Saleum Troeh Teuka

Saleum Troeh Teuka
Selamat datang wahai saudaraku ke tempat kami

Selasa, 17 Mei 2011

Hukum Mu`allim dan Muta`allim Mengambil Zakat



Hukum Mu`allim dan Muta`allim Mengambil Zakat

Lajnah Bahtsul Matsa-il MUDI Mesjid Raya


(ولو استغل بعلم) شرعى كما فى روضة وأصلها (والكسب يمنعه) من الإشتغال به (فقير) فيشتغل بعلم ويأخذ (ولو استغل بالنوافل فلا) اى فليس بفقير فيكسب ولا يستغل بها والفرق ان الإستغال بالعلم فرض كفاية. (محلى ومتنه, 3. 196)

Jika seseorang mengkususkan diri untu mencari ilmu syar’i, penambahan syar’i sebagai yang ditambah dalam Raudhah Wa Ashliha, yang tidak sempat ia berusaha maka ia dianggab fakir, maka ia boleh menuruskan mencari ilmu dan mengambil harta zakat. Dan bila ia mengkhususkan diri untuk melakukan hal-hal yang disunatkan, maka ia tidak dianggab fakir dan harus berusaha dan tidak boleh mengkhususkan diri untuk hal-hal yang sunat, karena mencari ilmu hukumnya fardhu kifayah yang berbeda dengan pekerjaan yang lain yang hukumnya sunat.


(قوله بعلم شرعى) ولو مما يطهر الباطن كتصوف ومثل العلم آلته كالنحو كذا حفظ القرآن لاتلاوته (قليوبى, 3. 196)

(kata mushannif بعلم شرعى ) Walau mencari ilmu untuk membersihkan bathin seperti seperti ilmu tasawuf. Termasuk dalam ilmu Syar`i adalah ilmu penunjang ilmu Syar`i seperti sastra demikian juga menghafal Al-Quran, tidak termasuk membacanya (Qalyuby, III. 196)


(قوله ويأخذ) اى ما يكفيه ويكفى ممونه الازمة نفقته كأبيه وولده وعبده المحتاج اليه لازجته قاله شيخنا رملى (قليوبى, 3. 196)



(Kata Musannif : ويأخذ ) maksudnya boleh mengambil kadar yang mencukupi untuk kebutuhan diri sendiri dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya seperti orang tuanya, anaknya dan budak yang ia butuhkan. Tidak termasuk untuk kebutuhan isterinya, demikianlah pendapat guru kita Ramly. (Qalyuby, III. 196)


تنبيه ... وقد صرح به فى الأنوار فقال ولو قدر على كسب بالوراقة اوغيرها وهو مشتغيل بالتعلم القرآن او علم الذى هو فرض كفاية او تعليمه واشتغال بالكسب يقطعه عن التعلم والتعليم حلت له زكاة (ولو اشتغل بالنوافل) للعبادة وملازمة الخلوات فى المدارس ونحوها (فلا) يكون فقيرا وادعى فى المجموع الإتفقاق عليه لأن الكسب وقطع الطمع عما فى أيدى الناس أولى من اقبال على النوافل مع الطمع والفرق بين المشتغل بهذا وبين المشتغل بعلم وقرآن بأن ذلك مشتغل بما هو فرض كفاية بخلاف هذا ولأن النفع هذا قاصر عليه بخلاف هذا (مغنى المحتاج ومتنه, 3. 107)


Tanbīh (Peringatan). Imam Yusuf Irdabily telah menjelaskan dalam kitab al-Anwar dengan kata beliau ; Jika seseorang mampu untuk berusaha dengan menjual kertas atau dengan cara lainnya pada saat ia sedang belajar Al-Quran atau ilmu lain yang hukumnya fardhu kifayah ataupun mengajarinya, namun jika ia berusaha dapat menghalanginya untuk belajar dan mengajar maka halal terhadapnya mengambil harta zakat (jikalau seseorang megkhususkan dirinya untuk mengerjakan sunat) dan mengasingkan diri di Madāris (Ma`had/Pesantren) atau seumpamanya (maka ia tidak) dianggap fakir. Pengarang kitab al-Majmu` (Imam Nawawy) mengatakan pendapat ini telah disepakati oleh seluruh ulama karena berusaha dan memalingkan diri dari loba terhadap apa yang ada pada manusia lebih utama dari pada melakukan ibadah sunat diiringi rasa suka terhadap apa yang ada pada manusia. Perbedaannya yaitu belajar atau mengajar hukumnya fardhu kifayah berbeda dengan amalan sunat dan juga mamfaat dari amalan sunat hanya untuk dirinya berbeda dengan belajar dan mengajar. (Mughny al-Muhtaj wa Matnuh, III. 107)


