Saleum Troeh Teuka

Saleum Troeh Teuka
Selamat datang wahai saudaraku ke tempat kami

Jumat, 14 Januari 2011

Jenis Jiwa Manusia



Jiwa manusia ada tiga macam:

1. Jiwa yang jelek

Dia adalah jiwa yang selalu memerintahkan ber¬buat kejelekan, mengikuti hawa nafsu, kesesatan dan tempat-tempat yang jelek. Mengenai jenis jiwa ini Allah سبحانه و تعالي berfirman:


وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّيَ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ


“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Robbku. Sesungguhnya Robbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf [12]: 53)


Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata: “Kejelekan jiwa itu berkisar dua perkara: mengerjakan kemak¬siatan atau lemah dalam mengerjakan ketaatan.”


2. Jiwa yang tenang dan bagus
Dia adalah jiwa yang memerintahkan kebaikan dan melarang dari kejelekan. Selalu tenang ingat kepada Allah kembali dan taubat kepada-Nya, dan selalu dekat dan rindu berjumpa dengan Allah.


يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Robbmu de¬ngan hati yang puas lagi diridhoi-Nya.” (QS. al-Fajr [89]: 27-28)

3. Jiwa yang selalu mencela dan menyesal

Jiwa jenis ini ada yang mengatakan adalah sifat bagi jiwa yang baik dan jelek. Karena jiwa yang baik akan mencela perbuatan jelek, dan jiwa yang jelek akan mencela perbuatan baik. Allah سبحانه و تعالي berfirman:


لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ


“Aku bersumpah demi hari kiamat. Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. al-Qiyamah [75]: 1-2)

Introspeksi (muhasabatun nafsi)

Instrospeksi (Muhasabatun-Nafs)

Introspeksi diri dalam bahasa ilmiah dikenal dengan istilah Muhasabatun-nafs. Dia merupakan perkara yang sangat penting. Jiwa manusia tidak akan baik kecuali mau mengintrospeksi dirinya sendiri. Barangsiapa yang introspeksi diri pada hari ini dia akan selamat pada hari esoknya, insya’ Allahu Ta’ala.

Muhasabatun-nafs dilakukan dengan cara bertanya pada diri sendiri, merenungi, berkaca terhadap aib dan kekurangan. Kejujuran dan mau mengakui kesalahan adalah di antara kunci ke¬berhasilan muhasabatun-nafs.

Apa yang diharapkan dari muhasabatun-nafs? Perubahan yang nyata, itulah yang menjadi tujuannya. Dari jelek menuju baik, mak¬siat menuju taat, lalai menjadi ingat.

Imam al-Mawardi رحمه الله mengatakan: “Muha¬sabah adalah mengintrospeksi diri pada malam hari terhadap aktivitasnya di siang hari. Apabila terpuji maka dilanjutkan dengan perbuatan yang semisal. Jika ternyata jelek, dia akan memperbaiki dan tidak mengulanginya di hari esok.”

Muhasabah adalah ketika akal memperhatikan kondisi jiwa, semakin baik atau semakin rusak. Se¬lalu bertanya terhadap perbuatan yang dikerjakan. Mengapa dikerjakan, dan untuk siapa? Jika kebaik¬an ini karena Allah عزّوجلّ dia akan meneruskannya, jika tidak maka dihentikan. Dia akan selalu mencela jiwa atas kelalaian dan kesalahan, jika bisa ditambal dengan perbuatan baik yang menghapusnya, dia akan segera mengerjakannya.”

Imam Ibnul Qayyim رحمه الله mengatakan: “Karena seorang hamba akan dihisab atas segala sesuatu, sampai pendengaran, mata dan hatinya sebagai¬mana Allah berfirman:

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. al-Isro’ [17]: 36)

Semestinya setiap insan muhasabah dirinya sebe¬lum dia diteliti dalam perhitungan hari kiamat. Yang menunjukkan wajibnya introspeksi diri ada¬lah firman Allah سبحانه و تعالي yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. al-Hasyr [59]: 18)

Yaitu hendaklah setiap orang melihat apa yang sudah diperbuatnya untuk hari kiamat, apakah amalannya termasuk amalan yang sholih yang bisa menyelamatkan dirinya ataukah amalan yang jelek yang akan membinasakannya. Walhasil, bahwa ke¬baikan hati adalah dengan muhasabah diri. Hati akan jelek jika diremehkan dan ditinggalkan.

Keutamaan dan Manfaat Intropeksi Diri

Allah memerintahkannya Berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالي yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertak¬walah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengeta¬hui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menja¬dikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hasyr [59]: 18-19)

Syaikh Abdurrohman as-Sa’di رحمه الله mengatakan: “Ayat yang mulia ini adalah dalil tentang muha¬sabah seorang hamba terhadap dirinya. Dan su¬dah selayaknya bagi manusia untuk berintrospeksi diri. Jika dia menjumpai kekurangan, maka wajib menambalnya dan berlepas diri dari dosa dengan taubat serta berpaling dari segala sebab yang bisa membawa dosa. Jika dia menilai bahwa dirinya banyak meremehkan perintah-perintah Allah عزّوجلّ, maka hendaknya ia bersungguh-sungguh dan me¬minta pertolongan kepada Allah عزّوجلّ agar diberi¬kan kekuatan untuk menjalankan perintah. Maka yang terhalang dari kebaikan adalah orang yang lalai dari perkara ini, dia seperti kaum yang lupa kepada Allah عزّوجلّ, tidak ingat hak-hak Allah عزّوجلّ, dan dia malah berpaling mengikuti hawa nafsu! Aki¬batnya Allah عزّوجلّ melupakan mereka, melupakan kebaikan dan manfaat bagi mereka. Jadilah perkara mereka tidak membuahkan apa pun. Mereka kem¬bali dalam keadaan merugi dunia dan akhirat, ter¬tipu dan tidak mungkin ditambal, karena mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Introspeksi diri adalah jalan selamat bagi jiwa

Seorang muslim diibaratkan sebagai tawanan di dunia ini. Dia tidak akan merasa aman sedikitpun hingga berjumpa dengan Allah عزّوجلّ.2 Segala tindakannya akan ditanya pada hari esok. Oleh karenan¬ya bagi orang yang berintrospeksi diri kemudian bangkit dengan memperbaiki arah hidupnya, dia akan memetik buahnya di hari yang tiada guna lagi harta dan anak. Allah عزّوجلّ berfirman:

يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah me¬reka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. al-Mu-jadilah [58]: 6)


Dan juga firman Allah سبحانه و تعالي:

يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُّحْضَراً وَمَا عَمِلَتْ مِن سُوَءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَداً بَعِيداً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَاللّهُ رَؤُوفُ بِالْعِبَادِ

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala keba¬jikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya: ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh: dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali Imron [3]: 30)

Ketahuilah, sebagaimana orang yang berge¬lut dalam dunia bisnis dan perdagangan, mereka menghitung hasil usahanya di akhir bulan atau tahun. Demikian pula hendaknya seorang muslim menghitung terhadap amalannya.

Bila pedagang menghitung hasil usahanya un¬tuk mengetahui untung dan rugi, adapun seorang muslim yang dicari dengan introspeksi diri adalah keuntungan akhirat dengan meraih jiwa yang ber¬sih. Karena hal itu adalah inti kebahagiaan dirinya. Allah سبحانه و تعالي berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

“Sesungguhnya beruntung lah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang me¬ngotorinya.” (QS. asy-Syams [91]: 9-10)

Introspeksi diri akan menghantarkan taubat kepada Allah عزّوجلّ Orang yang melihat keadaan dirinya ternyata berada dalam kekurangan akan segera memper¬baiki dan bertaubat kepada Allah عزّوجلّ

Allah سبحانه و تعالي berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَواْ إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُواْ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalah¬annya.” (QS. al-A’rof [7]: 201)

Hasan al-Bashri رحمه الله berkata: “Seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan selama dia introspeksi diri dan hal itu menjadi perhatiannya.”

Mengingatkan perhitungan di akhirat

Seluruh hamba pasti akan diadili Allah عزّوجلّ. Sebe¬lum kita mengalami, ada baiknya kita introspeksi diri dan menghitung amalan sendiri. Alangkah bagusnya ucapan sahabat mulia Umar bin Khaththab رضي الله عنه tatkala berkata: “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Karena hal itu akan lebih ringan bagi kalian dalam menghadapi hari hisab besok.”

Bentuk-bentuk Intropeksi Diri

1. Introspeksi diri sebelum beramal
Yang bisa dilakukan untuk tujuan ini ialah de¬ngan melihat dan memperhatikan keinginan jiwa ketika akan berbuat. Hendaknya dia menilai apa¬kah keinginan yang terlintas itu untuk kebaikan dan ada manfaatnya ataukah kejelekan semata. Jika baik maka bisa dikerjakan, namun jika tidak hen¬daknya dibatalkan. Hasan al-Bashri رحمه الله berkata: “Semoga Allah merahmati seseorang yang bisa me¬nilai ketika timbul keinginannya. Jika keinginannya karena Allah dia teruskan, namun apabila untuk selain-Nya dia akhirkan.”


