Saleum Troeh Teuka

Saleum Troeh Teuka
Selamat datang wahai saudaraku ke tempat kami

Minggu, 30 September 2012

Logo MPTT dan Pimpinan

Berikut adalah Logo Majelis Pengkajian Tauhid Tashawuf (MPTT)



Tulisan
https://www.facebook.com/nawawihakimis
tidak termasuk dalam logo, itu hanya tulisan sumber logo diambil.
====





Allah Yarham Abuya Syaikh. Tgk. H. Amran Waly Al Khalidy bin Syaikh Tgk. H. Muhammad Waly Al-Khalidy, saat ini beliau adalah  Pimpinan Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf (MPTT) Nasional.


Majlis ini adalah sebuah forum untuk pemurnian dan reaktualisasi Tauhid-Tashawuf dalam konteks kehidupan modern


Beliau beralamat di Desa Pawoh, Labuhan Haji Aceh, Inndonesia

Rabu, 05 September 2012

Tasamuh


Tasamuh Sebuah Solusi Pembenaran.
==============================
Oleh Hadya Noer.

Seringkali dalam sebuah diskusi atau kajian, pembahasan mengenai hukum-hukum islam (syariat) yang berkaitan dengan "khilafiyah" atau perbedaan pendapat. Kita seringkali dihadapkan dengan perkataan "tasamuh" (toleransi). Ironisnya kata-kata ini menjadi tren dikalangan para "intelektual islam" sebagai sebuah jalan tengah sebagai solusi dalam menyikapi perbedaan. Lalu untuk apa kita berdiskusi atau melakukan sebuah kajian?. Jujur mendengar perkataan tasamuh saya jadi semakin "alergi" tetapi bukan berarti saya tidak memahami kata ini. Seketika terbersit dalam pikiran saya, bila suatu pandangan itu telah jelas-jelas bertentangan dengan Al Quran dan Hadist perlukah kita ber"tasamuh", bila pandangan itu telah jelas-jelas bertentangan dengan ijma' dan qiyas para ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin apakah tasamuh adalah solusinya. Sebuah kata yang mematikan tajdid ikhtilafiyah menurut hemat saya.

Pertanyaannya sekarang "tasamuh" yang bagaimana yang dituntut dalam Islam?adakah perbedaan ini yang dimaksud sebagai rahmat. Inikah yang dimaksud dengan Islam agama yang "sammahah" (pemurah/mudah) sehingga dengan mudahnya kita menggampangkan semua urusan dalam beribadah dan beramaliyah. Pada kesempatan ini saya ingin mengangkat sedikit tentang pemahaman tasamuh dalam islam dalam menyikapi perbedaan. 

Sebagai sebuah negara yang mayoritas muslim, saya menilai umat islam di negeri ini sudah sangat toleran. Sebagai contoh dengan masuknya begitu banyak paham dan aliran ke negeri ini. Berdasarkan data resmi dari Kemenag tidak kurang lebih dari 300 aliran sesat berkembang di negeri ini. Inikah "tasamuh" yang dimaksud? bahkan seorang tokoh Islam Liberal seperti Ulil Abshar berani mengatakan,"Ahmadiyah dan pengikutnya berhak untuk menjalankan ajarannya dan tidak ada seorang manusiapun yang boleh menyesatkan manusia lainnya kecuali Tuhan". Lalu timbul pertanyaan bila seorang muslim tidak boleh dikatakan sesat (padahal telah jelas keterangan menurut syara') maka tentu untuk orang kafir sekalipun tidak boleh kita katakan "kafir" karena hanya tuhan yang boleh mengkafirkannya. Yang akhirnya melahirkan sebuah istilah "pluralisme agama". Na'uzubillah tsumma na'uzubillah...

Apa itu tasamuh?


Tasamuh dalam al-Qamus al-Muhith, merupakan derivasi dari kata “samh” yang berarti “jud wa karam wa tasahul” (sikap pemurah, penderma, dan gampangan). 

Islam adalah agama samahah (pemurah) dan yusr (mudah). Hal ini sebagaiman dijelaskan dalam banyak ayat dan hadits, di antaranya: Allah Ta’ala berfirman.

"... ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ..."

Allah menghendaki untuk membersihkan umat Islam yang dirahmati ini dari segala bentuk kesulitan dan belenggu, maka Allah tidak menjadikan untuk mereka kesempitan pada agama ini.

Allah menghendaki untuk membersihkan umat Islam yang dirahmati ini dari segala bentuk kesulitan dan belenggu, maka Allah tidak menjadikan untuk mereka kesempitan pada agama ini.

Kemudian firman-Nya:



وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ..." 



Perbedaan pemahaman ini muncul sejak di zaman para sahabat Rasulullah Shallallahu'alihiwasallam. Kerancuan yang timbul di tengah-tengah masyarakat kita hari ini ialah apabila munculnya sekelompok 'agamawan reformis' atau digelar juga 'progresif' yang mendakwa bahwa pendapat mereka sajalah yang benar lalu mereka ini ingin melakukan apa yang disebut 'perbaikan' (ishlah) atau pembaharuan (tajdid) dalam masyarakat dengan pelbagai slogan pula seperti 'kembali kepada al-Quran dan Sunnah', atau 'mengikut amalan generasi Salaf' dan seumpamanya.