قوله (كفايته بنفقة قريب) اى أصل او فرع فلو لم تكفيه فله أخذ تمام كفايته ولو من زكاة المنفق عليه من زوج او قريب ومنعهم دفع زكاته لمن تلزمه نفقته يحمل على من يكفيه النفقة ولو امتنع قريب من الإنفاق واستحيا من رفعه الى الحاكم كان له الأخذ لأنه غير مكفى (بجيرمى, 3. 310)


(Kata Musannif ; كفايته بنفقة قريب , kebutuhannya mencukupi dengan nafakah dari kerabatnya) yang dimaksud dengan kerabat adalah Ashal (ayah, kakek maka ke atas) dan Furu` (anak, cucu maka ke bawah) Jika nafakah dari mereka tidak memenuhi kebutuhannya maka ia boleh mengambil kebutuhannya dari zakat secukupnya walau dari harta zakat orang yang memberi nafakah terhadapnya, yaitu suami, atau “kerabat”. Pendapat ulama yang mengatakan tidak boleh memberi zakat kepada orang yang wajib dinafakahinya maksudnya adalah orang yang telah cukup kebutuhannya dengan pemberian mereka. Jika “kerabat” tidak mau memberi nafkah untuknya dan ia malu untuk mengadukan kepada hakim maka ia boleh mengambil zakat karena tidak cukup kebutuhannya. (Bujairimy, III. 310)

(لا) اشتغاله (بعلم شرعى) يأتي منه تحصيله (والكسب يمنعه) منه لأنه فرض كفاية (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب, 3. 310)

(Tidak) “terhalang untuk mengambil zakat” kesibukan seseorang (dengan ilmu agama) yang hasil kesibukan tersebut dapat bermamfaat untuk orang lain (sedangkan berusaha dapat menghalangi kesibukan) nya, karena kesibukannya adalah fardhu kifayah. (Fathu al-Wahab bi Syarhi Manhaj ath-Thullab, III. 310)

ويثتسنى من الأول ما لوكان مشتغلا بعلم الشرعى ويرجى منه النجابة والكسب يمنعه فتجب كفايته حينئذ ولا يكلف الكسب وفى حاشية الجمل وقع السؤال عما لو حفظ القرآن ثم نسيه بعد البلوغ وكان الإشتغال بحفظه يمنعه من الكسب هل يكون ذلك كإشتغاله بالعلم ام لا ؟ والجواب عنه ان الظاهر ان يقال فيه ان تعين طريقا بأن تتيسر فى غير أوقات الكسب كان كالإشتغال بالعلم والا فلا اهـ (اعانة الطالبين,4. 98)

Dikecualikan dari yang pertama (seorang anak yang sudah baligh dan sanggup untuk berusaha) jika seseorang bergelut dengan ilmu syar`i dan ada kemungkinan akan dicapai sebuah keberhasilan sedangkan usaha dapat menghalanginya dari hal tersebut maka pada saat itu ia boleh mengambil harta zakat dan tidak dibebankan ia untuk berusaha. Terdapat dalam Hasyiyah al-Jamal sebuah pertanyaan tentang orang yang telah menghafal Al-Quran kemudian ia lupa, sedangkan jika ia mencari nafkah mengakibatkan tidak ada waktu untuk menghafal kembali, samakah permasalahan ini dengan kesibukan mencari ilmu agama ataupun tidak? Jawabannya adalah menurut pendapat yang Dhahir jika ia mudah untuk menghafal kembali dengan tidak berusaha maka hal ini sama dengan kesibukan mencari ilmu, jika tidak maka tidak sama. Demikian (I`anah ath-Thalibin, IV. 98)

edit dan disadurkan kembali dari tulisan http://www.facebook.com/home.php?sk=group_166958133329227&view=doc&id=213480305343676

Rabu, 04 Mei 2011

Bolehkah Mensiasati Hukum

`Mensiasati hukum, bolehkah?


Allah Ta’ala telah mewajibkan sesuatu dengan balasan pahala dan mengharamkan sesuatu dengan balasan neraka. Seseorang yang mencari alasan untuk menggugurkan kewajiban yang diwajibkan Allah misalnya sholat, puasa dan haji atau mencari jalan agar sesuatu yang haram dapat dibolehkan misalnya zina, riba membunuh secara tidak langsung sehingga kewajiban menjadi tidak wajib atau yang haram kelihatan menjadi halal. berarti dia telah menghilah hukum atau mensiasati hukum.

Contoh:
• Seseorang yang tidak bepergian berkewajiban mengerjakan sholat dzuhur empat rokaat. Dia bisa menggugurkannya dengan meminum arak atau dengan meminum obat-obatan yang dapat membuat dia tak sadarkan diri sehingga waktu sholat habis.
• seseorang yang ingin menqoshor sholat yang sempurna. Hal itu bisa dilakukannya dengan melakukan perjalanan
• Dia punya cukup uang untuk berhaji dan dia malas menjalankannya. dia bisa memberikan uang tadi atau dengan menghilangkannya dengan cara sedemikian rupa agar kewajiban haji bisa gugur
• Orang yang dalam keadaan berpuasa. Dia bisa makan dengan bepergian
• Orang yang ingin membunuh seseorang. Ia bisa membuat jebakan di jalan agar orang lain bisa teperangkap.
Semua contoh ini adalah hilah yang menghalalkan sesuatu yang haram dan mengugurkan kewajiban

Contoh menghalalkan yang diharamkan

o si istri menyusui budak suami yang masih kecil atau istri yang kedua yang masih kecil agar suami tidak bisa bersetubuh dengannya. status si budak atau si istri yang kedua yang masih kecil menjadi anak susuan.

