf, 2/397, Al Mughni, 2/309)  

Hikmah dianjurkannya memegang tongkat adalah untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam kitab Subulus Salam, juz II, hal 59).

Wallahu a’lam .......

===
Dari berbagai sumber

Minggu, 08 Juli 2012

Pendapat Mayoritas - Assawadul A'zham -




IKUTILAH AHLI SYURA DAN PENDAPAT MAYORITAS KAUM MUSLIMIN
Oleh : Hadya Noer

Akhir-akhir ini telah banyak kita lihat perbedaan pendapat dikalangan umat Islam semakin meluas tidak hanya dikalangan para Ulama, tetapi juga dikalangan intelektual islam. Parahnya lagi ranah yang seharusnya menjadi "Ikhtilaful Ulama" ini menjadi konsumsi umat yang notabene sama sekali tidak memiliki kapasitas keilmuan dalam bidangnya. Perang pemikiran semakin berkembang terus seiring dengan perkembangan zaman (antara umat islam dan islam sekuler/pembaharuan). Ini diperparah lagi dimana pemerintah sebagai (ulil amri) tidak memiliki sikap ketegasan dalam menetapkan berkenaan dengan perkara hukum itu tadi (karena negara tidak mengurus agama) sebuah pemikiran yang "absurd" menurut saya. Sebagaimana yang telah digambarkan oleh baginda nabi shallallahu'alaihiwasallam, "Barangsiapa yang hidup lama sesudahku maka akan kalian temukan perselisihan yang besar ditengah-tengah umat. Bila engkau temukan perselisihan itu maka kembalilah kepada Al quran dan Sunnahku". Hadist ini shahih dan jelas sekali keterangannya, namun ternyata tidak mudah untuk dijalankan.

Perkataan Nabi berkenaan kembalilah kepada Al Quran dan Sunnah begitu jelas dikemukakan oleh baginda Nabi Shallallahu'alaihiwasallam. Namun tidak semua orang diperkenankan melakukannya (istinbath langsung kepada Al Quran dan Hadist).

Timbul pertanyaan siapakah yang mampu mengambil hikmah atau istinbath hukum yang terkandung di dalam Al Quran dan Hadist itu tadi. Ijtihad siapa yang harus kita ikuti ? bahkan ada dikalangan umat islam ketika kita katakan ikutilah pendapat yang masyhur dikalangan (jumhur) ‘ulama, mereka mengatakan ulama siapa, na'uzubillah?. Lalu kita bertanya agama islam yang kita jalani selama ini dengan segala ketentuan (syari’at) nya ini apakah langsung datang dari pada baginda nabi?. Lalu apa makna hadist "al 'ulama warisatul anbiya"?.

Padahal ‘ulama itu sendiri adalah :
العارفون بالكتاب و السنة

Mereka yang ‘arif dengan Al Kitab dan As-sunnah (I’anatuth Thalibin : 3 : 157, Bab Waqaf)

Umat islam kita saat ini telah berada pada degradasi iman, akhlaq dan islamnya. Inikah umat yang mampu membangun sebuah peradaban? inikah umat yang mampu menetapkan ijtihad Dinul Islam? umat yang terbaik?.

Di dunia ini hanya beberapa orang saja yang disebut sebagai ulama mufassirin dan muhaddistin yang memiliki kemampuan dan kapasitas keilmuan di bidangnya. Diantaranya adalah :

  1. Fadhilah Syeikh DR.Wahbah Zuhaili (Syafi’iy),
  2. Syeikh DR. Ramadhan Al Buthi (Syafi’iy),
  3. Syeikh DR.Ali Jum'ah (Syafi’iy),
  4. Syeikh DR.Yusuf Qardhawi (Kontemporer) dan
  5. Allahyarham Maulana Syeikh DR.Muhammad Hasan Al Maliki Al Makki (Maliki/Syafi’iy).