Perbedaan pemahaman ini muncul sejak di zaman para sahabat Rasulullah Shallallahu'alihiwasallam. Kerancuan yang timbul di tengah-tengah masyarakat kita hari ini ialah apabila munculnya sekelompok 'agamawan reformis' atau digelar juga 'progresif' yang mendakwa bahwa pendapat mereka sajalah yang benar lalu mereka ini ingin melakukan apa yang disebut 'perbaikan' (ishlah) atau pembaharuan (tajdid) dalam masyarakat dengan pelbagai slogan pula seperti 'kembali kepada al-Quran dan Sunnah', atau 'mengikut amalan generasi Salaf' dan seumpamanya.

Tak ada salahnya untuk kita melakukan sebuah pembaharuan, malah ia dituntut apabila masyarakat menjadi semakin jauh dari amalan murni Islam yang sebenar lalu mencampur-adukkan dengan amalan khurafat dan bidaah sesat. Bahkan ada hadist dari Abu Hurayrah R.A. yang menyebut bahwa Allah akan membangkitkan setiap seratus tahun untuk ummat ini orang yang memperbaharui agamanya. (Sunan Abu Dawud)

Namun yang terjadi saat ini ialah ada sebagian golongan bukannya 'memperbaharui' agama daripada perkara-perkara khurafat dan bidaah sesat, sebaliknya membongkar perkara-perkara khilafiyyah yang telah disepakati para ulama silam sejak ratusan tahun lalu untuk bersetuju berbeda pendapat (agree to disagree). Sehingga menimbulkan perpecahan ditengah-tengah umat.

Menyadari hakikat bahwa perbedaan pendapat para ulama itu tidak dapat dielakkan khususnya dalam hal-hal furu'iyah yang terperinci dalam hal ibadah, maka para ulama usul telah merumuskan bahwa "kebenaran dalam perkara ranting (furu') itu sangat banyak."
Lalu selama kita mengikuti pandangan mayoritas ulama (al-sawad al-a'zam) yaitu para imam mazhab empat dari kalangan Ahlul Sunnah wal Jamaah, maka Insya Allah kita berada di atas landasan dan jalan yang benar.

Renunglah nasihat para ulama dahulu dalam mengambil sikap beradab apabila menangani perbedaan pendapat dengan menekuni karya-karya mereka yang banyak berhubungan dengan adabul ikhtilaf (Adab Berbeda Pendapat). 

Imam Asy-Syafii rahimahullah (-204 H) dalam washiat beliau berkata:

وأعرف حق السلف الذين اختارهم الله تعالى لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم، والأخذ بفضائلهم، وامسك عما شجر بينهم صغيره وكبيره
Ini perkataan dan bimbingan Imam Asy-Syafii, untuk tidak membicarakan perselisihan yang terjadi di antara salaf, yaitu para sahabat. Beliau menyatakan bahwa generasi sahabat adalah termasuk salaf.

Ini perkataan dan bimbingan Imam Asy-Syafii, untuk tidak membicarakan perselisihan yang terjadi di antara salaf, yaitu para sahabat. Beliau menyatakan bahwa generasi sahabat adalah termasuk salaf.

Imam al-Shatibi r.a. sendiri sebagai contoh menulis:

Sesungguhnya perbedaan pendapat yang terjadi pada zaman sahabat hingga ke hari ini berlaku adalah dalam masalah-masalah ijtihadiyyah. Pertama kali ia berlaku pada zaman Khulafa' al-Rasyidin dan sahabat-sahabat yang lain, lalu berlanjut hingga zaman para tabi'in dan mereka tidak saling mencela di antara satu sama lain. (al-I'tisham 2/191)

Juga dalam beberapa perkara furu’ yang masih dalam ranah perbedaan ijtihadiyah, Islam juga memberikan kelonggaran kepada kaum muslimin untuk mengamalkan sesuai dengan pendapat yang rajih menurut keyakinannya, tentunya berdasarkan ilmu dan manhaj yang benar.
Ibnu Wahab menceritakan dari Qasim, ia berkata: Bahwa Qasim pernah berkata: Aku kagum akan perkataan Umar bin Abdul ‘Azis, “Aku tidak suka jika para sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berselisih pendapat. Sebab jika mereka dalam satu pendapat niscaya manusia akan mengalami kesempitan. Mereka adalah Imam yang patut diteladani. Jika seseorang mengikuti salah seorang dari mereka maka ia berada dalam keleluasaan.”

Mereka berkata :"Jika kami memilih pendapat yang paling ringan [paling enak, -pent] maka tindakan kami ini adalah memudahkan dan menghilangkan kesulitan". Maka jawaban kita kepada mereka :"Sesungguhnya penerapan syari'at dalam seluruh sisi kehidupan itulah yang disebut memudahkan dan menghilangkan kesulitan, bukan menghalalkan hal-hal yang haram dan meninggalkan kewajiban-kewajiban".

Imam Asy-Syatibi telah membantah orang-orang yang berhujjah dengan model ini dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam."Artinya : Aku telah diutus dengan [agama yang] lurus yang penuh kelapangan" [Hadits Hasan]. Seraya [Imam Asy-Syatibi] berkata : "Dan engkau mengetahui apa yang terkandung dalam perkataan [dalam hadits] ini. Karena sesungguhnya [agama] "lurus yang penuh kelapangan" itu hanyalah timbul kelapangan padanya dalam keadaan terkait dengan kaidah-kaidah pokok yang telah berlaku dalam agama, bukan mencari-cari rukhsah dan bukan pula memilih pendapat-pendapat dengan seenaknya". Maksud beliau yaitu bahwasanya kemudahan syari'at itu terkait dengan kaidah-kaidah pokok yang telah diatur dan bukan mencari-cari rukhsah yang ada dalam syari'at.