Jenis muhasabah sebelum beramal ini sangat penting untuk menimbang apakah amalan yang akan kita kerjakan baik ataukah jelek, ikhlas kare¬na Allah عزّوجلّ ataukah ingin riya’. Agar benar-benar amalan kita diterima di sisi Allah عزّوجلّ dan tidak sekedar beramal tanpa mempedulikan akibatnya, sehingga termasuk dalam firman Allah عزّوجلّ yang berbunyi:


عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ. تَصْلَى نَاراً حَامِيَةً

“Bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sa¬ngat panas (neraka).” (QS. al-Ghosyiyah [88]: 3-4)


2. Introspeksi diri setelah beramal

Jenis introspeksi ini ada beberapa bentuk:

a. Introspeksi diri terhadap ketaatan yang su¬dah dikerjakan akan tetapi masih ada celah-celah yang kurang. Yang harus dipenuhi ke¬tika mengerjakan ketaatan adalah ikhlas dan mutaba’ah Rosululloh صلي الله عليه وسلم . Hendaklah dua perkara ini menjadi inti perhatiannya dalam beramal.
Introspeksi diri terhadap seluruh perbuatan yang bila ditinggalkan akan lebih baik daripada diker¬jakan. Contoh kongkretnya adalah bila mengerjakan kemaksiatan atau mengerjakan perbuatan yang tidak wajib hingga perkara yang wajib ter¬lalaikan, seperti orang yang sholat tahajjud se¬malam suntuk hingga sholat subuhnya terlewat¬kan.

b. Introspeksi diri terhadap perkara yang boleh atau kebiasaan. Yaitu dengan bertanya diri sendi¬ri apakah saya mengerjakannya ada niat ibadah ataukah sekedar rutinitas biasa. Karena perkara yang boleh bisa bernilai ibadah jika diniatkan ibadah. Sahabat Mulia Mu’adz bin Jabal per¬nah berkata:

أَمَّا أَنَا فَأَقُومُ وَأَنَامُ وَأَرْجُو فِي نَوْمَتِي مَا أَرْجُو فِي قَوْمَتِي

“Adapun saya, maka saya sholat dan tidur. Dan saya berharap dalam tidur saya apa yang saya harapkan dalam sholat saya.” (HR. al-Bukhori: 4086, Mus¬lim: 1733)

Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Hendaknya mulai dari perkara-perkara yang wajib, apabila menjumpai kekurangan maka berusahalah untuk menutupnya. Kemudian perkara-perkara yang di¬larang, jika sadar bahwa dirinya pernah menger¬jakan yang haram maka tambah lah dengan taubat, istighfar dan perbuatan baik yang bisa menghapus dosa. Kemudian introspeksi diri terhadap perkara yang melalaikan dari tujuan hidup ini. Jika sela¬ma ini banyak lalai, maka hilangkan lah kelalaian tersebut dengan banyak dzikir, menghadap Allah عزّوجلّ. Kemudian introspeksi diri terhadap anggota badan, ucapan yang keluar dari lisan, langkah kaki yang diayunkan, pandangan mata yang dilihat, telinga dalam hal yang didengarkan. Tanyakan¬lah dalam diri, apa yang saya inginkan dengan ini, untuk siapa saya kerjakan dan bagaimana saya mengerjakannya

Selasa, 11 Januari 2011

Cara mengetahui ilmu yang ada pada diri sendiri

Yang Kita Lupakan Dalam Menuntut Ilmu

Bertahun-tahun sudah kita luangkan waktu kita untuk menuntut ilmu. Suka duka yang dirasakan juga begitu banyak. Mengingat masa lalu terkadang membuat kita tersenyum, tertawa dan terkadang membuat kita menangis. Inilah kehidupan yang harus kita jalani. Kehidupan sebagai seorang thalibul’ilmi. Akan tetapi, mungkin kita sering melupakan, apakah ilmu yang kita dapatkan adalah ilmu yang bermanfaat ataukah sebaliknya.

Penulis teringat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

Artinya: “Ya Allah. Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah merasa kenyang dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR Muslim No. 6906 dan yang lainnya dengan lafaz-lafaz yang mirip)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang dijamin oleh Allah untuk menjadi pemimpin Bani Adam di hari akhir nanti, sangat sering mengulang doa-doa ini, apalagi kita, yang sangat banyak berlumuran dosa, sudah seharusnya selalu membacanya.

Mengetahui ciri-ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat sangatlah penting. Oleh karena itu, berikut ini penulis sebutkan beberapa ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat yang penulis ambil dari kitab Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali yang berjudul Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf.

Ciri-ciri ilmu yang bermanfaat di dalam diri seseorang:

1. Menghasilkan rasa takut dan cinta kepada Allah.
2. Menjadikan hati tunduk atau khusyuk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya dan selalu bersikap tawaduk.
3. Membuat jiwa selalu merasa cukup (qanaah) dengan hal-hal yang halal walaupun sedikit yang itu merupakan bagian dari dunia.
4. Menumbuhkan rasa zuhud terhadap dunia.
5. Senantiasa didengar do'anya.
6. Ilmu itu senantiasa berada di hatinya.
7. Menganggap bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu dan kedudukan.
8. Menjadikannya benci akan tazkiah dan pujian.
9. Selalu mengharapkan akhirat.
10. Menunjukkan kepadanya agar lari dan menjauhi dunia. Yang paling menggiurkan dari dunia adalah kepemimpinan, kemasyhuran dan pujian.
11. Tidak mengatakan bahwa dia itu memiliki ilmu dan tidak mengatakan bahwa orang lain itu bodoh, kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah dan ahlussunnah. Sesungguhnya dia mengatakan hal itu karena hak-hak Allah, bukan untuk kepentingan pribadinya.
12. Berbaik sangka terhadap ulama-ulama salaf (terdahulu) dan berburuk sangka pada dirinya.
13. Mengakui keutamaan-keutamaan orang-orang yang terdahulu di dalam ilmu dan merasa tidak bisa menyaingi martabat mereka.
14. Sedikit berbicara karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnhya, sedikitnya perkataan-perkataan yang dinukil dari orang-orang yang terdahulu bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara, tetapi karena mereka memiliki sifat wara’ dan takut pada Allah Taala.



Adapun ciri-ciri ilmu yang tidak bermanfaat di dalam diri seseorang:

1. Ilmu yang diperoleh hanya di lisan bukan di hati.
2. Tidak menumbuhkan rasa takut pada Allah.
3. Tidak pernah kenyang dengan dunia bahkan semakin bertambah semangat dalam mengejarnya.
4. Tidak dikabulkan doanya.
5. Tidak menjauhkannya dari apa-apa yang membuat Allah murka.
6. Semakin menjadikannya sombong dan angkuh.
7. Mencari kedudukan yang tinggi di dunia dan berlomba-lomba untuk mencapainya.
8. Mencoba untuk menyaing-nyaingi para ulama dan suka berdebat dengan orang-orang bodoh.
9. Tidak menerima kebenaran dan sombong terhadap orang yang mengatakan kebenaran atau berpura-pura meluruskan kesalahan karena takut orang-orang lari darinya dan menampakkan sikap kembali kepada kebenaran.
10. Mengatakan orang lain bodoh, lalai dan lupa serta merasa bahwa dirinya selalu benar dengan apa-apa yang dimilikinya.
11. Selalu berburuk sangka terhadap orang-orang yang terdahulu.
12. Banyak bicara dan tidak bisa mengontrol kata-kata.

Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Di saat sekarang ini, manusia boleh memilih apakah dia itu ridha untuk dikatakan sebagai seorang ulama di sisi Allah ataukah dia itu tidak ridha kecuali disebut sebagai seorang ulama oleh manusia di masanya. Barang siapa yang merasa cukup dengan yang pertama, maka dia akan merasa cukup dengan itu… Barang siapa yang tidak ridha kecuali ingin disebut sebagai seorang ulama di hadapan manusia, maka jatuhlah ia (pada ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam),

من طلب العلم ليباهي به العلماء أو يماري به السفهاء أو يصرف وجوه الناس إليه فليتبوأ مقعده من النار

Artinya: “Barang siapa yang menuntut ilmu untuk menyaing-nyaingi para ulama, mendebat orang-orang bodoh atau memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya, maka dia itu telah mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” (*)

*) Dengan Lafaz yang seperti ini, penulis belum menemukannya dengan sanad yang shahih. Akan tetapi, terdapat lafaz yang mirip dengannya di Sunan At-Tirmidzi No. 2653 dengan sanad yang hasan, yaitu:

من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار

***

اللهم إني أسألك علما نافعا و رزقا طيبا و عملا متقبلاز آمين

Maraji’:

1. Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf oleh Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali, Dar Al-Basya’ir Al-Islamiah
2. Shahih Muslim, Dar As-Salam
3. Sunan At-Tirmidzi, Maktabah Al-Ma’arif

***


Penulis: Ustadz Said Yai Ardiansyah (Mahasiswa Fakultas Hadits, Jami’ah Islamiyah Madinah, Saudi Arabia)

Artikel www.muslim.or.id 

source :

http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/yang-kita-lupakan-dalam-menuntut-ilmu.html

DALIL-DALIL ACARA SAAT KEMATIAN



HUKUM TA'ZIAH

Ta'ziah adalah mengajak kerabat mayit bersabar atas musibah untuk mendapatkan fahala, menjauhi gundah yang mengakibatkan dosa, berdo'a untuk mayit dengan keampunan dan berdo'a untuk kerabat yang ditinggalkan dengan balasan atas musibah .

Telah beredar dikalangan masyarakat saat ini fatwa yang sangat membingungkan masyarakat Aceh, ta`ziah wajib dilakukan selama tiga hari. Fatwa ini sangat bertentangan dengan apa yang selama ini berkembang di Aceh yang bermazhab Syafi'i dalam Fiqh dan Ahlussunnah wa al-Jama'ah dalam I'tiqad.

Hukum ta'ziah adalah sunat, bukan wajib selama tiga hari. Hal ini berdasarkan;

1. al-Quran surat al-Maidah: 5, ayat 2

وتعاونوا على البر والتقوى

2. Hadits riwayat Sunan yang lima kecuali Nasa-i

إصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم مايشغلهم

3. Hadits riwayat Turmuzy

من عزى مصابافله مثل أجره .

4. Kitab-kitab Mu'tabar.

a. al-Azkar Imam Nawawy

واعلم أن التعزية مستحبة قبل الدفن وبعده

b. al-Mahally

(التعزية مستحبة قبل الدفن وبعده) أى هما سواء فى أصل السنية وتاخرها أحسن للإشتغال أهل الميت بالتجهيزه .

c. Tuhfah al-Muhtaj

(والتعزية) بالميت وألحق به مصيبة نحو المال لشمول الخير الآتى لها أيضا (سنة) لكل من يأسف عليه كقريب و زوج و صهر و صديق و سيد و مولى ولو صغيرا نعم الشابة لا يعزيها الا نحو محرم اى يكره ذلك كإبتدائها بالسلام .