Mereka adalah ulama mujtahidin namun mereka tetap bermazhab kepada ulama-ulama mu’tabarah. Perhatikan dari ke-5 ulama tadi sebagian besar bermazhab Syafi’iy. Bila kita ingin menggunakan pendapat sendiri maka bangunlah agama sendiri (Ahlul bid'ah).

Dalam menyikapi perbedaan pandangan ini saya tertarik untuk mencoba menarik benang merah dimana kita umat islam kita ini harus bersandar (dalam masalah aqidah, syariat dan mu’amalah). Ini muncul bermula adanya seorang tokoh ormas islam yang mengatakan, keputusan MUI bersifat "one man show" dan tidak sesuai dengan semangat demokrasi (dalam penentuan isbath 1 Ramadhan dan 1 Syawwal). Pertanyaannya apakah kita ikuti demokrasi ataukah Ayat wal Hadits dalam penetapan masalah agama ?.

Berikut pendapat para ulama-ulama mutaqaddimin dalam menyikapi pendapat dikalangan umat :

(As Shamad Al A'zam) : Dalam kitab "At-Tariq Ila Jamaah Al-Muslimin", tulisan Husain bin Muhsin bin Ali Jabir menyatakan, syarat ahli majlis Syura adalah seperti berikut; [m.s : 60]
1-     Adil [tidak buat dosa kecil dan besar]
2-     Bertaqwa [tidak dikenal sebagai orang yang melakukan pengkhianatan kepada Allah dan umat].
3-     Memiliki Ilmu tentang Al-Quran dan hadist dan yang berkaitan dengannya
4-     Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang perkara yang diminta pandangan [Al-Mustasyar Fih ; المستشار فيه] ]
5-     Kebijakan Luar Biasa.
6-     Amanah dan benar.

Nabi Shallallahu'alaihiwasallam menerima pandangan mayoritas ketika berlaku perbedaan pendapat; Sabda Nabi Shallallahu'alaihiwasallam ;
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ

Maksudnya; “Sesungguhnya Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan. Sekiranya kamu lihat perselisihan, maka hendaklah kamu ambil “As-Sawad Al-‘Azam”” [Ibnu Majah : 3940]

Dalam menafsirkan maksud “Sawadul A’zham”, Kitab As-Sindi menyatakan;
 أَيْ بِالْجَمَاعَةِ الْكَثِيرَة فَإِنَّ اِتِّفَاقهمْ أَقْرَب إِلَى الْإِجْمَاع

Maksudnya : “Jama’ah yang ramai. Karena, kesepakatan mereka itu lebih mendekati kepada ijma'” [Hasyiah As Sindi :3942]

Imam As-Sayuti dalam menafsirkan “Sawadul A’zham”;
 أَيْ جَمَاعَة النَّاس وَمُعْظَمهمْ الَّذِينَ يَجْتَمِعُونَ عَلَى سُلُوك الْمَنْهَج الْمُسْتَقِيم وَالْحَدِيث يَدُلّ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي الْعَمَل بِقَوْلِ الْجُمْهُور

Maksudnya; “Ia adalah himpunan manusia dan kebanyakan yang mereka bersepakat atas melalui jalan yang betul. Hadis itu menunjukkan bahawa selayaknya beramal dengan perkataan mayoritas” [Hasyiah As-Sindi : 3940]

Al-Munawi pula berkata;
 )فعليكم بالسواد الأعظم) من أهل الإسلام أي الزموا متابعة جماهير المسلمين فهو الحق الواجب والفرض الثابت الذي لا يجوز خلافه فمن خالف مات ميتة جاهلية