Kesimpulan :

Dengan perbedaan pendapat itu mereka (para shahabat) memberikan kita kesempatan memilih pendapat dan ijtihad mereka. Itu karena ijtihad dibenarkan dan perbedaan pendapat merupakan suatu kemestian. Setiap muslim dipersilahkan beramal sesuai dengan dalil dan pemahaman yang dilihatnya lebih kuat sesuai dengan mazhab 4. Inilah makna “keleluasaan dan rahmat” yang dimaksud di atas. Tidak berarti bahwa semua pendapat kendatipun saling bertentangan itu benar. Kebenaran hanya ada pada salah satu diantaranya, tetapi semua pendapat itu terpuji dan diberi pahala selama tidak bertentangan dengan Al. Quran, Al Hadist, Ijma' dan Qiyas.

Bila sudah jelas keterangan dalil dan nash seperti halnya shalat, puasa, zakat dan haji hendaknya tidak perlu ada lagi perdebatan di antara kita. Inilah yang saya maksud ikutilah as shamad al a'zam agar kita bisa bertasamuh demi persatuan umat bukan untuk mencari-cari pembenaran dan selalu tampil beda. 

Wallahuwaliyyuttaufiq wal hidayah wassalamu'alaikum wr wb.


Pengurus Harian DPP PERTI
Al Faqir
Hadya Noer (https://www.facebook.com/hadya.noer)

============

Dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah karangan Ibnu Faris, kata samahah diartikan dengan suhulah (mempermudah). Pengertian ini juga diperkuat dengan perkataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari yang mengartikan kata al-samhah dengan kata al-sahlah (mudah), dalam memaknai sebuah riwayat yang berbunyi, Ahabbu al-dien ilallahi al-hanafiyyah al-samhah. Perbedaan arti ini sudah barang tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan kata-kata ini dalam kedua bahasa tersebut (Arab-Inggris).


Artinya :          “… Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu …” (QS. Al-Baqarah: 185)


Artinya :          “Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak akan menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu, Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu ….” (QS. Al-Hajj: 78)

Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu anhuma-, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya: “Agama apa yang paling dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla ? Beliau menjawab: “Al-Hanifiyah As-Samhah” (yang mudah dan yang lurus). (HR. Al-Bukhari)


Artinya :          “Dan aku mengakui hak salaf yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, dan memegang dengan keutamaan-keutamaan mereka, dan aku menahan diri dari perkara yang mereka perselisihkan baik yang kecil atau besar.”

Ibnu Hazm berkata [dalam Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam. hal. [69] :"Sesungguhnya kita telah mengetahui bahwa seluruh yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah kemudahan, sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala."Artinya : Dan dia [Allah Subhanahu wa Ta'ala] sekali-kali tidak menjadikan bagi kalian dalam agama suatu kesempitan" [Al-Haj : 78]


disunting kembali oleh Nawawi Hakimis (https://www.facebook.com/nawawihakimis)
Ketua Pemuda Islam Perti Manggeng, Aceh

Jumat, 20 Juli 2012

Keutamaan Shalat Tarawih Malam 1 sd 30

KEUTAMAAN SHALAT TARAWIH MALAM KE-1 S.D 30

Dalam Riwayat Al-Muslim : “Semua amal anak Adam dilipat gandakan pahalanya, setiap kebaikan 10 kali lipat, hingga 700 kali, kecuali puasa Akulah (ALLAH) yang membalasnya, sebab ia meninggalkan syahwat dan makan minumnya hanya karena Aku, dan baginya ada dua kegembiraan pertama ketika berbuka dan kedua ketika berjumpa Tuhannya. Sungguh bau mulutnya, bagi Allah melebihi harumnya kasturi”
Dalam Riwayat Al-Muslim : “Semua amal anak Adam dilipat gandakan pahalanya, setiap kebaikan 10 kali lipat, hingga 700 kali, kecuali puasa Akulah (ALLAH) yang membalasnya, sebab ia meninggalkan syahwat dan makan minumnya hanya karena Aku, dan baginya ada dua kegembiraan pertama ketika berbuka dan kedua ketika berjumpa Tuhannya. Sungguh bau mulutnya, bagi Allah melebihi harumnya kasturi”

Hadist Rasulullah Salallahualaihiwassalam, dalam Kitab Durratun Nasihin yang disusun oleh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syaakir Alkhaubawiyyi yang telah diterjemahkan oleh Abdullah Shonhadji Ali bin Abi Thalib Ra, berkata, bahwa pada suatu waktu Nabi Muhammad SAW ditanya tentang keutamaan Shalat Tarawih di bulan Ramadhan bagi orang yang melakukannya karena Allah SWT, maka beliau bersabda (30 keutaamaan tarawih -red) (HR Majalis).
[maksud dari HR Majalis disini adalah periwayat dari para tabi’ tabi’in Bukhari, Muslim, Imam, dll yang membenarkan hadist diatas.]