•••

UPACARA PADA HARI KE-7, 40 dan 100

Masyarakat Aceh telah lama mengenal sebuah upacara yang dikenal dengan nama yang sesuai dengan harinya yaitu, nujoeh, peut ploh dan reutoeh. Upacara tersebut berupa kenduri atau sadaqah terhadap kerabat yang datang ke rumah duka untuk bersilaturrahmi dan mendoakan kepada almarhum/ah pada hari ke tujuh (nujoeh) hari ke empat puluh (peut ploh) dan hari ke seratus (reutoeh).

Pada saat ini dikalangan masyarakat telah beredar sebuah fatwa yang mengatakan bahwa upacara tersebut merupakan upacara di Kerajaan Hiyang dari daratan Tiongkok yang dibawa oleh orang Hindu ke tanah Melayu tempo dulu. Mereka melanjutkan bahwa upacara tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah s.a.w. dan tidak ada tuntunannya.

Tidak mengapa menyajikan makanan terhadap kerabat yang datang untuk mendoakan almarhum/ah, karena itu merupakan sadaqah dan juga memuliakan tamu. Yang dilarang sesudah hari ke tiga adalah mengadakan ta`ziah sebagimana yang termaktub dalam;

a. al-Azkar an-Nawawy

قال أصحابنا وتكره التعزية بعد ثلاثة أيام لأن التعزية لتسكين قلب المصاب والغالب سكون قلبه بعد ثلاثة فلا يجدد له الحزن هكذا قاله الجماهير من أصحابنا وقال أبو عباس بن القاصى من أصحابنا لا بأس بالتعزية بعد ثلاثة بل يبقى أبدا وإن طال زمان وهكى هذا أيضا إمام الحرمين عن بعض أصحابنا.

b. al-Mahally

(ثلاثة أيام) تقريبا فلا تعزية بعدها الا ان يكون المعزى او المعزى غائبا وفى شرح المهذب قال أصحابنا وقت التعزية من حين الموت الى الدفن وبعد الدفن بثلاثة أيام وتكره بعد ثلاثة اى لتجديد الحزن بها للمصاب بعد سكون القلب بثلاثة غالبا

Sedangkan yang dilakukan oleh masyarakat di Aceh adalah memuliakan kerabat yang datang berkunjung kerumah duka sebagai tamu. Kedantangan saudara se-iman pada hari tertentu (ke-7,40 dan 100) berkunjung ke kerabatnya yang ditimpa musibah merupakan adat. Bukanlah sebagai ta’ziah, tetapi hanya bersilaturrahmi, untuk mempererat tali persaudaraan. Jadi kunjungan yang dilakukan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Islam sendiri sangat menganjurkan bersilaturrahmi sebagai mana yang telah dimaklumi secara umum.

•••

MENYAJIKAN MAKANAN PADA TA`ZIAH

Fatwa tentang menyajikan makanan dalam upacara ta`ziah yang disebarkan oleh sebagian kelompok juga telah memecah belahkan masyarakat Aceh yang telah lama bernaung di bawah 'aqidah yang suci Ahlussunnah wa al-Jama`ah. Sebagian kelompok dari golongan tertentu memfatwakan bahwa menyediakan makanan adalah bid`ah, tidak ada tuntunan dari Rasulullah s.a.w.

Orang yang memfatwakan hal tersebut di atas keliru dalam memahami Hadist Nabi. Hal ini dapat kita pahami dari pemaparan Ulama-ulama yang kompeten dalam kitab-kitab mu`tabar.

Ketika sebuah keluarga ditimpa musibah, disunatkan terhadap saudara se-islam untuk menyediakan makanan kepada saudaranya yang ditimpa musibah, karena keluarga yang ditimpa musibah sedang sibuk dengan mentajhizkan mayit, dan juga agar keluarga yang ditimpa musibah tetap kuat, tidak lemah karena tidak makan. Hal ini berdasarkan;

1. al-Quran surat al-Maidah: 5, ayat 2

وتعاونوا على البر والتقوى

2. Hadits riwayat Sunan yang lima kecuali Nasa-i

إصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم مايشغلهم

3. Kitab-kitab Mu'tabar.

a. al-Mahally

(و) يسن (لجيران أهله تـهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم) لشغلهم بالحزن عنه (و يلح عليهم فى الاكل) ندبا لئلا يضعفوا بتركه .


b. Tuhfah al-Muhtaj

(و) يسن (لجيران أهله) ولو كانوا بغير بلده اذ العبرة ببلدهم و لاقاربه الاباعاد ولو ببلد آخر (تـهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم) للخبر الصحيح إصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم مايشغلهم .

c. Tuhfah al-Muhtaj

وعليه فالتقييد باليوم والليلة فى كلامهم لعله للافضل فيسن فعله لهم أطعموا من حضر هم من المعزين ام لا ماداموا مجتمعين و مشغولين لا لشدة الاهتمام بامر الحزن


d. I`anatu ath-Thalibin

و يحرم تهيته للنائحات لانه اعانة على معصية وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس اليه بدعة مكروهة كإجابتهم لذلك لما صح عن جرير رضى الله عنه كنا نعد الاجتماع الى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء بل ينبغى أن ينصرفوا فى حوائجهم فمن صادفهم عزاهم اهـ

•••

BACA SURAT YASIN, TAHLIL dan HADIAH FAHALA KEPADA MAYIT

Acara dalam ta`ziah adalah membaca surat al-Baqarah (2) ayat 152 s/d ayat 160 kemudian adakan tabligh yang mengandung isi kesabaran dalam menerima musibah, tutup dengan doa untuk almarhum/ah. Tinggalkan kebiasaan baca surat Yasin bersama-sama, tahlil dan kirim hadiah. Semua itu hukumnya bid`ah. Demikianlah fatwa yang disebarkan oleh sebagian kelompok yang kurang teliti dalam memahami dalil-dalil syara` (agama).

Fatwa tersebut sangat bertentangan dengan amalan yang telah dikerjakan dan difatwakan oleh Ulama-ulama yang masyhur kealiman dan kewara`annya. Dalam berta`ziah terdapat amalan-amalan tertentu, yang berdalilkan Hadits-hadits, Atsar, Ijma` dan Qiyas.

Dalil disunatkan membaca Yasin kepada mayit

a. Nihayah al-Muhtaj .

(ويقرء عنده) سورة (يسﬞ) ندبا لخبر [اقرءوا على موتاكم يسﬞ ] اى من حضره مقدمات الموت لان الميت لا يقرأ عليه خلافا لما أخذه به ابن الرفعة كبعضهم من العمل بظاهر الخبر ولك ان تقول لا منع من إعمال اللفظ فى حقيقته و مجازه, فحيث قيل يطلب القراءة على الميت كانت يسﬞ أفضل من غيرها. وكان المعنى لا يقرأ على الميت أى قبل الدفنه اذ المطلوب الآن الاشتغال بتجهيزه, أما بعد دفنه فيأتى فى الوصية ان القراءة تنفعه فى بعض الصور فلا مانع من ندبها حينئذ كالصدقة وغيرها, وحكمة قراءتها تذكره بما فيها من أحوال البعث والقيامة .

b. Manhaj ath-Thullab .

(وان يقرء عنده) سورة (يسﬞ) لخبر [اقرءوا على موتاكم يسﬞ ] رواه أبو داود و غيره و صححه ابن حبان و غيره

c. Tuhfah al-Muhtaj

(ويقرء) ندبا (عنده يسﬞ) للخبر الصحيح [اقرءوا على موتاكم يسﬞ ] اى من حضره الموت لان الميت لايقرأ عليه وأخذ ابن الرفعة بقضيته وهو أوجه فى المعنى اذ لا صارف عن ظاهره وكون الميت لا يقرأ عليه ممنوع لبقاء ادراك روحه فهو بالنسبة لسماع القرآن وحصول البركته له كالحى واذا صح السلام عليه فالقراءة عليه أولى


Dalil disunatkan membaca Tahlil terhadap mayit.

a. Hadits Abi Ya`la dan Ibn `Ady

أكثروا من شهادة لا اله الا الله قبل ان يحال بينكم وبينها, ولقنوها موتاكم

Dalil berfaedah (sampai) hadiah fahala kepada mayit.

a. al-Quran al-Karim surat ath-Thur ayat 21

والذين امنوا واتّبعتهم ذريتهم بإيمان الحقنا بهم ذريتهم وما ألتنهم من عملهم من شئ

(الطور : ٢١)

b. Tafsir ash-Shawy

(الحقنا بهم ذريتهم) والذرية تطلق على الأصول والفروع قال تعالى (وأية لهم أن حملنا ذريتهم فى الفلك المشحون) والمعنى أن المؤمن إذا كان عمله أكثر ألحق به من دونه فى العمل إبنا او أبا ويلحق بالذرية من النسب الذرية بالسبب وهو المـحبة فإن حصل مع المحبة تعليم علم او عمل كان أحق باللحوق كالتلامذة فإنهم يلحق بأشياخهم وأشياخ الأشياخ يلحقوا بالأشياخ ان كانوا دونهم فى العمل والأصل فى ذلك عموم قوله صلى الله عليه وسلم [إذا دخل أهل الجنة الجنة سأل أحدهم عن أبويه وعن زرجته وولده ويقال انهم لم يدركوا ما أدركت فيقول يا رب إنى عملت لى ولهم فيأمر بإلحقهم به]

c. Hadits riwayat Imam Bukhary

عن ابن عباس رضى الله عنهما ان امرأة من جهينة جاءت الى النبى صلى الله عليه وسلم فقالت إن أمى نذرت ان تحج فلم تحج حتى ماتت أ فأحج عنها ؟ فقال نعم حجى عنها أرئيت لوكان على أمك دين أ كنت قاضيته؟ اقضوا الله فالله أحق بالوفاء

d. Hadits Turmuzy

عن ابن عباس أن رجلا قال يا رسول الله ان أمى توفيت أفيـنفعها إن تصدقت عنها؟ قال : نعم قال فإن لى مخرفا فأشهدك أنى قد تصدقت عنها

•••


PENUTUP

Dari pemaparan di atas, dapat kita ketahui bahwa fatwa-fatwa yang disebar oleh sebagian kelompok masih sangat jauh dari kebenaran, bertentangan dengan dalil-dalil syara`. Untuk lebih terperinci dapat dilihat dari uraian yang terdapat dalam buku 40 Masalah Agama karangan Syaikh Sirajuddin Abbas Rahmatullah `alaqih jilid I halaman 191 sampai dengan halaman 222. Untuk menutup tulisan ini kami nukilkan jawaban al-Mukarram Abuya Syaikh Muhammad Waly al-Khalidy Rahmatullah `alaih.