Maksudnya; “[hendaklah kamu ikut Sawadul A’zham dari ahli islam] yaitu, lazimnya mengikut pendapat mayoritas orang islam, karena ia adalah kebenaran yang wajib dan fardhu yang pasti, yang tidak boleh menyalahinya. Barangsiapa menyalahinya, lalu ia mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah” [Faidhul Qadir : 2/547] Pendapat ini, sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu'alaiwasallam ;
 اثْنَانِ خَيْرٌ مِنْ وَاحِدٍ وَثَلَاثٌ خَيْرٌ مِنْ اثْنَيْنِ وَأَرْبَعَةٌ خَيْرٌ مِنْ ثَلَاثَةٍ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجْمَعَ أُمَّتِي إِلَّا عَلَى هُدًى

Maksudnya; “dua lebih baik dari satu. Tiga lebih baik dari dua. Empat lagi baik dari tiga. Hendaklah kamu dengan jama’ah [mayoritas], karena Allah SWT tidak akan menghimpunkan umatku kecuali atas petunjuk”

[Musnad Ahmad : 20331] Imam Al-Munawi menyebutkan tentang Jamaah:
 ))وعليكم بالجماعة)) أي أركان الدين والسواد الأعظم من أهل السنة أي الزموا هديهم فيجب اتباع ما هم عليه من العقائد والقواعد وأحكام الدين

Maksudnya: “(Hendaklah kamu bersama dengan Al-Jamaah) yaitu berpegang dengan rukun-rukun agama dan As-Sawad Al-A’zam dari kalangan Ahlus-Sunnah. Yaitu, kamu ikutilah petunjuk mereka. Maka hendaklah seseorang itu mengikut apa yang mereka berpegang dengannya daripada Aqidah (Mazhab Aqidah), Qawa’id (Usul Aqidah dan Usul Fiqh) dan Hukum Agama (Mazhab Fiqh). [Al-Faidh Al-Qadir 3/101]

Makna As Sawadul A’zham :

As Sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam, dalam bentuk plural. Al A’zam artinya besar, agung, banyak. Sehingga As Sawadul A’zham secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak. Menggambarkan orang-orang yang sangat banyak karena rambut mereka umumnya hitam.

Dalam terminologi syar’iy, kita telah dapati bahwa As Sawaadul A’zham itu semakna dengan Al Jama’ah. Sebagaimana penjelasan Ath Thabari : “…Dan makna Al Jama’ah adalah As Sawadul A’zam. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan Riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan.. ” (Fathul Baari, 13/37)

Dalam Hadist lain Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam bersabda :
“Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut. Lalu diperlihatkan kepadaku sekelompok hitam yang sangat besar, aku mengira itu adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘itulah Nabi Musa 'alaihisalam dan kaumnya’. Dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke arah ufuk’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan lagi, ‘Lihat juga ke arah ufuk yang lain’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan kepadaku, ‘Inilah umatmu dan diantara mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab’.” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)

Maka makna As Sawaadul A’zham mencakup seluruh makna dari Al Jama’ah. Dipertegas lagi dengan beberapa penjelasan lain dari para sahabat dan para ulama mengenai makna As Sawaadul A’zham berikut ini.

Sahabat Nabi, Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu’anhu, berkata : “Berpeganglah kepada As Sawadul A’zam. Lalu ada yang bertanya, siapa As Sawadul A’zham itu? Lalu Abu Umamah membaca ayat dalam surat An Nur:
 فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

(HR. Ahmad no.19351. Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 5/220) Allah berfirman : “Katakanlah (wahai Muhammad): “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.

Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS. An Nuur: 54)

Dalam ayat lain saya tambahkan Allah Ta'ala berfirman :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا    

Maksudnya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.(An Nisa : 115)

Abu Umamah mengisyaratkan bahwa makna As Sawadul A’zam adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, atau dengan kata lain, pengikut kebenaran.

Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy (wafat 242H) berkata: “Berpeganglah pada As Sawadul A’zham. Orang-orang bertanya, siapa As Sawadul A’zhham itu? Beliau (Muhammad bin Aslam) menjawab, ia adalah seorang atau dua orang yang berilmu, yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengikuti jalannya. Bukanlah As Sawaadul A’zham itu mayoritas kaum muslimin secara mutlak. Barangsiapa berpegang pada seorang atau dua orang tadi dan mengikutinya, maka ia adalah Al Jama’ah. Dan barangsiapa yang menyelisihi mereka, ia telah menyelisihi ahlul jama’ah” (Thabaqat Al Kubra Lisy Sya’rani, 1/54)

Muhammad bin Aslam sendiri oleh ulama sezamannya, Ishaq bin Rahawaih (wafat 238H), dikatakan sebagai As Sawaadul A’zham: Ada seorang yang bertanya, wahai Abu Ya’qub (Ishaq bin Rahawaih), siapa As Sawadul A’zham itu? Beliau menjawab: Muhammad bin Aslam, murid-muridnya dan para pengikutinya. Kemudian beliau berkata: Aku tidak pernah mendengar orang yang alim sejak 500 tahun yang lebih berpegang teguh pada sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selain Muhammad bin Aslam” (Siyar ‘Alamin Nubala, 9/540)

Abdullah Bin Mubarak (wafat 181H) ditanya as sawaadul a’zham: “Seorang lelaki bertanya kepada Ibnul Mubarak, wahai Abu Abdirrahman siapa As Sawadul A’zam itu? Beliau menjawab, Abu Hamzah As Sakuni” (Hilyatul Aulia, 9/238)

Lihatlah Imam Al-Munawi membuat kesimpulan bahwasanya Al-Jamaah adalah suatu:
Ø      Rukun-rukun agama
Ø      As-Sawad Al-A’zam
Ø      Ahlus-Sunnah

Maksudnya, berpegang dengan As-Sawad Al-A’zam berarti berpegang dengan Ahlus-Sunnah. Berpegang dengan Ahlus-Sunnah berarti berpegang teguh dengan rukun-rukun agama. Berpegang dengan rukun-rukun agama tersebutlah berarti berpegang teguh dengan Al-Jamaah.

Maka, bagaimana dapat berpegang dengan As-Sawad Al-A’zam? Imam Al-Munawi menyebutkan bahwasanya, kita perlu mengikut manhaj mereka dalam perkara-perkara :
Ø      Aqidah
Ø      Ushul (kaedah2 baik dalam fiqh atau aqidah)
Ø      Fiqh.

Jadi, pegangan "mayoritas" ulama' adalah berkenaan dengan tiga bidang agama tersebut yaitu Kesepakatan dalam bidang Aqidah pada masalah2 Ushul (yang bersumberkan dalil2 qath'iy tsubut dan dilalah) dan kesepakatan dalam bidang Usul (Usul Aqidah atau Fiqh)

Syeikh Asy Syatibi berkata sebagai berikut yang bermaksud : "Fatwa-fatwa para mujtahid itu bagi para orang awam bagaikan dalil syariat bagi para mujtahidin. Adapun alasannya ialah ada atau tidak adanya dalil bagi orang yang taqlid (muqallid) adalah sama saja. Karena mereka sedikit pun tidak mampu mengambil faedah darinya. Jadi, masalah meneliti istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka tidak diperkenankan melakukan hal tersebut (Al Muwafaqat) .

Dan sungguh Allah Subhanhu wa ta'ala telah berfirman yang bermaksud :
... ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"(Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui) – (Surah An Nahl :43)

Orang yang taqlid bukanlah orang yang ‘alim. Oleh kerana itu, tidak sah baginya selain bertanya kepada ahli ilmu. Para ahli ilmu itulah tempat kembali baginya dalam urusan hukum agama secara mutlak. Jadi, kedudukan mereka bagi orang yang taqlid serta ucapannya seperti syara'."

Wallahuwalyyuttaufiq Walhidayah Wassalamu'alikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Oleh : 
Al Faqir, 
Hadya Noer (https://www.facebook.com/hadya.noer)
Pengurus Harian DPP PERTI
===

Diedit dan ditambah kembali oleh Nawawi Hakimis
Ketua Pemuda Islam Perti Manggeng