Berikut :
Dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa dia berkata: Nabi SAW ditanya tentang keutamaan-keutamaan tarawih di bulan Ramadhan. Kemudian beliau bersabda malam ke:
  1. Orang mukmin keluar dari dosanya pada malam pertama, seperti saat dia dilahirkan oleh ibunya.
  2. Ia diampuni, dan juga kedua orang tuanya, jika keduanya mukmin.
  3. Seorang malaikat berseru dibawah ‘Arsy: “Mulailah beramal, semoga Allah mengampuni dosamu yang telah lewat.”
  4. Dia memperoleh pahala seperti pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqan (Al-Quran).
  5. Allah Ta’ala memeberikan pahala seperti pahala orang yang shalat di Masjidil Haram, masjid Madinah dan Masjidil Aqsha.
  6. Allah Ta’ala memberikan pahala orang yang berthawaf di Baitul Makmur dan dimohonkan ampun oleh setiap batu dan cadas.
  7. Seolah-olah ia mencapai derajat Nabi Musa a.s. dan kemenangannya atas Fir’aun dan Haman.
  8. Allah Ta’ala memberinya apa yang pernah Dia berikan kepada Nabi Ibrahin as
  9. Seolah-olah ia beribadat kepada Allah Ta’ala sebagaimana ibadatnya Nabi saw.
  10. Allah Ta’ala mengaruniai dia kebaikan dunia dan akhirat.
  11. Ia keluar dari dunia seperti saat ia dilahirkan dari perut ibunya.
  12. Ia datang pada hari kiamat sedang wajahnya bagaikan bulan di malam purnama.
  13. Ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari segala keburukan.
  14. Para malaikat datang seraya memberi kesaksian untuknya, bahwa ia telah melakukan shalat tarawih, maka Allah tidak menghisabnya pada hari kiamat.
  15. ia didoakan oleh para malaikat dan para penanggung (pemikul) Arsy dan Kursi.
  16. Allah menerapkan baginya kebebasan untuk selamat dari neraka dan kebebasan masuk ke dalam surga.
  17. ia diberi pahala seperti pahala para nabi.
  18. Seorang malaikat berseru, “Hai hamba Allah, sesungguhnya Allah ridha kepadamu dan kepada ibu bapakmu.”
  19. Allah mengangkat derajat-derajatnya dalam surga Firdaus.
  20. Allah memberi pahala para Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan shalihin (orang-orang yang saleh).
  21. Allah membangun untuknya sebuah gedung dari cahaya.
  22. Ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari setiap kesedihan dan kesusahan.
  23. Allah membangun untuknya sebuah kota di dalam surga.
  24. Ia memperoleh duapuluh empat doa yang dikabulkan.
  25. Allah Ta’ala menghapuskan darinya azab kubur.
  26. Allah mengangkat pahalanya selama empat puluh tahun.
  27. Ia dapat melewati shirath pada hari kiamat, bagaikan kilat yang menyambar.
  28. Allah mengangkat baginya seribu derajat dalam surga.
  29. Allah memberinya pahala seribu haji yang diterima.
  30. Allah ber firman : “Hai hamba-Ku, makanlah buah-buahan surga, mandilah dari air Salsabil dan minumlah dari telaga Kautsar. Akulah Tuhanmu, dan engkau hamba-Ku.”
Akhirnya, semoga amal ibadah kita diterima dan kita mendapatkan pangkat dan derajat dari Allah sebagai seorang yang bertakwa.

Sumber Hadist dari Kitab Duratun Nasihin, Bab Keistimewaan Bulan Ramadhan.

Selasa, 17 Juli 2012

Kritisi Pelaksanaan Shalat Tarawih 4 Raka’at


Kritisi Pelaksanaan Shalat Tarawih 4 Raka’at




Masalah :

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

Dan

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ

Kajian :

Tarawih, (kadang-kadang disebut teraweh atau taraweh) adalah salat sunnat yang dilakukan khusus hanya pada bulan Ramadhan.

Tarawih ( تَراوِيْح )dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari تَرْوِيْحَةٌ yang diartikan sebagai "waktu sesaat untuk istirahat". (duduk bersenang-senang atau beristirahat.) sehingga dikatakan orang bahwa Shalat Tarawih berarti shalat dengan rasa senang dan kelapangan hati setelah shalat fardhu Isya'

Tarawih menurut asal katanya ialah duduk untuk istirahat setelah mengerjakan sembahyang empat rakaat shalat tarawih. Setiap empat rakaat dinamakan tarawih adalah sebagai majaz, kerana adabnya beristirahat sesudah pelaksanaan 4 rakaat.

Tarawih itu disebut juga dengan Qiyamu Ramadhan. Sembahyang Tarawih dikerjakan setelah mengerjakan sembahyang Isya’ dan waktunya berpanjangan sehingga akhir malam.

Pelaksanaan yang terjadi

Banyak orang mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam, dengan dalil hadis Siti Aisyah sebagai berikut:

 مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

Artinya: 
Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya ”Ya Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat Witir”? Kemudian beliau menjawab: ”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur”.

Banyak orang terkecoh dan terjebak dalam memahami penjelasan Imam Muhammad al-Shan’âniy dalam kitab Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, sehingga mereka mengatakan tata cara shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam disebutkan dalam kitab itu. Untuk menjawab tuduhan itu, mari kita lihat secara langsung redaksi Imam Muhammad al-Shan’âniy, sebagai berikut:

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ فَصَّلَتْهَا بِقَوْلِهَا ( يُصَلِّي أَرْبَعًا ) يُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُتَّصِلَاتٌ وَهُوَ الظَّاهِرُ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُنْفَصِلَاتٌ وَهُوَ بَعِيدٌ إلَّا أَنَّهُ يُوَافِقُ حَدِيثَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى .

Artinya; 
Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Kemudian Siti A’isyah merincikan shalat Rasulullah dengan perkataannya:”Beliau shalat 4 rakaat”. Redaksi ini memiliki kemungkinan 4 rakaat dilakukan sekaligus dengan 1 salam, ini adalah yang zhahir, dan juga bisa dipahami 4 rakaat itu dilakukan secara terpisah (2 rakaat- 2 rakaat), tetapi pemahaman ini jauh hanya saja ia sesuai dengan hadis Shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat. (Muhammad Ibn Ismâîl al-Shan’âniy, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, vol. 2 h. 27).

Maksud perkataan Imam Muhammad al-Shan’âniy:” 4 rakaat dilakukan dengan sekali salam, dipahami menurut zhahir/tekstual hadis. Sedangkan pelaksanaan 4 rakaat dengan 2 salam menjadi jauh bila tidak ada keterangan dari hadis lain. Tetapi 4 rakaat dengan cara 2 salam memiliki kekuatan dengan adanya keterangan hadis Shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat-2 rakaat.

Dalam hal ini Imam Syafii mengatakan dalam kitab al-Risâlah sebagai berikut:

فَكُلُّ كَلَامٍ كَانَ عَامًا ظَاهِرًا فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَهُوَ عَلَى ظُهُوْرِهِ وَعُمُوْمِهِ حَتَّى يُعْلَمَ حَدِيْثٌ ثَابِتٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ

Artinya: 
“Setiap perkataan Rasulullah dalam hadis yang bersifat umum/zhahir diberlakukan kepada arti zhahir dan umumnya sehingga diketahui ada hadis lain yang tetap dari Rasulullah”. (9 Muhammad Ibn Idrîs al-Syâfiiy, al-Risâlah, Jakarta: (Dinamika Jakarta t.t) h. 148).

Maksud dari  perkataan Imam Syafii adalah redaksi hadis yang masih bersifat umum/zhahir, boleh-boleh saja dipahami demikian adanya, dengan catatan selama tidak ada keterangan lain dari hadis Rasulullah. Tetapi bila ditemukan hadis Rasulullah yang menjelaskan redaksi zhahir dan umum satu hadis, maka hadis tersebut tidak boleh lagi dipahami secara zhahir dan umum.

Jika hendak dipertentangkan, hadis tentang shalat yang dikerjakan 2-2 lebih kuat dan lebih banyak diamalkan oleh umat sebab ia merupakan hadis Qauliy (perkataan Nabi) dalam riwayat lain dikatakan juga sebagai hadis Fi’liy (perbuatan Nabi), sedangkan hadis Siti Aisyah 4-4 hanya merupakan hadis Fi’liy (perbuatan Nabi).

Ketika terjadi perbedaan antara perkataan Nabi dengan perbuatannya maka yang harus dilakukan umatnya adalah mengamalkan apa yang diperintahkannya (perkataannya), sebabnya adalah lantaran perbuatan Nabi bisa jadi merupakan kekhususan bagi beliau yang tidak berlaku bagi umatnya. Contohnya adalah tentang kandungan surat Annisa ayat 3 sebagai perintah Nabi kepada para sahabat dan umatnya agar tidak memiliki istri lebih dari 4 orang. Padahal beliau sendiri di akhir hayatnya meninggalkan 9 orang istri. Dalam hal ini yang berlaku adalah kita tetap tidak boleh memiliki istri lebih dari 4. Sementara beristri lebih dari 4 merupakan kekhususan yang hanya boleh bagi Nabi.

Dengan kaidah ini, maka mengerjakan shalat malam dengan 2-2 rakaat lebih tepat ketimbang mengerjakannya dengan 4-4 rakat sekali salam, sebab bisa jadi shalat 4-4 rakaat merupakan sesuatu yang khusus bagi Nabi.

Masih ada cara lain yang paling mudah untuk memahami hadis Siti Aisyah yakni dengan mencari ucapan Aisyah sendiri pada lain kesempatan. Kita tentu berhak mempertanyakan kembali apakah yang dimaksud Siti Aisyah 4 rakaat benar-benar sekali salam??? Ternyata Siti Aisyah sendiri sebagai periwayat hadis 4-4 menjelaskan dalam hadis lain bahwa yang dimaksud dengan 4 rakaat pelaksanaannya adalah dengan 2-2.

Perhatikanlah penjelasan Siti Aisyah pada hadis berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ.

Artinya: 
Dari Aisyah berkata: ”Seringkali Rasulullah melakukan shalat antara selesai shalat Isya yang disebut orang dengan shalat ’Atamah sampai Fajar beliau mengerjakan shalat 11 rakaat, beliau melakukan salam pada tiap 2 rakaat dan melakukan 1 rakaat Witir. Apabila seorang Muadzzin selesai dari azan shalat Shubuh yang menandakan fajar telah datang, Muadzzin tersebut mendatangi beliau beliau pun melakukan shalat 2 rakaat ringan setelah itu beliau berbaring (rebah-rabahan) atas lambungnya yang kanan sampai Muadzzin itu mendatangi beliau untuk Iqamah (Imam Muslim dalam kitab Shahihnya hadis no: 1216, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak hadis No: 1671, Imam al-Darimiy dalam sunannya hadis No: 1447, Imam al-Bayhaqiy dalam al-Sunan al-Shughra hadis No: 600, al-sunan al-Kubra hadis No: 4865 dan Ma’rifah Sunan Wa al-Atsar hadis No: 1435).