Kesemua ini merupakan usaha untuk mensiasati hukum yang sudah ditetapkan syara' dengan hukum lain yang kelihatan benar tapi sesungguhnya esensinya keliru.

PEMBAHASAN
Pengertian Hilah
Hilah menurut etimologi adalah
- Hal yang secara mulus dan mudah bisa menangkal hal yang dibenci atau merengkuh hal yang disukai.
- Menurut kitab At-Ta'rifat: berpindah dari hal yang dibenci kepada hal yang disukai
- Tholaba asy-syai'i bi al-hilah: cerdik, berpandangan luas & kemampuan mengerjakan sesuatu dengan seksama dan cekatan
- Media yang efisien yang bisa merubah sesuatu dari bagian luarnya agar bisa sampai tujuan
- Menipu ( tahaayala 'ala ar-rojuli aw as-syai'i ) dia menempuhnya dengan cerdik untuk bisa sampai tujuannya
- Tahayyala : mengunakan muslihat untuk menyelesaikan urusannya
- Dalam kitab Misbahul Munir : cerdik untuk mengatur urusan. dia memutar otak sehingga mendapat apa yang dituju
Hilah menurut terminologi :
1. Al-Muwafaqot : merealisasikan perbuatan yang kelihatan boleh untuk membatalkan hukum syara' dan dirubah hukumnya. Misalnya: menghibahkan harta pada penghujung tahun agar terbebas dari kewajiban zakat.
2. I'lamul Muwaqi'in: Pekerjaan dan perbuatan tertentu yang bisa merubah pelaku dari suatu keadaan. Penggunaan kata ini berubah. Dan kata ini lumrah dipakai sebagai jalan samar yang ditempuh seseorang untuk mencapi hal yang dituju yang hanya dicapai oleh orang yang cerdik dan pintar.
Dari pengertian pertama mengindikasikan bahwa menghilah sesuatu yang nampaknya boleh untuk mewujudkan maslahah yang tidak dilegalkan, dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal adalah bertentangan dengan tujuan hilah yang boleh. Karena tujuan yang tidak benar dalam menghilah malah meruntuhkan tujuan syara' sendiri.
Pertentangan dengan syara' bisa digambarkan dalam contoh hibah:
Tujuan disyariatkan hibah adalah untuk mensterilkan jiwa dari hinanya kikir dan mengulurkan tangan kepada orang yang kesusahan dan butuh. Perbuatan ini adalah bagian dari saling tolong menolong dalam kebaikan. sedangkan hibah harta mendekati penghujung tahun karena menghindar dari kewajiban zakat malah bertentangan dengan tujuan utama syari'at. Dan itu malah mengukuhkan kikirnya seseorang. hibah seperti itu tidak disunnahkan karena hibah didasarkan atas memberikan kemanfaatan dan kebaikan. Hibah formalitas sebaliknya. kalau hibah ini dilegalkan untuk memberikan kepemilikan yang sebenarnya, semestinya mencocoki maslahah dan memberi kemanfaan, dan menghilangkan kekikiran bukan malah lari dari kewajiabn zakat.
3. Definisi menurut Syekh Romdlon Al-Buthi:

قضد التوصل الى تحويل حكم لاخر بواسطة مشروعة فى الاصل

Hilah : kehendak yang bisa mengantarkannya merubah hukum dengan media yang dilegalkan syari'at.

penguaraian definisi:
Qoshdu at-tawashuli:
berbeda dengan usaha merubah hukum tapi tidak disengaja . Hal itu tidak dinamakan hilah. misalnya istri yang dithalak suaminya tiga kali menikah dengan orang lain. kebetulan, suaminya yang kedua ini menthalaknya tanpa ada kesepakatan dari suami dan istri atau antara suami pertama dan kedua dengan tujuan menghilah.
biwasithotin syar'iyyatin: berbeda dengan perantaranya dengan media yang ilegal
misalnya:
• perempuan ingin khuluk dengan suaminya . Tetapi suaminya tidak mau. Akhirnya untuk memutuskan hubungan itu , si istri murtad agar nikahnya menjadi fasakh.
• seseorang yang ingin menjimak istrinya pada hari ramadlan karena menghindar agar tidak terkena kewajiban membayar kafarat. akhirnya dia minum khomr dulu kemudian menyetubuhi istrinya atau berniat membatalkan puasa sebelum menjimak. dari contoh puasa tadi, Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa ia tidak wajib membayar kafarat. pendapat ini tidaklah benar. karena perbuatannya mengumpulkan jimak, makan dan minum tidak diberi kompensasi malahan bisa memperberat kafaratnya.
apakah syari' mewajibkan kafarat karena alasan bersetubuh yang belum didahului hal-hal yang membatalkan? atau karena dia telah melakukan pelanggaran bersetubuh pada waktu puasa yang tidak diperbolehkan oleh syara'? sengaja makan dan minum sebelum berjimak yang menjadikannya diperbolehkan bersetubuh apakah izin untuk melakukan jimak ? bagaimana mungkin?
• hilah yang dilakukan bani isroil agar terlepas dari keharaman mengail ikan
• hilah yang pernah dilakukan bani israel agar terhindar dari keharaman menggunakan lemak daging, solusinya dengan merubah namanya. daging lemak (syuhum) yang diharamkan dicairkan yang kemudian berubah namanya menjadi lemak cair (wadik). hal ini seperti yang diisyaratkan Nabi:

Allah telah mengharamkan memakan lemak daging kepada bani israel. mereka dengan liciknya merubah namanya agar bisa dimanfaatkan. sehingga mereka tidak bisa disebut memanfaatkan lemak daging. sebetulnya esensinya mereka telah memanfaatkan lemak daging yang menghilangkan nama syahmun kemudian hasil tadi dijual supaya tidak kelihatan memanfaatkan barang haram.

Menurut Ibnu Taymiyah mereka bukanlah orang yang kufur terhadap taurat dan menentang Nabi Musa. Mereka melakukannya hanya sebagai usaha pentakwilan dan menghilah terhadap larangan. kelihatannya tetap tunduk tapi hakikatnya malah melampaui batas. Mereka merubah rupa agama Allah. dzohirnya benar menurut agama tapi esensinya salah. Lalu Allah merubah mereka menjadi kera. Kera yang luarnya menyerupai manusia. kutukan ini adalah balasan apa yang mereka perbuat .

Menurut penulis, hakikat mengail diakhirkan dari hari sabtu tetap ada. Keberadanya itulah yang masih menjadikan hukumnya haram. Peristiwa itu terjadi pada masa Nabi Dawud AS.
Semua contoh hilah ini bukan termasuk hilah ilegal yang disetujui ulama'. Semua definisi di atas berujung pada satu kesimpulan bahwa hilah adalah berpegang kepada hal yang dzohirnya boleh untuk mewujudkan maslahah yang tidak dilegalkan dengan menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal atau menggugurkan kewajiban.

Pendapat yang mengharamkan dan membatalkan hilah

Ulama' yang tersohor yang mengatakan demikian adalah Ibnu qoyim. Belaiu berpendapat hilah itu batal dan haram karena berpijak kepada:
1. asal dari hokum adalah ilatnya
2. hukum diturunkan untuk kemaslahatan manusia.
Pendapat yang mengharamkan hilah berasal dari madzhab malikiyah dan sebagian Hanabilah. Yang paling kesohor adalah ibnu taymiyah dan murid beliau ibnu qoyim al-jauzy.
Alasannya, karena hilah itu menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Dan itu semua bertentangan tujuan syari'at yang menginginkan kemaslahatan.
Ibnu Qoyim menyajikan dalil yang mengatakan hilah itu batal dan haram:
a. Seorang yang telah menghalalkan yang haram dan menggugurkan fardlu dengan hilah berarti dia berusaha merusak agama dari beberapa sisi:
i. menghilangkan hikmah tasyri'
ii. sesuatu yang dihilah tidak mempunyai esensi melainkan sebatas luarnya saja. Sedangkan esensi pekerjaannya adalah melakukan perkerjaan haram itu sendiri.
iii. Hikmah tasyri' ibarat makanan bagi hati, obat dan penawar. Seseorang yang sengaja mengkonsumsi obat yang oplosan atau sengaja meneguk racun tentu hal itu akan merusak sistem kerja tubuh. Hilahpun demikian. Hilah yang telah dilakukan berarti telah merusak tatanan syari'ah.
Ibnu Qoyim menggambarkan pertentangannya dengan syariat:
kebolehan hilah jelas bertentangan dengan saddud dzaroi'. Bukan menutup arus malah dengan hilah hal yang seharusnya tidak boleh dituju malah aksesnya dibuka luas. Syari' sejatinya menginginkan menutup pintu masuk kerusakan semaksimal mungkin. Hilah dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ruh kebenaran dan landasan dasar kemasyarakatan dan ekonomi.

b. Setiap amal ikut kepada tujuan dan niatnya. Tak ada pekerjaan yang tak lepas dari suatu tujuan dan niat. Ketika tujuan dan niat hilah bertentangan dengan visi syari', berarti dia telah merusak tujuannya dan membatalkan amalnya.
c. Para shohabat berijma' untuk membatalkan hilah seperti ini. Sedangkan ijma' mereka adalah argument yang bersifat absolute. Bahkan lebih kuat dari pendapat ulama' manapun.