Fahala kenduri, zikir, قل هو الله أحد dan sebagainya, semua itu sampai kepada simayit kalau diniatkan atau dihadiahkan fahala itu kepada simayit. Karena sabda Nabi إنـما لكل امرء ما نوى dan juga terdapat Hadits yang menyatakan bahwa bermanfaat rajah (menawa) sebagian shahabat Nabi kepada orang yang disengat kala jengkig dengan surat al-Fatihah dan juga Allah telah berfirman وأتاكم من كل سألتموه (QS:) kalau didoakan atau dihadiahkan dengan meniatkan fahala.

Imam mujtahid yang empat telah sepakat bahwa fahala yang dihadiahkan kepada mayit bermanfaat (sampai). Tetapi kalau tidak didoakan atau tidak diniatkan fahala maka tidak akan sampai menurut pendapat Imam Syafi`i r.a. dan nash yang menyatakan sampai fahala kenduri kepada mayit terdapat dalam kitab I`anah ath-Thalibin :

والحاصل انه ان ملك لأجل الاحتياج أو لقصد الثواب مع صيغة كان صدقة و هبة وان ملك بقصد الاكرام مع صيغة كان صدقة و هبة وان ملك لا لأجل الثواب ولا لإكرام بصيغة كان هبة فقط وان ملك لأجل الإحتياج او الثواب من غير صيغة كان صدقة فقط وان ملك لأجل الإكرام من غير صيغة كان هدية فقط فبين الثلاثة عموم وخصوص من وجه

Dan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj dijelaskan:

وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس عليه بدعة مكروهة كاجابتهم لذلك لما صح عن جرير كنا نعد الاجتماع الى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحت ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الإهتمام بأمر الحزن ومن ثم كره اجتماع اهل الميت ليقصدوا بالعزاء قال الأئمة بل ينبغى أن ينصرفوا فى حوائجهم فمن صادفهم عزاهم وأخذ جمع من هذا ومن بطلان الوصية بالمكروه بطلانـها بإطعام المعزين لكراهته لأنه متضمن للجلوس للتعزية وزيادة وبه صرح فى الأنوار نعم ان فعل لأهل الميت مع العلم بأنهم يطعمون من حضرهم لم يكره وفيه نظر ودعوى ذلك التضمن ممنوعة ومن ثم خالف ذلك بعضهم فأفتى بصححة الوصية بإطعام المعزين وانه ينفذ من الثلث وبالغ ونقله عن الائمة وعليه فالتقييد باليوم والليلة فى كلامهم لعله للافضل فيسن فعله لهم أطعموا من حضر هم من المعزين ام لا ماداموا مجتمعين و مشغولين لا لشدة الاهتمام بامر الحزن ثم محل الخلاف كما هو واضح فى غير ما اعتيد الآن أن أهل الميت يعمل له مثل ما عملوه لغيرهم فإن هذا حينئذ يجرى فيه خلاف الآتى فى النقوط فمن عليه شئ لهم يفعله وجوبا او ندبا

Dari uraian ini dapat dipahami bahwa kenduri yang telah dilakukan selama ini hukumnya adalah sunat, karena kenduri itu untuk orang yang membaca al-Quran, Shamadiyah, dan Tahlil. Adapun uraian yang menjelaskan bahwa menyediakan makanan hukumnya makruh adalah disediakan untuk orang yang meratap-ratap pada sebuah kematian. Dalam kitab tafsir ash-SHawy

واما ان لم يوصى وقد جرت العادة بذلك او لمال واسع وفعل ذلك كبير رشيد

Maksud dari ayat al-Quran واتقوا يوما لا تجزى إلخ adalah orang-orang kafir, karena mereka tidak mendapat pertolongan (syafa`ah) dari orang mukmin. Sedangkan orang mukmin dapat memperoleh pertolongan (syafa`ah) sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam Hadits شفاعتى أهل الكبائر, juga dijelaskan dalam ayat kursi من ذا الذى يشفع الا بإذنه, dalil ini menetapkan bahwa adanya syafa`ah terhadap orang mukmin. Dalam al-Quran juga terdapat ayat yang menggambarkan hal demikian ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقون بالإيمان إلخ. Adapun Hadits اذا مات ابن آدم انقطع عمله الخ maksdunya adalah anak Adam yang Islam bukan yang kafir, maka oleh karena itu tidak bertentangan antara Hadits tersebut dengan ayat واتقوا يوما لا تجزى إلخ karena yang dimaksudkan dengan berlawanan atau bertentangan adalah التوارد بين معنيين مختلفين على محل واحد sedangkan yang terjadi disini bukan pada satu tempat tetapi pada dua tempat yang berbeda. Karena yang dituju dalam ayat tadi adalah orang kafir yang tidak mendapatkan syafa`ah sedang yang dituju dalam Hadits adalah orang Muslim.

والله اعلم بالصواب واليه والمرجع والمأب


source :

http://mursyidali.blogspot.com/2009/11/hukum-taziah.html


************************************************


KESAHIHAN DALIL BUDAYA TAHLILAN/ SELAMETAN WONG MATI 1 s/d 7, 40, 100 HARI DAN HAUL ORANG MENINGGAL

Pengertian Selamatan atau Haul

Haul berasal dari bahasa arab : berarti telah lewat atau berarti tahun. masyarakat Jawa menyebutnya (khol/selametane wong mati) yaitu : suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seorang yang ditokohkan dari para wali, ulama’, kyai atau salah satu dari anggota keluarga.

Rangkaian Acara Selametan atau Haul

1. Khotmul Qur’an yaitu membaca al-Qur’an 30 juz (mulai dari juz 1 s/d juz 30).

Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. menegaskan.

يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.

Artinya “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.

2. Tahlilan

Ibnu Taimiyah menegaskan masalah tahlil dengan keterangannya sebagai berikut :

اِذَا هَلَّلَ اْلاِنْسَانُ هٰكَذَا : سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْاَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَـفَـعَـهُ الله ُبِذٰلِكَ

Artinya : Jika seseorang membaca tahlil sebanyak 70.000 kali, kurang atau lebih dan (pahalanya) dihadiahkan kepada mayit, maka Allah memberikan manfaat dengan semua itu. Fatawa XXIV/323

3. Doa yang dihadiahkan kepada mayit.

Syekh Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa ulama’ telah sepakat mengenai doa dan memohonkan ampunan untuk mayit sebagaimana dalil di bawah ini :


اَلدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـغْـفَارُ وَهٰذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ لِقَوْلِ اللهِ تَعَالىَ ( وَالَّذِيْنَ جَائُوْ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْ لَناَ وَِلأِخْوَانِناَ الَّذِيْنَ سَبَقُوْناَ بِاْلاِيْمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِناَ غِلاَّ ِللَّذِيْنَ أَمَنُوْ رَبَّنَا اِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ) وَتَقَدَّمَ قَوْلُ الرَّسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( وَاِذاَصَلَّيْتُمْ عَلىَ اْلمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْالَهُ اَلدُّعَاءَ ) وَحُفِظَ مِنْ دُعَاءِ رَسُوْلِ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( اَللَّهُمَّ اْغفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّـتِـنَا ) وَلاَزَالَ اَلسَّلَفُ وَالْخَلَفُ يَدْعُوْنَ لِْلأَمْوَاتِ وَيَسْأَلُوْنَ لَهُمْ اَلرَّحْمَةُ وَاْلغُفْرَانُ دُوْنَ اِنْكَارٍ مِنْ اَحَدٍ .

Artinya : Do’a dan memohonkan ampun untuk mayit, pendapat ini telah menjadi kesepakatan ulama’, hal ini berdasarkan firman Allah (Dan orang-orang yang datang setelah mereka *muhajirin dan anshar* berdoa : Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman, dan jangan engkau jadikan hati kami “mempunyai sifat” dengki kepada orang-orang yang beriman, Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha penyantun dan Maha penyayang) QS. AL-HASYR AYAT 10. Dan telah disebutkan sebelumnya sabda Rasul Allah saw. Jika kamu menyalati mayid, maka ikhlaslah dalam berdoa. Dan juga doa Rasulullah saw. Ya Allah ampunilah orang-orang yang hidup dan yang mati kami (umat Nabi). Ulama’ salaf dan kholaf selalu mendoakan orang-orang mati dan mereka memohonkan kepadanya rahmat dan ampunan, tanpa seorang pun mengingkarinya.

4.Pengajian umum yang kadang dirangkai dengan pembacaan secara singkat sejarah orang yang dihauli, yang mencakup nasab, tanggal lahir dan wafat, jasa-jasa, serta keistimewaan yang patut diteladani.

5.Sedekah, diberikan kepada orang-orang yang berpartisipasi pada acara selametan, atau diserahkan langsung ke rumah masing-masing (ater-ater) Hal ini berdasarkan kepada perintah Nabi yang berbunyi:

وَقاَلَ عَلَيْهِ الصَّلاَة ُوَالسَّلاَم ُ: ( تَصَدَّقوُاْ عَنْ اَنـْفُـسِكُمْ وَعَنْ مَوْتاَكُمْ وَلَوْ بِشُرْبـَةِ مَاءٍ فَـاِنْ لَمْ تَـقْدِرُوْا عَلَى ذٰلِكَ فَـبِـاَيَةٍ مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَعْلَمُوْاشَـيْـأً مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَادْعُوْابِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ فَقَدْ وَعَدَ كُمْ بِاْلاِجَابَةِ )

Rasulullah saw. bersabda : bersedekahlah kamu sekalian untuk dirimu sendiri dan untuk ahli quburmu walau hanya dengan seteguk air, jika kamu sekalian tidak mampu bersedekah dengan seteguk air maka bersedekahlah dengan satu ayat dari kitab Allah, jika kamu tidak mengetahui/tidak mengerti sesuatu dari kitab Allah, maka berdoalah dengan memohon ampunan dan mengharap rahmat Allah, maka sesungguhnya Allah telah berjanji akan mengabulkan. (Di terangkan dalam kitab Durro an-Nasikhin, halaman 95).