Dalam Riwayat hadis Imam al-Bukhariy dari sahabat Nabi, Abdullah Ibn Umar:

إِنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ صَلَاةُ اللَّيْلِ قَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ . (صحيح البخاري رقم : 1069(

Artinya:
Sesungguhnya Seorang lelaki bertanya; Ya Rasulullah, bagaimana cara shalat malam? Rasulullah menjawab; Shalat malam itu 2 rakaat-2 rakaat. Maka apabila engkau khawatir subuh maka shalat witirlah engkau dengan satu rakaat.

Nashiruddin al-Albaniy dalam bukunya “صلاة التراويح” sebagai berikut:

وَصَدَقَ رَحِمَهُ اللهُ فَقَوْلَ الشَّافِعِيَّةُ: "يَجِبُ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَإِذَا صَلاَّهَا بِسَلاَمٍ وَاحِدٍ لَمْ تَصِحُّ"، كَمَا فِي اْلفِقْهِ عَلَي اْلمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَشَرْحِ اْلقَسْطَلاَنِي عَلَي اْلبُخَارِي وَغَيْرِهَا خِلاَفُ هَذَا اْلحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَمَنَافٌ لَقَوْلِ النَّوَوِي بِاْلجَوَازِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ اْلعُلَمَاءِ اْلمُحَقِّقِيْنَ فِي اْلمَذْهَبِ الشَّافِعِي فَلاَ عَذْرَ لِأَحَدٍ يُفْتِي بِخَلاَفِهِ. [صلاة التراويح، ص: 17-18]

Artinya: 
“Dan sungguh benar ucapan Imam an-Nawawi rahimahullah itu, maka mengenai pendapat ulama-ulama Syafi’iyyah bahwa wajib salam tiap dua raka’at dan bila shalat empat raka’at dengan satu salam tidak sah, sebagaimana terdapat dalam kitab fiqih mazhab empat itu dan uraian al-Qasthallani terhadap hadis al-Bukhari dan lainnya, hal itu menyalahi hadis (Aisyah) yang shahih itu serta menafikan terhadap ucapan (pendapat) an-Nawawi yang mengatakan hukum boleh (jawaz) itu. Padahal an-Nawawi salah seorang ulama besar ahli tahqiq dalam mazhab Syafi’i, hal itu tidak bisa ditolerir (dibenarkan) bagi siapapun juga berfatwa menyalahi ucapan beliau itu.” [Shalatut-Tarawih, hal 17-18]

Imam Nawawiy al-Dimasyqiy:

يَدْخُلُ وَقْتُ التَّرَاوِيْحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ ذَكَرَهُ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ وَيَبْقَى إِلَى طُلُوْعِ اْلفَجْرِ وَلْيُصَلِّهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ كَمَا هُوَ اْلعَادَةُ فَلَوَْصَلَّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيْمةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ الْقَاضِى حُسَيْنٌ فيِ فَتَاوِيْهِ ِلاَنَّهُ خِلاَفُ الْمَشْرُوْعِ قَالَ وَلاَ تَصِحُّ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ بَلْ يَنْوِى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ أَوْ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ أَوْ قِيَامَ رَمَضَانَ فَيَنْوِيْ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ مِنْ صَلاَةِ التَّرَاوِيحِ . )المجموع شرح المهذب : ج 4 ص : 38 (دار الفكر 2000(

Artinya:
”Masuk waktu shalat Tarawih itu setelah melaksanakan shalat Isya. Imam al-Baghawi dan lainnya menyebutkan: “waktu tarawih masih ada sampai terbit fajar”. Hendaklah seseorang mengerjakan shalat Tarawih dengan dua rakaat-dua rakaat, sebagaimana kebiasaan shalat sunah lainnya. Seandainya ia shalat dengan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah. Hal ini telah dikatakan oleh al-Qâdhi Husain dalam fatwanya, dengan alasan hal demikian menyalahi aturan yang telah disyariatkan. Al-Qâdhi juga berpendapat seorang dalam shalat Tarawih ia tidak boleh berniat mutlak, tetapi ia berniat dengan niat shalat sunah Tarawih, shalat Tarawih atau shalat Qiyam Ramadhan. Maka ia berniat pada setiap 2 rakaat dari shalat Tarawih.

Imam Ahmad Ibn Hajar al-Haytamiy:

اَلتَّرَاوِيْحُ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً , وَيَجِبُ فِيْهَا أَنْ تَكُوْنَ مَثْنَى بِأَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ , فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ لِشِبْهِهَا بِاْلفَرْضِ فِي طَلَبِ الْجَمَاعَةِ فَلاَ تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ بِخِلاَفِ نَحْوِ سُنَّةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ . )فتح الجواد شرح الارشاد :ج 1 ص : 163 (مكتبة اقبال حاج ابراهيم سيراغ ببنتن 1971(

Artinya: 
Shalat Tarawih itu 20 rakaat, wajib dalam pelaksanaanya dua-dua, dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Bila seseorang mengerjakan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah karena hal tersebut menyerupai shalat fardhu dalam menuntut berjamaah, maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang). Lain halnya dengan shalat sunah Zuhur dan Ashar (boleh dikerjakan empat rakaat satu salam) atas Qaul Mu’tamad.
===