Pendapat yang membolehkan
Jumhurul fuqoha' yang membolehkan hilah menyatakan:

Maksud boleh disini adalah : hilah legal yang yang bias menyelematkan seseorang dari haram dan mendapatkan hal yang halal.
Hilah legal adalah sebagai jalan keluar dari kehimpitan kehidupan.
Pembahasan ini bukanlah untuk menjelaskan bentuk dan macam-macam hilah. Tetapi hilah yang diperbolehkan oleh jumhur:
Beberapa dalil yang mereka pakai:
a. Firman allah ta'ala

وخذ بيدك ضغثا فاضرب به ولا تحنث

Allah telah memberikan keringanan bagi Nabi Ayyub memukul istrinya dengan 100 ikat rumput untuk dipukulkan kepada istrinya. Pukulanpun tidak terlalu keras. Itulah jalan yang disyari'atkan oleh Allah agar terbebas dari sumpah beliau.

Jumhur menjadikan ayat ini bukti bahwa manusia diberikan keringanan untuk menjalankan syari'at Allah. Jadi tidak mengapa mengatakan perbuatan ini sebagai makhorij (jalan keluar) ganti penamaan hilah yang dinilai jelak oleh bangsa arab. Imam Abu Hanifah menamainya sebagai ( المخارج فى الحيل ). Hilah oleh orang arab dimaknai sebagai penipuan, kebohongan, kepicikan dan siasat licik. Ayat inipun banyak dibuat dalil oleh ulama' dalam masalah sumpah. Dan dalil ini juga merupakan dalil yang berkaitan dengan syari'at sebelum kita (syar'u man qoblana). Dalam syari'at, syara' sebelum kita (syar'u man qoblana) bisa dipakai selagi tidak bertantangan. Kalau syar'u man qoblana tidak mau dipakai sebagai dalil, hal itu juga bisa dikatakan sebagai hal yang bisa menyokong syari'at kita.

Pendapat Abu Hayan dalam tafsirnya

Rukhshoh yang pernah dilakukan Nabi ayub juga pernah terjadi dalam islam. Nabi pernah didatangi oleh seseorang yang anggota tubuhnya tidak normal dan telah berzina dengan seorang budak. Nabi kemudian bersabda: "ambillah tandan kurma yang ada 100 tangkainya". Kemudian laki-laki tersebut dipukul dengan satu pukulan . Menurut para ahli hukum dalam bab sumpah, hadits ini dipakai sebagai bukti bahwa hukuman had yang seharusnya dilakukan 100 kali ternyata hanya dilakukan dengan satu kali pukulan. Hilah ini dilakukan dilakukan dengan cara yang dilegalkan dan dengan tujuan yang dibenarkan pula. Pukulan seperti ini sebetulnya belum bisa mencukupi had wajib dengan dalil bahwa Nabi sebelum memberikan petunjuk untuk melakukannya, beliau bersabda:"pukullah dengan hadnya"

Hal ini membenarkan pernyataan di muka bahwa yang dimaksud hilah syar'iyyah adalah bermaksud mengubah satu hukum ke hukum lain yang juga masih dilegalkan.

b. Nabi pernah bertemu dengan golongan musyrikin sedangkan beliau berada rombongan shahabat.
Musyrik :"dari mana kamu semua"
Nabi menjawab:"kami dari air". (maksudnya kami tercipta dari air, dan mereka menyangka bahwa ada kabilah yang namanya air / ma'un.
Mereka saling berpandangan mendengar jawaban Nabi. Musyrik :"penduduk yaman banyak , mungkin mereka dari sana" kemudian mereka lolos

c. Istrinya Abdullah Bin Rowahah melihat suaminya berkumpul dengan budaknya. Seketika itu dia pergi dan datang membawa pisau. Setelah sampai, kebetulan suaminya telah selesai.
Istri: "kalau kamu kepergok seperti ini lagi, aku akan menebas lehermu".
Suaminya menginkarinya
Istri: "ayo, baca Al-Qur'an kalau kamu benar!"
Suami:
شهدت بان وعد الله حق وان النار مثوى الكافرينا
وان العرش فوق الماء طاف وفوق العرش رب العالمينا
وتحمله الملائكة كرام ملائكة الاله مسومينا

Istri:"saya beriman kepada kitab Allah (Al-Qur'an) dan mata saya lah yang salah melihat"
Hal itu sampai kepada Nabi , Nabi tersenyum dan tidak menginkarinya . ini siasat abdullah yang mempelesetkan Al-Qur'an. Istrinya mengira bahwa yang dibaca adalah Al-Qur'an. Abdullah melakukannya agar selamat dari cemburunya

d. Ada orang yang mencari-cari Marwazi. Sedangkan Marwazi sedang berada di rumahnya Ibnu Hambal. Marwazi malas keluar. Kemudian Ibnu Hambal sambil memasukkan jari-jarinya di telapak tangan berkata kepada orang yang mencarinya: "Marwazi tidak ada disini, memang apa yang dilakukan Marwazi?