اَلصَّـدَقَةُ : وَقَدْ حَكىَ اَلنَّوَوِىُّ اَلاِجْمَاعَ عَلىَ اَنَّهَا تَقَعُ عَنِ اْلمَيِّتِ وَيَصِلُهُ ثَوَبُهَا سَوَاءٌ كَانَتْ مِنْ وَلَدٍ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ . لِـمَا رَوَاهُ اَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا عَنْ اَبِـىْ هُرَيْرَةَ : اِنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّـبِىْ : اِنَّ أَبِـيْ مَاتَ وَتَرَكَ مَـالاً وَلَمْ يُوْصِ فَهَلْ يُكَفِّـْر عَنْهُ اَنْ اَتـَصَدَّقَ عَنْهُ ؟ قَالَ النَّـِبىْ , نَـعَـمْ .

Imam Nawawi menceritakan, bahwa Sedekah (shodaqoh) itu dapat diambil manfaatnya oleh mayit dan pahalanya pun sampai kepadanya, baik sedekah dari anaknya (keluarga) maupun selain anak (orang lain), dan ini sudah menjadi kesepakatan ulama’, karena hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim dan lainnya. Dari Abi hurairah ra. : seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. : Bapak saya telah meninggal, dia meninggalkan harta dan tidak meninggalkan wasiat. Apakah dapat menebus dosanya jika aku bersedekah sebagai gantinya?. Nabi menjawab : Ya, bisa. Keterangan Dalam kitab Peringatan Haul hal. 23-26.

Dalil Haul

Dalil mengenai haul adalah berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa junjungan kita Sayyidina Muhammad saw. Telah melakukan ziarah kubur pada setiap tahun yang kemudian diikuti oleh sahabat Abu Bakar, Umar dan utsman. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari al-Waqidy.

عَنِ اْلوَاقِدِى قَالَ : كَانَ النَّبِـىُّ يَـزُوْرُ شُهَدَاءَ اُحُدٍ فِيْ كُلِّ حَوْلٍ وَاِذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتـَهُ فَيَقُوْلُ : سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ ِبـمَا صَبَرْتـُمْ فَـنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ . ثُمَّ اَبُوْ بَكْرٍ يَـفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ .رواه البيهقى .

Artinya: al-Waqidy berkata “Nabi Muhammad saw. berziarah ke makam syuhada’ uhud pada setiap tahun, apabila telah sampai di makam syuhada’ uhud beliau mengeraskan suaranya seraya berdoa : keselamatan bagimu wahai ahli uhud dengan kesabaran-kesabaran yang telah kalian perbuat, inilah sebaik-baik rumah peristirahatan. Kemudian Abu Bakar pun melakukannya pada setiap tahun begitu juga Umar dan Utsman.

Diterangkan dalam kitab Ittihaf al-Sadah al-Muttaqin juz XIV hal.271, kitab Mukhtashor Ibnu Katsir juz 2 hal.279, dan dalam kitab Raddu al-Mukhtar ‘ala al-durri al-Mukhtar juz 1 hal 604.

Ø Hukum Selametan 1-7, 40, 100 hari dan Haul

Mengenahi hukum haul dan selamatan ulama’ berbeda pendapat, tetapi mayoritas ulama’ dari empat madzhab berpendapat bahwa pahala ibadah atau amal shaleh (selametan) yang dilakukan oleh orang yang masih hidup bisa sampai kepada orang yang sudah mati (mayit). Namun di sini akan kami paparkan seputar khilaf para ulama mengenai hal ini (yang membolehkannya dan yang tidak memperbolehkannya) Adapun berbagai pendapat ulama’ madzhab beserta dalil-dalilnya akan kami terangkan di bawah ini;

A. Pendapat sahih yang memperbolehkan

1. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah


Syaikhul Islam Taqiyuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Abd. Halim (yang lebih populer dengan julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari madzhab hambali) dalam kitab Majmu’ Fatawa : XXIV/314-315, menjelaskan sebagai berikut ini:

اَمَّا الصَّدَقَةُ عَنِ الْمَيِّتِ فَـِانَّهُ يَنْـتَـفِعُ بِهَا بِاتِّـفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ . وَقَدْ وَرَدَتْ بِذٰلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَحَا دِيْثُ صَحِيْحَةٌ مِثْلُ قَوْلِ سَعْدٍ ( يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِّيْ اُفْتـُلِتـَتْ نَفْسُهَا وَاَرَاهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ يَنْـفَـعُهَا اَنْ اَتَـصَدَّقَ عَنْهَا ؟ فَقَالَ : نَـعَمْ , وَكَذٰلِكَ يَـنْـفَـعُهُ اَلْحَجُّ عَنْهُ وَاْلاُ ضْحِيَةُ عَنْهُ وَالْعِتْقُ عَنْهُ وَالدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـْغفَارُ لَهُ بِلاَ نِزاَعٍ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ .

Artinya : Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi saw, seperti kata sa’at “Ya Rasul Allah, sesungguhnya ibuku wafat, dan aku berpendapat jika ia masih hidup pasti bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya ?” maka beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit : haji, qurban, memerdekakan budak, doa dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam.

Dan lebih spesifik lagi beliau menjelaskan dalam hal sampainya hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada mayit dalam kitab Fatawa : XXIV/322 sebagai berikut ini

فَاِذَا اُهْدِيَ لِمَيِّتٍ ثَوَابُ صِياَمٍ اَوْ صَلاَةٍ اَوْ قِرَئَةٍ جَازَ ذَلِكَ

Artinya : “jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-qur’an/kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”.

2.Menurut Imam Nawawi

Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin ibn as-Syaraf, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. menegaskan.

يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.

“Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayat, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.

Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini

وَيُـسْـتَحَبُّ لِلزَّائِرِ اَنْ يُسَلِّمَ عَلىَ اْلمَقَابِرِ وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ اَهْلِ اْلمَقْبَرَةِ. وَاْلاَفْضَلُ اَنْ يَكُوْنَ اَلسَّلاَمُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبـَتَ مِنَ اْلحَدِيْثِ وَيُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْأَنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ لَهُمْ عَقِبَهَا وَنَصَّ عَلَيْهِ اَلشَّاِفعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ . المجموع : 5 – 282.

“Dan disunahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendoakan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan doa itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan/ajarkan dari Nabi Muhammad saw., dan disunahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdoa untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-umm) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya.

3.Menurut Imam Ibnu Qudamah

Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hanbali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab karyanya al-Mughny juz 2 hal. 566.

قَالَ : وَلاَ بَأْسَ بِالْقِرَائَـةِ عِنْدَ اْلقَبْرِ . وَقَدْ رُوِيَ عَنْ اَحْمَدَ اَنَّـهُ قَالَ : اِذاَ دَخَلْتمُ ْالَـْمَقَابِرَ اِقْرَئُوْا اَيـَةَ اْلكُـْرسِ ثَلاَثَ مِرَارٍ وَقُلْ هُوَ الله ُاَحَدٌ ثُمَّ قُلْ اَللَّهُمَّ اِنَّ فَضْلَهُ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ .

Artinya “al-Imam ibn Qudamah berkata : tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanbal bahwasannya beliau berkata : jika hendak masuk kuburan/makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan doa : Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.

4.Menurut Fuqoha’ Ahlussunnah Wal Jama’ah

Menurut jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah ra.


وَعَنْ اَبِـى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىالله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ اَلْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأ َفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَالله ُاَحَدٌ , وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ , ثُمَّ قَالَ : اِنـِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ اْلـَمقَابِرَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْ شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى اللهِ تَعَالىَ .

Artinya: Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allah Akhad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdoa “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan” maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah swt”.

B. Pendapat yang tidak Memperbolehkan

1.Pendapat Ulama’ Madzab Syafi’i

Pendapat masyhur dari golongan madzhab Syafi’i bahwa pahala membaca al-Qur’an tidak bisa sampai pada mayit, hal ini diterangkan dalam kitab al-Adzkar hal 150.

وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْ وُصُوْلِ ثَوَابَ قِرَائَـةِ اْلقُرْأَنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّفِعِى وَجَمَاعَةٌ اَنَّهُ لاَيَصِلُ . وَذَهَبَ اَحْمَدُ اْبنُ حَنْبَلٍ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اَصْحَابِ الشَّاِفـِعى اِلىَ اَنـَّهُ يَـصِلُ . فَاْلاِ خْتِـيَارُ اَنْ يَـقُوْلُ اَلْقَارِئُ بَعْدَ فِرَاغِهِ : اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ . وَالله ُاَعْلَمُ


Artinya : Ulama’ berbeda pendapat dalam masalah sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit, maka menurut pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i dan golongan ulama’ menyatakan tidak bisa sampai kepada mayit, sedang Imam Ahmad bin Hanbal dan golongan ulama’ dan sebagian dari sahabat Syafi’i menyatakan sampai kepada mayit.

Dan menurut pendapat yang terpilih: hendaknya orang yang membaca al-Qur’an setelah selesai untuk mengiringi bacaannya dengan doa : اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ (Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan al-Qur’an yang telah aku baca kepada si fulan *mayit*)

2.Menurut pendapat Madzhab Imam Malik

Menurut pendapat ulama’ pengikut madzhab Maliki bahwasanya pahala puasa, shalat sunnah dan bacaan al-Qur’an adalah tidak bisa sampai kepada mayit. Keterangan kitab Majmu’ Fatawa juz XXIV hal.314-315,


وَاَمَّاالصِّـيَامُ عَنْهُ وَصَلاَةُ التَّطَوُعِ عَنْهُ وَقِرَائَةُ اْلقُرْأَنِ عَنْهُ فَهٰذَا قَوْلاَنِ لِلْعُلَمَاءِ : اَحَدُهُمَا : يَـنْـتَـفِعُ بِهِ وَهُوَ مَذْهَبُ اَحْمَدَ وَأَبِىْ حَنِيْفَةَ وَغَيْرِهِمَا وَبَعْضُ اَصْحَابِ الشَّافِعِى وَغَيْرِهِمْ وَالثَّانِىْ : لاَتَصِلُ اِلَيْـهِ وَهُوَ اَلْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِى

Artinya : Adapun puasa, shalat sunnah, membaca al-Qur’an ada dua pendapat :


-Mayit bisa mengambil manfaat dengannya, pendapat ini menurut Imam Ahmad, Abu Hanifah dan sebagian sahabat Syafi’i yang lain

-Tidak sampai kepada mayit, menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik dan syafi’i.