Dari berbagai sumber

Senin, 16 Juli 2012

Bersedekah Dari Harta Yang Tidak Jelas


Kajian | Hukum bersedekah kafir atau muslim dari harta yang tidak jelas kehalalalannya untuk kepentingan islam


Akhy fillah, Mari kita lihat Firman Allah berikut : 

قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ وَلاَتَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَتَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعَكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَاكُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ {164}

“.... dan tiadalah (kejahatan) yang diusahakan oleh sesuatu jiwa (seorang) melainkan dialah yang menanggung dosanya; dan seseorang yang boleh memikul tidak akan memikul dosa orang lain”. (Surah al-An’am, ayat 164)
====

Riwayat Imam Bukhari dalam kitab sahihnya:


 
ما رواه أنس بن مالك رضي الله عنه أن يهودية أتت النبي صلى الله عليه وسلم بشاة مسمومة فأكل منها، فجيء بها فقيل: ألا نقتلها؟ قال:"لا". فما زلت أعرفها في لهوات رسول الله صلى الله عليه وسلم.{رواه البخاري{.

Riwayat Anas bin Malil ra, sesungguhnya seorang Yahudi wanita berjumpa Nabi saw membawa kambing yang diletak racun. Nabi saw pun makan. Kemudian wanita tersebut dibawa kepada Nabi saw dan baginda ditanya “ Apakah perlu kita membunuhnya?” Nabi saw menjawab “Tidak perlu.” Anas berkata “ Aku sentiasa ingat daging kambing itu berada dalam mulut Nabi saw.”


قال أنس رضي الله عنه: أهدي للنبي صلى الله عليه وسلم جبة سندس وكان ينهى عن الحرير، فعجب الناس منها، فقال:"والذي نفس محمد بيده لمناديل سعد بن معاذ في الجنة أحسن من هذا"

Anas bin Malik ra berkata: Nabi saw dihadiahkan jubah diperbuat dari kain sundus dan sebelum itu Nabi saw telah melarang lelaki dari memakai kain sutera. Lalu orang ramai kagum dengan kain tersebut. Nabi saw pun bersabda “ Dan demi tuhan yang mana diriku dalam kekuasaannya, sesungguhnya kain sapu tangan Saad bin Muaz dalam syurga lebih baik dari kain ini.”
====

Dalam kitab “Mughnil Muhtaj” karangan Syeikh Syarbaini seorang Ulama mazhab Syafi’iy:

وَقَبِلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةَ الْمُقَوْقَسِ الْكَافِرِ وَتَسَرَّى مِنْ جُمْلَتِهَا بِمَارِيَةَ الْقِبْطِيَّةِ وَأَوْلَدَهَا".


"Nabi saw telah menerima hadiah dari Muqauqis seorang raja yang kafir. Termasuk dari hadiah tersebut adalah Mariah Qibtiyyah dan anak-anaknya.”
=====

Dr Yusuf al-Qaradawi ketika ditanya mengenai uang riba ke mana patut disalurkan, beliau menyebut antaranya:
“Sebenarnya, uang tersebut keji (haram) melihat kepada orang mendapatkan secara tidak halal, tetapi ia baik (halal) untuk fakir miskin dan badan-badan kebajikan…

(penyelesaiannya) disalurkan ke badan-badan kebajikan yaitu fakir miskin, anak-anak yatim, orang terputus perjalanan, institusi-institusi kebajikan islam, dakwah dan kemasyarakatan..” (al-Fatawa al-Mu’asarah 2/411, Beirut: Dar Ulil Nuha).
====

Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq r.a pernah bertaruh (di awal Islam) dengan seorang Musyrik (tentang ketepatan Al-Quran dari surah Ar-Rum ayat pertama dan kedua yang mengisyaratkan kejatuhan kerajaan Roma). Saat Roma benar-benar jatuh/kalah, Sayyidina Abu Bakar muncul sebagai pemenang dan telah memperoleh harta pertaruhan itu (harta tersebut hukumnya haram karena judi dan tujuan Abu Bakar hanyalah untuk membuktikan kebenaran al-Quran).

Saat Sayyidina Abu Bakar datang kepada Rasulullah s.a.w menceritakan perihal harta dari pertaruhan tersebut, Rasulullah bersabda :
هذا سحت فتصدق به
Artinya : Ini kotor, sedeqahkan ia. (At-Tirmizi . 16/22 ; At-Tirmizi : Sohih)

Setelah peristiwa ini, barulah turun perintah pengharaman judi secara sepenuhnya sekalipun dengan orang kafir. (Tafsir At-Thabari, 20/16) Kisah ini dengan jelas menunjukkan Nabi tidak mengarahkannya dikembalikan kepada si Kafir, tetapi disedeqahkan untuk tujuan umum dan kebaikan ramai.
===

Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya At-Tafsir ai-Munier Juz X halaman 140-141/"Menurut pendapat yang paling shahih (valid) bahwa, orang kafir diperbolehkan membantu pembangunan masjid dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan pembangunan masjid seperti menjadi tukang batu dan tukang kayu. Karena hal ini tidak termasuk larangan yang termaktub pada surat at-Taubah ayat 17-18:
مَا كَانَ لِلمُشْرِكِينَ أَن يَعْمُرُواْ مَسَاجِدَ الله شَاهِدِينَ عَلَى أَنفُسِهِمْ بِالكُفْرِ أُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ(17) إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ المُهْتَدِينَ(18)التوبة

Artinya:
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. ltulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. At-Taubah, 9:17-18.