e. Syuraih menjual untanya kepada seseorang. Pembeli bertanya pada Syuraih.
Pembeli:"berapa banyak yang bisa dia angkut?
Syuraih:" bawalah beban di atas tembok sesukamu"
Pembeli:" berapa banyak yang bisa diperah?"
Syuraih:"perahlah diwadah yang kamu mau"
Pembeli:"bagaimana larinya"
Syuraih:"angin tak akan bisa menyusulinya"
Setelah pembeli menerimanya dia tidak menjumpai apapun yang telah digambarkan oleh si Syuraih.
Pembeli:"aku tidak menemukan apapun"
Syuraih:"aku kan tak bohong padamu"

f. Salmah bin Sholih dari Yazid Al-Wasithi dari Abdullah Karim dari Abdullah Baridah berkata: Rosulullah pernah ditanya tentang ayat yang paling agung di Al-Qur'an.
Nabi menjawab:"aku tak akan keluar dari masjid ini sampai aku mengkhabarimu".
Rosulullah kemudian berdiri dari tempat duduknya. Setelah hanya mengeluarkan satu kaki beliau, Nabi mengkhabarinya sebelum mengeluarkan satu kakinya.
Hadits ini dijadikan acuan oleh Bani Al-Khishof dalam pembahasan kitab Al-Heil untuk mengqiyaskan dengan hal lain.

Contoh: orang yang bersumpah tidak akan makan roti ini dan tidak akan mengambil barang ini. Kalau yang diambil dan dimakan hanya sebagian saja, Dia tidak melanggar sumpah.

Kaidah ini dijadikan pokok dalam bab sumpah.

Salafus Sholih telah membukakan kita pintu keluar dan boleh dipakai. Diriwayatkan dari Qois bin Robi', dari 'amasyi, dari Ibrohim yang bercerita tentang seorang laki-laki yang menuduh orang lain.
Person 1 "aku punya hak bagimu"
Person 2 "tidak!"
Person1 :"kalau begitu, bersumpahlah bahwa kau akan berjalan ke baitullah"
Si person 2 kemudian bersumpah berjalan ke baitullah tapi yang dimaksud adalah masjid kampungnya.

g. "Bagaimannya cara agar aku bisa terlepas dari perintah seseorang yang memerintahku untuk mendatangi tempat seperti ini dan seperti itu? Dan aku tak mampu ke tempat itu. Bagaimana caranya menghilah?". Tanya seorang pemuda kepada salah satu syeikhnya
"katakan: Demi Allah aku tak tahu kecuali yang ditunjukkan oleh orang lain".
Demikianlah contoh-contoh yang diajukan oleh Salafus Sholih. Mereka tidak memberikan jalan keluar dengan menggunakan kalimat ironi kecuali sebagai pemenuhan hajat masyarakat untuk menutupi kebenaran di depan orang orang yang ingin menyingkap yang sebenarnya.

Kalimat sindiran bisa melepaskan seseorang dari kebohongan. Qoul ini sudah lumrah dikalangan Salafus Sholih. Akan tetapi hal itu masih dibatasi kalau tidak untuk memakan harta orang lain. Untuk kasus seperti itu diharamkan walaupun bersama istrinya

Imam Nawawi mengatakan:
bohongnya suami kepada istrinya atau sebaliknya hanya ditujukan untuk memperlihatkan kecintaan dan janji yang harus dipenuhi. Kalau lelaki mengambil hak yang tidak untuk lelaki, ulama' sepakat mengharamkanya.

Imam Ghozali dalam ihya', setelah membicarakan boleh tidaknya menggunakan kalimat sindiran beliau berkata:

"kalau bukan untuk hajat atau terpaksa, menyindir dan berbohong dengan terang-terangan diharamkan. Sedangkan untuk yang sindiran konsekuensinya lebih ringan."
Hadits di atas dipakai ulama' sebagai dalil bolehnya hilah.

Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Author mengatakan:
"Hal ini adalah hilah yang dilegalkan syara'. Allah sendiri dalam Al-Qur'an membolehkannya. Firman Allah:

وخذ بيدك ضعثا

Imam Syafi'i menggunakannya sebagai dalil. Sedangkan imam malik menginkarinya.

"ini Cuma satu jilidan". Kata imam malik

Sedangkan dari kalangan Hanabilah mengatakan :"melakukan hal itu boleh kalau memang udzur seperti firman Allah. Hal itu lebih baik dari pada harus meninggalkan kesemuanya atau malah membunuh seseorang yang tak seharusnya dibunuh. Dalam kitab Nataijul Afkar Syarah Fathul Qodir Al-Hanafiyah diterangkan kalau sakitnya parah atau lemah fisiknya menurut mereka & Syafi'iyah diperbolehkan memukul satu pukulan dengan 100 rumput

Pendapat yang memerinci
Setelah menyebutkan pendapat yang menyatkan keharamannya dan kebolehan hilah kini akan disebutkan pendapat yang memerincinya
1. Sebetulnya hilah tidak semua haram dan tidak semuanya halal. Ada yang disepakati boleh, ada yang disepakati dilarang dan ada yang masih dipertentangkan. Hilah yang dilarang adalah hilah yang sampai meruntuhkan pondasi syariah dan bertentangan dengan maslahah.