Demikianlah beberapa pendapat ulama’ mengenai hukum selametan 1-7/40/100 hari/haul. Meskipun pendapatnya berbeda-beda mereka pun (para ulama’) saling menghargai dan menghormati perbedaan tersebut dan kesemuanya itu masing-masing memiliki tendensi atau dasar sendiri-sendiri.

Oleh karena itu marilah kita selalu berusaha meningkatkan profesionalisme kita, belajar bersikap lebih dewasa, dalam menyikapi setiap perbedaan kita harus saling menghargai dan menghormati, karena suatu perbedaan adalah rahmah bagi kita semuanya kalau kita pandai mengambil hikmah darinya, dalam kitab Hasiyah al-Bujairomi juz 9 hal 71. dijelaskan Perbedaan Ulama’ itu Adalah Rahmat


اِ خْـتِـلاَ فُ اْلـعُـلـَمـَاءِ رَحْـمَـةٌ


Dan ingatlah contoh tentang perbedaan pendapat yang langsung diberikan oleh pemilik jagat raya ini, lihat al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 60 s/d 82 juz 16 (kisah perbedaan pendapat antara Nabi Musa dengan Nabi khidzir), oleh karena itu marilah kita selalu menjunjung tinggi sikap saling menghargai dan menghormati, dari situlah akan tercipta kehidupan harmoni dan perdamaian yang bersifat abadi. Amin.

source :
http://tomygnt-pribadi.blogspot.com/2010/03/kesahihan-dalil-budaya-tahlilan.html

source picture : http://islamtradisionalis.wordpress.com/2010/09/24/amien-rais-ajak-tingkatkan-tahlilan-bersama/

Cara mengetahui ilmu yang ada pada diri sendiri

Yang Kita Lupakan Dalam Menuntut Ilmu

Bertahun-tahun sudah kita luangkan waktu kita untuk menuntut ilmu. Suka duka yang dirasakan juga begitu banyak. Mengingat masa lalu terkadang membuat kita tersenyum, tertawa dan terkadang membuat kita menangis. Inilah kehidupan yang harus kita jalani. Kehidupan sebagai seorang thalibul’ilmi. Akan tetapi, mungkin kita sering melupakan, apakah ilmu yang kita dapatkan adalah ilmu yang bermanfaat ataukah sebaliknya.

Penulis teringat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata,


اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

Artinya: “Ya Allah. Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah merasa kenyang dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR Muslim No. 6906 dan yang lainnya dengan lafaz-lafaz yang mirip)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang dijamin oleh Allah untuk menjadi pemimpin Bani Adam di hari akhir nanti, sangat sering mengulang doa-doa ini, apalagi kita, yang sangat banyak berlumuran dosa, sudah seharusnya selalu membacanya.

Mengetahui ciri-ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat sangatlah penting. Oleh karena itu, berikut ini penulis sebutkan beberapa ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat yang penulis ambil dari kitab Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali yang berjudul Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf.

Ciri-ciri ilmu yang bermanfaat di dalam diri seseorang:

1. Menghasilkan rasa takut dan cinta kepada Allah.
2. Menjadikan hati tunduk atau khusyuk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya dan selalu bersikap tawaduk.
3. Membuat jiwa selalu merasa cukup (qanaah) dengan hal-hal yang halal walaupun sedikit yang itu merupakan bagian dari dunia.
4. Menumbuhkan rasa zuhud terhadap dunia.
5. Senantiasa didengar do'anya.
6. Ilmu itu senantiasa berada di hatinya.
7. Menganggap bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu dan kedudukan.
8. Menjadikannya benci akan tazkiah dan pujian.
9. Selalu mengharapkan akhirat.
10. Menunjukkan kepadanya agar lari dan menjauhi dunia. Yang paling menggiurkan dari dunia adalah kepemimpinan, kemasyhuran dan pujian.
11. Tidak mengatakan bahwa dia itu memiliki ilmu dan tidak mengatakan bahwa orang lain itu bodoh, kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah dan ahlussunnah. Sesungguhnya dia mengatakan hal itu karena hak-hak Allah, bukan untuk kepentingan pribadinya.
12. Berbaik sangka terhadap ulama-ulama salaf (terdahulu) dan berburuk sangka pada dirinya.
13. Mengakui keutamaan-keutamaan orang-orang yang terdahulu di dalam ilmu dan merasa tidak bisa menyaingi martabat mereka.
14. Sedikit berbicara karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnhya, sedikitnya perkataan-perkataan yang dinukil dari orang-orang yang terdahulu bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara, tetapi karena mereka memiliki sifat wara’ dan takut pada Allah Taala.

Adapun ciri-ciri ilmu yang tidak bermanfaat di dalam diri seseorang:

1. Ilmu yang diperoleh hanya di lisan bukan di hati.
2. Tidak menumbuhkan rasa takut pada Allah.
3. Tidak pernah kenyang dengan dunia bahkan semakin bertambah semangat dalam mengejarnya.
4. Tidak dikabulkan doanya.
5. Tidak menjauhkannya dari apa-apa yang membuat Allah murka.
6. Semakin menjadikannya sombong dan angkuh.
7. Mencari kedudukan yang tinggi di dunia dan berlomba-lomba untuk mencapainya.
8. Mencoba untuk menyaing-nyaingi para ulama dan suka berdebat dengan orang-orang bodoh.
9. Tidak menerima kebenaran dan sombong terhadap orang yang mengatakan kebenaran atau berpura-pura meluruskan kesalahan karena takut orang-orang lari darinya dan menampakkan sikap kembali kepada kebenaran.
10. Mengatakan orang lain bodoh, lalai dan lupa serta merasa bahwa dirinya selalu benar dengan apa-apa yang dimilikinya.
11. Selalu berburuk sangka terhadap orang-orang yang terdahulu.
12. Banyak bicara dan tidak bisa mengontrol kata-kata.

Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Di saat sekarang ini, manusia boleh memilih apakah dia itu ridha untuk dikatakan sebagai seorang ulama di sisi Allah ataukah dia itu tidak ridha kecuali disebut sebagai seorang ulama oleh manusia di masanya. Barang siapa yang merasa cukup dengan yang pertama, maka dia akan merasa cukup dengan itu… Barang siapa yang tidak ridha kecuali ingin disebut sebagai seorang ulama di hadapan manusia, maka jatuhlah ia (pada ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam),

من طلب العلم ليباهي به العلماء أو يماري به السفهاء أو يصرف وجوه الناس إليه فليتبوأ مقعده من النار

Artinya: “Barang siapa yang menuntut ilmu untuk menyaing-nyaingi para ulama, mendebat orang-orang bodoh atau memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya, maka dia itu telah mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” (*)

*) Dengan Lafaz yang seperti ini, penulis belum menemukannya dengan sanad yang shahih. Akan tetapi, terdapat lafaz yang mirip dengannya di Sunan At-Tirmidzi No. 2653 dengan sanad yang hasan, yaitu:

من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار

***

اللهم إني أسألك علما نافعا و رزقا طيبا و عملا متقبلاز آمين

Maraji’:

1. Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf oleh Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali, Dar Al-Basya’ir Al-Islamiah
2. Shahih Muslim, Dar As-Salam
3. Sunan At-Tirmidzi, Maktabah Al-Ma’arif

***

Penulis: Ustadz Said Yai Ardiansyah (Mahasiswa Fakultas Hadits, Jami’ah Islamiyah Madinah, Saudi Arabia)

Artikel www.muslim.or.id 

source :
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/yang-kita-lupakan-dalam-menuntut-ilmu.html

Senin, 10 Januari 2011

BERPUASA DAN BERHARI RAYA DENGAN RUKYATUL HILAL

BERPUASA DAN BERHARI RAYA DENGAN RUKYATUL HILAL

Mengenai silang pendapat yang terjadi antara awal dan akhir bulan, tim yang telah dibentuk menghasilkan beberapa kesimpulan :

1. Untuk menandai Puasa Ramadhan dan berhari Raya wajib melihat bulan pada malam ke 29 Sya’ban / Ramadhan.
2. Kalau bulan tidak kelihatan dengan mata kepala, maka disempurnakan 30 hari bulan Sya’ban / Ramadhan.
3. Terlihat bulan di suatu tempat, berlakunya untuk negeri yang berdekatan (wajib puasa / berhari raya) sehingga tidaklah berlaku untuk negeri yang berjauhan
4. Perkiraan jauh dan tidaknya antara sebuah negeri dengan negeri lain terdapat dua pendapat, yakni
a. Dengan ukuran musafah qashar shalat (jarak jauh dibolehkan mengqashar shalat bagi musafir)
b. Ikhtilaf Mathali’ (perbedaan waktu)
Dari kedua pendapat tersebut diatas, pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan dengan Ikhtilaf mathali’ (perbedaan waktu)
5. Tentang timur dan barat negeri-negeri yang berjauhan tersebut tidak ada persoalan sesuai dengan umum lafaz hadits yang akan diutarakan.

Berikut dalil-dalil dan keterangan dalam masalah yang kita bicarakan ini.