Akan tetapi, orang kafir tidak boleh menjadi pengurus masjid (ta'mir masjid), atau pengurus Yayasan Wakaf Masjid...

Demikian juga, orang kafir diperbolehkan membangun masjid atau memberikan bantuan dana pembangunan masjid dengan syarat hal itu tidak dijadikan sarana untuk menimbulkan bahaya (dlarar). Jika dijadikan sarana untuk menimbulkan bahaya atau fitnah, maka hal itu dilarang karena sama dengan masjid dlirar (masjid yang dibangun oleh orang-orang munafiq di Madinah pada masa Rasulullah untuk memecah belah umat Islam)'.
====

Dari berbagi sumber

Memegang Tongkat oleh Khatib Jumat


Memegang Tongkat oleh Khatib Jumat


Dalam masalah ini ada beberapa riwayat yang menceritakannya, di antaranya:

Dari Hakam bin Hazn Radhiyallahu ‘Anhu, katanya:

شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ كَلِمَاتٍ خَفِيفَاتٍ طَيِّبَاتٍ مُبَارَكَاتٍ

Kami melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Jumat, Beliau berdiri (khutbah) memegang tongkat atau busur panah, lalu dia memuji Allah dengan berbagai kalimat yang ringan, baik, dan penuh berkah ...   
(HR. Abu Daud No. 1096, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shaghir No. 484, juga Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 1761)

Driwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari sahabat Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كان إذا خطب يعتمد على عنزة له

Adalah nabi SAW berkhutbah, Beliau berpegangan dengan tombaknya. (Subulus Salam, 2/59)

dalam Sunan Abi Daud ada hadits seperti ini.  

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي جَنَابٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْبَرَاءِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُووِلَ يَوْمَ الْعِيدِ قَوْسًا فَخَطَبَ عَلَيْهِ

Berkata kepada kami Al Hasan bin Ali, berkata kepada kami Abdurrazzaq, mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Abu Janaab, dari Yazid bin Al Bara’, dari ayahnya (Al Bara bin ‘Azib), bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diambilkan untuknya busur panah pada hari raya, lalu dia berkhutbah sambil berpegangan dengannya. (HR. Abu Daud No. 1145)

عَنْ شُعَيْبِ بْنِ زُرَيْقٍ الطَائِفِيِّ قَالَ شَهِدْناَ فِيْهَا الجُمْعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصَا أَوْقَوْسٍ

Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka  Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud hal. 824).
As Shan’ani mengomentari hadits terserbut bahwa hadits itu menjelaskan tentang “sunnahnya khatib memegang pedang atan semacamnya pada waktu menyampaikan khutbahnya”. (Subululus Salam, juz II, hal 59)

Komentar Para Ulama

Berikut, perkataan para ulama tentang berkhutbah sambil bersandar dengan tongkat atau lainnya :

Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu berkata:


قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى) بَلَغَنَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ اِعْتَمَدَ عَلَى عَصَى. وَقَدْ قِيْلَ خَطَبَ مُعْتَمِدًا عَلَى عُنْزَةٍ وَعَلَى قَوْسٍ وَكُلُّ ذَالِكَ اِعْتِمَادًا. أَخْبَرَنَا الرَّبِيْعُ قَالَ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ أَخْبَرَناَ إِبْرَاهِيْمُ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَطَاءٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ يَعْتَمِدُ عَلَى عُنْزَتِهِ اِعْتِمَادًا

Imam Syafi'i RA berkata: Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan". (al-Umm, juz I, hal 272)

وَأُحِبُّ لِكُلِّ من خَطَبَ أَيَّ خُطْبَةٍ كانت أَنْ يَعْتَمِدَ على شَيْءٍ وَإِنْ تَرَكَ الِاعْتِمَادَ أَحْبَبْتُ له أَنْ يُسْكِنَ يَدَيْهِ وَجَمِيعَ بَدَنِهِ وَلَا يَعْبَثُ بِيَدَيْهِ ...   

Saya suka bagi setiap khatib yang berkhutbah agar dia menyandarkan dirinya pada sesuatu, kalau pun dia tidak bersandar hendaknya dia menenangkan kedua tangannya dan semua anggota badannya .. (Al Umm, 1/238)

Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata:

وَذَلِكَ مِمَّا يُسْتَحَبُّ لِلأْئِمَّةِ أَصْحَابِ الْمَنَابِرِ أَنْ يَخْطُبُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمَعَهُمُ الْعَصَا ، يَتَوَكَّئُونَ عَلَيْهَا فِي قِيَامِهِمْ ، وَهُوَ الَّذِي رَأَيْنَا وَسَمِعْنَا

Demikian itu merupakan di antara hal yang disunahkan bagi para imam yang berada di mimbar bahwa jika mereka berkhutbah Jumat hendaknya mereka memegang tongkat dan bersandar kepadanya pada saat mereka berdiri, itulah yang kami lihat dan kami dengar. (Jawahir Iklil, 1/97, Hasyiah Ad Dasuqi, 1/382-383, Al Mudawanah Al Kubra, 1/151, Raudhatuth Thalibin, 2/32, Hasyiah Al Qalyubi, 1/282, Kasysyaaf Al Qina’, 2/36, Al Inshaf, 2/397, Al Mughni, 2/309)  

Hikmah dianjurkannya memegang tongkat adalah untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam kitab Subulus Salam, juz II, hal 59).

Wallahu a’lam .......

===
Dari berbagai sumber