Imam Syatibi membagi dalam tiga bagian:
a. Hilah yang tidak diperselisihnya keharamannya. Misalnya hilahnya Munafikin dan Bani Israel.

Allah menyebutkan Sifatnya orang Munafik:

ومن الناس من يقول امنا بالله وباليوم الاخر

Allah mengolok-olok mereka karena keburukan perbuatannya. Mereka menampakkan islam bukan bertujuan untuk taat sepenuhnya & ketulusan hati. Mereka takut terbunuh dan harta mereka dirampas dan hilang. Dengan alasan ini mereka berhak masuk ke neraka.

Dan juga Hilahnya bani israel untuk menghindar dari tanggung jawabnya. Mereka diharamkan berburu ikan di hari sabtu. ولقد علمتم الذين اعتدوا منكم فى السبت . formalistiknya mereka tidak berburu pada hari itu. Tapi hakikatnya mereka telah melakukannya.

b. Hilah yang disepakati boleh. Misalnya mengatkan kufur saat dipaksa, menolong orang yang didzolimi, dan juga menyelamatkan hak

c. Hilah yang masih diperselisihkan
Hal ini dikarenakan tidak adanya dalil yang jelas seperti pembagian a dan b, dan syari' tidak menjelaskan tujuan yang disepakati bahwa itulah yang dimaksud dan tidak menjelaskan bahwa itu melenceng dari maslahah. Yang mengatakan hal itu melenceng menghukumi haram sedangkan yang mengatakan tidak melenceng mereka mengatakan boleh. Seperti nikah muhallil. Ada yang mengatakan haram ada yang tidak.

2. hilah adalah media yang mengeluarkan seseorang dari keharaman menuju kehalalan.
Muhammad bin hasan, dari amr bin dinar dan asy-sya'by:
"tak apa-apa melakukan hilah. Karena sesungguhnya hilah adalah sesuatu yang bisa mengeluarkannya dari hal yang haram untuk melakukan yang halal. Untuk hlah seperti ini tidak apa-apa.

Hanya saja makruh hukumnya kalau hilah itu dipakai untuk menghilah hak orang lain agar hak itu gugur atau membatalkan hak orang lain untuk dirinya sendiri. Atau menjerumuskan kepada syubhat:

ومن يتق الله تجعل له مخرجا

Makhroja: keluar dari kehimpitan hidup.
Hilah untuk keluar dari kehimpitan kehidupan tidak apa-apa karena hal itu dianjurkan.

3. setiap yang namanya hilah itu belum tentu haram

اإِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا (98 النساء)

Misalnya hilah ini dilakukan agar selamat dari gangguan orang kafir. Hilah ini terpuji dan mendapatkan pahala

4. Hanabilah adalah madzhab yang paling getol membatalkan hilah. Mereka berpendapat:
"Orang yang memasang jebakan untuk menangkap hewan buruan sebelum ihram kemudian mengambil yang sudah terjebak pada waktu ihram hal itu menurut mereka boleh"
Kalau misalnya ada pertanyaan kepada mereka, Apa perbedaan hilah ini dengan hilahnya Ashabus Sabti? Melihat yang terjadi, tidak ada perbedaan. Kalau memang sama, mereka harus mengatakan hilah orang yang berihram untuk memasang jaring itu batal seperi batalnya hilahnya ashabus sabti. Jumhur sepakat membatalkan hilah ini.

5. Ibnu qoyim dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar pengingkaran beliau kepada hilah dan orang yang mengatakan kebolehan hilah. Dan beliau memberikan beberapa dalil yang menguatakan tuduhannya

Contoh yang diberikan oleh Imam Qorofi adalah contoh yang disepekati keharamannya oleh ulama'. Dan contoh ini tidak cukup berguna menyerang jumhur.

Dr. Buwaithi dalam kitabnya ضوابط المصلحة فى الشريعة الاسلامية hal 257:
"Walaupun Ibnu Qoyim Rohimahullah telah menjelenterehkan maksudnya dengan menjelaskan hilah haram dan halal dengan jelas dan terukur, sebetulnya tidak bertentangan dengan Jumhur. Dengan dalil, beliau memberikan 100 contoh hilah yang diperbolehkan dalam pandangannya."