عن أبى هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إذا رأيتم الهلال فصوموا و إذا رأيتموه فأفطروا فإن غمي عليكم فصوموا ثلاثين يوما (رواه مسلم)
Artinya : Dari Abu Hurairah, beliau berkata : bersabda Rasulullah SAW, apabila kami telah melihat bulan, maka berpuasalah dan apabila kami telah melihat bulan,maka berbukalah kami. Maka jika bulan tidak terlihat, berpuasalah kamu 30 hari. (HR. Muslim, (Shahih Muslim : 2 ; 763))

عن أبي هريرة فال : ذكر رسول الله صلى الله عليه و سلم الهلال فقال إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن أغمي عليكم فعدوا ثلاثين يوما (رواه مسلم)
Artinya : Dari Abu Hurairah, beliau berkata : Rasulullah SAW, menyebut-nyebut bulan dan beliau bersabda : bila kamu sudah melihat, maka berpuasalah kamu dan bila kamu sudah melihat bulan, maka berbukalah. Kalau bulan tertutup mendung, maka hitunglah genap 30 hari. (HR. Muslim, (Shahih Muslim : 2 ; 763))

عن محمد ابن زياد قال : سمعت أبى هريرة يقول : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمى عليكم الشهر فعدوا ثلاثين يوما (رواه مسلم)
Artinya : Dari Muhammad bin Zaid beliau berkata ; Aku mendengar Abu Hurairah bersabda : Sabda Rasulullah SAW, Berpuasalah kamu karena melihat anak bulan, dan berbukalah kamu karena melihat bulan, maka jika bulan ditutup mendung, hitunglah genap 30 hari. (HR. Muslim, (Shahih Muslim : 2 ; 763))


(وإذا رؤى ببلد لزم حكمه البلد القريب دون البعيد في الأصح) (والبعد مسافة فصر) وقيل البعد باختلاف المطالع قلت هذا أصح والله اعلم) لأن أمر الهلال لا تعلق له بمسافة القصر (قليوبي و عميرة : 2 : 50)
Artinya : Dan apabila terlihat bulan di suatu negeri, lazimlah hukumnya bagi negeri yang berdekatan dan tidak lazim bagi negeri yang berjauhan pada pendapat yang Asah. Dan perkiraan jauh itu adalah musafah qashar (±129 Km). Da ada juga yang mengatakan jauh itu adalah Ikhtilaf mathali’ (perbedaan waktu). Imam Nawawi berkata pendapat inilah yang Asah, Wallahu A’lam, karena perkara hilal tidak ada sangkut pautnya dengan musafah Qashar (Qulyuby wa ‘Amirah : 2 : 50)

(ومن سافر من بلد الأخر إلى بلد الرؤية عيد معهم وقضى يوما) بناء على الأصح وهي مفروضة في الروضة و أصلها و المحرر فيما إذا عيد التسع و العشرين من صومه كما فال في شرح المهذب وإذا أفطر قضى يوما إذا لم إلا ثمانية والعشرين يوما وسكوته في المنهاج عن ذلك للعلم به (قليوبي و عميرة : 2 : 51)
Artinya : Barang siapa yang bepergian dari negeri lain (yang tidak kelihatan bulan) ke negeri yang terlihat bulan, maka orang tersebut (dari yang tidak kelihatan hilal) wajib berhari raya dengan mereka itu (yang kelihatan bulan) dan wajib di qadha (ganti) satu hari. Hal tersebut berdasarkan pendapat yang Asah, yang mana di takdirkan dalam kitab Raudhah dan asalnya Raudhah dan dalam kitab Muharrar, bila mereka ahli (balad rukyah) berhari raya pada hari ke 29 puasa dari negeri yang tidak terlihat bulan, seperti apa yang telah disebutkan dalam kitab Syarah Muhadzzab. Dan apabila orang tersebut (yang tidak kelihatan bulan) wajib baginya mengqadha satu hari, jika puasanya hanya 28 hari. Dalam hal ini Imam Nawawi tidak berkomentar dalam kitab Minhaj karena dianggap sudah ma’lum. (Qulyuby wa ‘Amirah : 2 : 50)

عن عبد الله ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : فال الشهر تسع و عشرون يوما فلا تصوموا حتى تروه فإن عليكم فأكملوا العدة ثلاثين (صحيح البخاري : 4 : 567)
Artinya : Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda; bulan itu 29 malam. Oleh karena itu janganlah kamu berpuasa hingga kamu melihatnya (hilal). Jika bulan itu ditutup mendung diatas kamu, maka sempurnakanlah 30 hari. (HR. Bukhari (Sahih Bukhary : 2 : 567))

حدثنا شعبة حدثنا محمد ابن زياد فال : سمعت أبا هريرة رضي الله عنه يقول : قال النبي صلى الله عليه و سلم أو قال أبو القاسم صلى الله عليه و سلم : صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين (رواه البخاري)
Artinya : Telah menyampaikan kepada kami oleh Syu’bah, telah menyampaikan kepada kami oleh Muhammad bin Ziyad, beliau berkata, Aku mendengar Abu Hurairah R.A Berkata, Nabi SAW atau Abu Qasim SAW bersabda : berpuasalah kamu karena melihat bulan dan berbukalah kamu karena melihat bulan. Maka jika ditutupi atas kamu, maka sempurnakanlah hitungan sya’ban 30 hari. (HR. Bukhari (Sahih Bukhary : 2 : 567))

و إذا ثبتت رؤيته ببلد لزم حكمه البلد القريب دون البعيد ويثبت البعد باختلاف المطالع والمراد باختلافها أن يتباعد المحلان بحيث لو رؤى في أجدهما لم يروه الأخر غاليا قاله في الأنوار. وقال التاج ألتبرزي واقره غيره لا يمكن اختلافها في اقل من أربعة و عشرين فرسخا. و نبه السبكى وتبعه غيره على انه يلزمه من الرؤية في البلد الشرق رؤيته في المغربي من غير عكس إذ الليل يدخل في البلد الشرقية فبل. وقضية كلامهم انه متى رؤى شرقي لزم كل غربي بالنسبة إليه العمل بتلك الرؤية وان اختلف المطالع (إعانة الطالبين: 2: 219)
Artinya : Dan apabila ternyata ada kelihatan hilal di suatu ngeri, maka lazimlah hukumnya bagi negeri yang dekat dan tidak berlaku bagi negeri yang berjauhan. Dan nyatalah jauh dengan ikhtilaf mathali’ (perbedaaan waktu). Menurut pendapat yang Ashah yang dimaksudkan dengan pendapat ialah berjauhan dua tempat, sekira dilihat hilal pada satu tempat, tidak kelihatan pada satu tempat lagi menurut kebiasaan. Hal itu disebutkan dalam kitab al Anwar. Dan berkata Tajul Tabrizi dan diakui oleh ulama-ulama lain. Tidak mungkin terjadi Ikhtilaf Mathali’ (perbedaan waktu) pada jarak jauh yang kurang dari 24 farsakh, dan Imam Subki memberitahukan, serta diakui oleh ulama lain bahwasanya lazim daripada kelihatan hilal di bagian timur kelihatannya hilal di bagian barat dan tidak sebaliknya. Karena masuk malam di sebelah timur lebih cepat daripada masuk malam di sebelah Barat. Adapun maksud pendapat mereka ialah kapan-kapan terjadi hilal di sebelah timur lazimlah bagi semua orang di sebelah barat beramal dengan rukyah tersebut, sekalipun ikhtilaf mathali’ (berbeda waktu). (I’anatuth Thalibin : 2 : 219)

(قوله وان اختلاف المطالع) قال في التحفة بعده. وفيه منافة لظاهر كلامهم وبوجه كلامهم بأن اللازم إنما هو الوجود لا الرؤية إذ قد بمنع منها مانع والمدار عليه لا على الوجود (إعانة الطالبين : 2 : 219)
Artinya : (Katanya (Fathul Mu’in) sekalipun ikhtilaf mathali’) berkata beliau dalam kitab Tuhfatul Muhtaj sesudahnya dan dijelaskan pendapat mereka; yang dimaksud dengan lazim disini adalah lazim wujud bukan lazim rukyah, karena terkadang ada yang menghalangi maka tidak terjadi rukyah, padahal perjalanan hukum ialah atas rukyah bukan atas Wujud. (I’anatuth Thalibin : 2 : 219)

(قوله دون البعيد) أي لما رواه مسلم عن كريب قال: رأيت الهلال ليلة الجمعة بالشام ثم قدمت المدينة. فقال ابن عباس, متى رأيتم الهلال ...؟ قلت ليلة الجمعة. قال : أنت رأبت ...؟ قلت نعم ورآه الناس و صاموا وصام معاوية فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل العدة فقلت, أو نكتفي برؤيته معاوية وصامه ...؟ قال: لا, هكذا ه أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم (إعانة الطالبين: 2: 219)
Artinya : (katanya (Fathul Mu’in) tidak berlaku bagi negeri yang berjauhan karena hadits yang diriwayatkan Muslim dari Kuraib, beliau (Kuraib) berkata aku melihat hilal pada malam Jum’at di negeri Syam kemudian kemudian aku kembali ke Madinah di akhir tahun, lalu Ibnu Abbas berkata kepadaku, kapan kamu melihat bulan ..? aku menjawab pada malam Jum’at. Ibnu Abbas bertanya lagi; engkau melihatnya ...? jawabku ya dan orang-orang laipun melihatnya, lalu mereka berpuasa dan Mu’awiyah pun ikut berpuasa. Ibnu Abbas berkata lagi, tetapi kami melihat hilal pada malam Sabtu, maka tetaplah kami berpuasa hingga kami sempurnakan hitungan. Maka aku bertanya kepada Ibnu Abbas, apakah kamu tidak mencukupkan dengan rukyah Mu’awiyah dan puasanya (sebagai pedoman) ..? jawab beliau, tidak, demikian perintah Rasulullah SAW kepada kami. (I’anatuth Thalibin : 2 : 219)

(وإذا روئي ببلد لزم حكمه القريب) قطعا لأنهما كبلد واحد (دون البعيد في الأصح) لخير مسلم عن كريب استهل على رمضان و أنا بالشام فرأيت الهلال ليلة الجمعة فراه الناس فصام معاوية ثم قدمت المدينة في آخر الشهر فأخبرت ابن عباس بذالك فقال : لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين,فقلت أو لا نكتفي برؤيته معاوية..؟ فقال: لا, هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم (إعانة الطالبين: 2: 219)
Artinya : (Dan apabila terlihat hilal pada satu negeri lazimlah hukumnya bagi negeri yang berdekatan) sepakat ulama, karena kedua negeri itu pada satu hukum (tidak berlaku bagi negeri yang berjauhan pada pendapat yang ashah) berdasarkan hadits Muslem dari Kuraib ‘Masuklah bulan suci Ramadhan pada hal aku berada di negeri Syam, maka aku melihat hilal pada malam Jum’at dan banyak orang lain yang ikut melihatnya. Maka berpuasalah Mu’awiyah. Kemudian aku kembali ke Madinah di akhir bulan, lalu saya sampaikan hal tersebut kepada Ibnu Abbas, beliau berkata; akan tetapi kami melihat hilal pada malam Sabtu, maka tetaplah kami berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari. Lalu saya bertanya kepada beliau, apakah tidak kita cukupkan saja dengan rukyah Mu’awiyah ..? beliau menjawab, tidak..! demikian Rasulullah memerintahkan kami.