Seakan-akan contoh yang diberikan oleh beliau berbeda dengan hilah yang dilakukan oleh ashabus sabti
Ibnu Qoyim sendiri dalam kitabnya الطرق الحكمية فى السياسة الشرعية menyebut beberapa

hilah yang boleh menurutnya :
"sebenarnya sunnah nabawiyyah telah memberikan kita tuntunan agar selamat dari hal yang dibenci oleh syari'at dengan cara yang mudah sekali, yaitu dengan sindiran. Baik tindakan maupun perkataan.
Contoh hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya: dari Abu Hurairah RA, berkata: seseorang mendatangi Rosulullah bahwa dia mempunyai tetangga yang sering menyakitinya.
Nabi menjawab:"keluarkan saja barang-barang kamu kejalan".
Kemudian laki-laki itu pulang, kemudian di mengeluarkan barang-barangnya dari runah. Serentak, masyarakat menyambanginya.
Mereka bertanya kepada lelaki itu:"ada masalah?".
dia menjawab: "aku punya tetangga yang sering menyakitiku".
Para masyarakat kemudian mengutuk tetangga tersebut: اللهم العنه . hal itu terdengar sampai ke telinga tetangga tadi. Kemudian dia mendatanginya.
"ayo kembali ke rumahmu. Demi Allah aku tak akan menyakitimu.". kata tetangga.
Ibnu qoyim setelah hadits itu menyatakan:"ini dan contoh sebelumnya adalah hilah yang dilegalkan syara'. Sebuah siasat seseorang dengan melakukan hal yang tidak terlarang agar dia selamat dari kedzoliman dan siksa orang lain.

Seseorang yang mempelajari syari'ah dengan teliti dan mendalam akan mendapatkan bahwa yang diharamkan Allah masih ada sela untuk mungkin dilakukan. Sehingga maslahah yang seharusnya dilakukan tidak sampai terabaikan.

Imam syarkhosy dalam kitabnya al-mabsuth bab hilah mengatakan:
"Hilah yang digali dari perkataan imam itu boleh menurut jumhur. Tetapi orang pada pesimistis dengan menghukumi makruh karena mereka bodoh dan dangkal dalam memahami Al-Qur'an dan sunnah."
Setelah menyebutkan dalil-dalil jumhur yang membolehkan hilah dari nash al-qur'an, kemudian disusul dengan pernyataannya:

Dalam hadits, Nabi membolehkan tipu daya dalam perang "الحرب خدعة ". Nabi pernah didatangi oleh seorang lelaki bahwa dia bersumpah kalau berbicara dengan saudaranya dia akan menolak istrinya. Nabi memberikan solusi:"tholaklah dia satu kali, ketika iddahnya sudah selesai, bicaralah dengan saudaramu kemudian nikahlah dengan istrimu lagi". Itu adalah bagian contoh sunnah yang membolehkan. Sedangkan contoh dari perbuatan shahabat masih banyak lagi

Dalam mu'amalahpun akan dijumpai bermacam-macam hilah. Misalnya: bagaimana agar kita bisa halal berhubungan dengan wanita yang kita cintai? Jawabannya nikahilah. Bagaimana agar budak itu dapat saya nikmati? Jawabanya, belilah. Kalau aku sudah benci dengan istriku bagaimana aku bisa memutuskannya? Jawabannya: tholaklah dia. Kalau menyesal dan ingin kembali lagi bagaimana? Rujuklah dia. Setelah selesai menolak istrinya tiga kali, aku menyesal telah menyesal atas keburukan sikapku, bagaimana aku bisa berhubungan lagi dengannya? Jawabannya; perempuan tadi menikah dengan orang lain dulu dan bersetubuh. Orang yang semata-mata membenci hal ini hanya orang yang masih dangkal dalam memahami agama. Hilah yang diperbolehkan hanya untuk tujuan ysng dilegalkan. Hanya orang yang pesemistis yang tidak mau meneliti hakikat secara mendalam dengan shanya hilah tadi.

Kesimpulan
Ulama' tidak menginkari hilah sama sekali. Malikiyah tidak menolak prinsip hilah syar'iyyah. Mereka berusaha mempersempit pintu masuk karena mereka harus konsis dengan prinsip mereka saddudz dzaro'i
Hanafiyah walaupun terkenal dengan pendapat hilahnya karena abu yusuf mengarang buku tentang hilah secara tersendiri. Tetapi menurut pendapat yang kuat, kebanyakan imam-imam hanafiyah membatasi hilahnya untuk mencapai kebenaran.

Pendapat yang unggul bagaimana seberapa batasan hilah:
• Baik kalau bertujuan keluar dan jauh dari keharaman
• Berdosa kalau bertujuan untuk membatalkan hak orang lain

Menurut jumhur ada beberapa hilah yang disepakati boleh: orang yang haram membaca Al-Qur'an dapat mensiasatinya dengan berniat berdo'a. Orang yang jinabah yang ingin memasukkan tangannya kedalam air agar tidak menjadi musta'mal bisa diniati dengan menciduk.
Source ; http://cahlil.blogspot.com/2010/10/mensiasati-hukum-bolehkah.html