(و البعيد مسافة القصر) لأن الشرع اناطابها كثرا من الأحكام واعتبار المطالع بحوج إلى تحكيم المنجمين و قواعد الشرع نائباه (باختلاف المطالع قلت هذا أصح والله اعلم) لأن الهلال لا تعلق له بمسافة القصر ولأن المناظر تختلف باختلاف المطالع والعروض فكان اعتبار ها أولى و تحكيم المنجمين. إنما يضر في الأصول دون التوابع كما هنا. و المراد باختلافها أن يتباعد المحلان بحيث لو رؤى في احدهما لم ير في الأخر غالبا (تحفة المحتاج : 3 : 280-281)
Artinya : Dan dimaksud dengan negeri yang berjauhan adalah jarak jauh yang berlaku qashar Shalat (± 129 KM) karena syara’ menghubungkan kebanyakan hukum dengan musafah Qashar dan menghitung mathali’ itu memerlukan keterangan ahli ilmu bintang, sedangkan aturan syara’ tidak menginginkan hal itu. (dan dikatakan orang; berjauhan itu diperkirakan dengan ikhtilaf mathali’ (perbedaan waktu), (saya (Imam Nawawi) berkata ini Ashah, Wallahu A’lam) karena hilal itu tidak ada sangkut pautnya dengan musafah qashar dan karena semua pandangan itu berbeda dengan ikhtilaf mathali’ (perbedaan waktu) ialah berjauhan dua tempat, sekiranya dilihat hilal pada suatu tempat, tidak terlihat pada tempat yang lain menurut kebiasaan. (Tuhfatul Muhtaj : 3 : 380-381)

عن كريب أن أم الفضل بنت الحارث بعثه إلى معاوية بالشام قال مت الشام فقضيت حجاتها واستهل على رمضان و أنا بالشام فرأيت الهلال ليلة الجمعة ثم قدمت المدينة في أخر الشهر فاسألني ابن عباس رضي الله عنه ثم ذكر الهلال, فقال : متى رأيتم الهلال ...؟ فقلت ليلة الجمعة فقال أنت رأته ...؟ فقلت نعم و رآه الناس و صاموا و صام معاوية: فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه فقلت أو لا تكتفي برؤيته معاوية و صيامه..؟ فقال: لا, هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم (صحيح مسلم: 2: 765)
Artinya : dari Kuraib; Bahwasanya Ummul Fadhal binti Harits mengutus beliau (Kuraib) kepada Mu’awiyah di Negeri Syam, untuk sesuatu keperluan, beliau (Kuraib) berkata : datanglah saya ke negeri Syam maka setelah saya selesaikan keperluan Ummul Fadhal dan Masuklah bulan suci Ramadhan sedang saya masih berada di negeri Syam, maka saya melihat hilal pada malam Jum’at kemudian saya kembali ke Madinah pada akhir bulan. Lalu abdullah bin Abbas bercerita tentang bulan dan beliau bertanya kepada saya, kapan kalian melihat bulan ..? maka saya menjawab kami melihat bulan pada malah Jum’at, beliau bertanya lagi; engkau melihatnya ...? jawab saya ya, juga orang lainpun ikut melihatnya dan mereka berpuasa, serta Mu’awiyah juga ikut berpuasa. Ibnu Abbas berkata ; tetapi kami melihat bulan pada malam Sabtu dan tetaplah kami berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal. Lalu saya bertanya kepada beliau (Ibnu Abbas), apakah tidak kita cukupkan saja dengan rukyah Mu’awiyah dan puasanya (untuk menjadi pedoman) kita ikut..? beliau menjawab, tidak..! demikian Rasulullah memerintahkan kami.
Dan Yahya bin Yahya merasa ragu tentang kalimat engkau cukupkan atau kita cukupkan ..? (HR Muslim. (Sahih Muslim : 2 : 765 pada kitab Shahihain))

Berbicara tentang Idul Adha, tentang penentuan hari raya Idul Adha tidaklah harus mengikuti waktu wuquf di arafah / mengikuti waktu Saudi Arab, karena perbedaan waktu antara Indonesia dan Arab Saudi adalah 4 jam lebih cepat Indonesia, sehingga tidaklah mungkin waktu berjalan mengikuti waktu yang belum datang.

Berpuasa / berhari raya dengan hisab tidak ada dasar hukumnya, mari kita perhatikan dalil-dali dibawah ini :

وقد قال البجي فى الرد على من قال انه يجوز للحاسب و المنجم وغيرهما الصوم والإفطار إعتمادا على النجوم. ال إجماع السلف حجة عليهم. وقال ابن بزيزة هو مذهب باطل (سبل السلام : 2 : 152)
Artinya : dan sesungguhnya telah berkata imam Banji dalam menolak perkataan orang yang mengatakan bahwa saya boleh bagi tukang hisab dan tukang nujum (ahli bintang) dan lain-lain untuk masuk puasa dan berbuka berpegang kepada nujum bahwasanya kesepakatan ‘Ulama-ulama salaf (Ijma’) menolak mereka. Dan berkata Imam Bazizih bahwasanya ini (puasa dengan hisab dan nujum) adalah mazhab yang batil. (Subulussalam : 2 : 152).

والجواب الوضح عليهم ما أخرجه البخاري عن إبن عمر انه صلعم قال إنّا أمة أمية لا نكتب و لا نحسب الشهر هكذا هكذا (رواه البخاري)
Artinya : Jawab yang terang untuk mereka adalah hadist yang diriwayatkan imam Bukhari dari Ibnu Umar, bahwasanya kami adalah umat yang ummy yang tidak menulis dan tidak berhitung. Bulan itu adalah begini-begini (HR. Bukhari (Shahih Bukhari: 1:251)).

وقد ذهب قوم الى الرجوع الى اهل التسيـير فى ذلك وهم الرفضى (فتح الباري : 5 : 29)
Artinya : Dan ada fatwa satu kaum bahwa untuk menentukan bulan itu dengan tasyir (hisab perjalanan bulan dan bintang-bintang) orang itu adalah kaum Rafidhi (fathul Bari : 5:29) kaum Rafidhi itu ialah kaum syi’ah yang sesat.

لاقول منجم وهو من يعتمد النجم و حاسب وهو من يعتمد منازل القمر و تقدير السيرة ولا يجوز لأحد تقليدهما (إعانة الطالبين: 2 : 217)
Artinya : Tidak boleh dipegangi perkataan tukang hisab dan tukang bintang dan tidak boleh juga seseorang bertaklid kepada orang-orang itu. (I’anatut Thalibin : 2 : 217)

ولا يجب الصوم بقول المنجم ولا يجوز (الإقناع : 1 : 202)
Artinya : Tidak wajib masuk puasa dengan perkataan ahli bintang (ahli nujum) bahkah tidak boleh (al-Iqna’ : 1 : 202)

ومن قال بحاسب المنازل فقوله مردود بقوله صلى الله عليه وسلم في الصححين إنّا أمة أمية لا نكتب و لا نحسب الشهر هكذا هكذا. قالوا ولأن الناس لو كلفو بذالك ضاق عليهم للأنهم لا يعرفون الحساب الا أفراد من الناس فى البلدان الكبار ((المجموع : 2 : 270)
Artinya : Barang siapa memfatwakan masuk puasa dengan hisab manzil, maka perkataannya itu ditolak dengan ucapan nabi bahwa kami adalah umat yang ummi, tidak pandai menulis dan tidak pandai menghisab. Ahli-ahli fiqh berkata : kalau dibebani manusia dengan hisab, sesungguhnya akan menyulitkan sekali, karena yang tahu hisab itu hanya beberapa orang di dalam negeri yang besar-besar saja. (Syarah Muhadzzab : 6 : 270)

Demikian kiranya tulisan yang singkat ini, semoga ada manfaatnya untuk kita semua.
Amin Ya Rabbal ‘alamin, Ya Mujibas Sa-ilin.

Babul Istiqamah, Blangpidie, 15 Dzul Qa’dah 1431 H
23 Oktober 2010 M
Tim Perumus,
Ketua




TGK. H. BAIHAQI DAUD Sekretaris




TGK. NAWAWI HAKIMIS
Anggota


1. Tgk. Zulkifli Ahmad
2. Tgk. Sulaiman Assamany
3. Tgk. H. Farmadi. ZA, M. Si
4. Tgk. H. Abdurrahman Badar
5. Tgk. H. Marnus Al Absyar
6. Tgk. Zarkasyi Ibrahim
7. Tgk. Hasan Basri
8. Tgk. Armia. DW
9. Tgk. M. Dahlan



Anggota Sidang
50 Orang


DAFTAR PUSTAKA


 صحيح مسلم, للإمام أبي حسين مسلم بن الحجاج دار الفكر, دار الفكر, الطبعة الأولى, 1491 هـ - 1999 م
 حواشى الشرواني وابن قاسم العبادي على تحفة المحتاج, دار الإحياء
 صحيح البخاري للإمام الحافظ أبي عبد الله محمد بن إسماعيل البخاري, مكتبة العصيرية
 حاشية إعانة الطالبين للسيد إبي بكر المشهور بالسيد البكري بن السيد محمد شطا الدمياطى المصرى, الحرمين سنقافورة-جدة إندونيسيا
 قليوبي و عميرة للإمامين المحققين الشيخ شهاب الدين القليوبي و الشيخ عميرة, مكتبة طه فترا سماراغ
 سبل السلام
 فتح الباري
 الإقناع