Saleum Troeh Teuka

Saleum Troeh Teuka
Selamat datang wahai saudaraku ke tempat kami

Rabu, 09 November 2011

Membongkar (Bid'ah) Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW

Membongkar (Bid'ah) Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW =============================================
oleh Nawawi Hakimis pada 03 September 2010 jam 10:43
 إن الله وملئكته يصلون على النبي،ياأيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما

 Inti ayat itu kita sdh maklumi bersama yaitu bermuara pd shalawat dan salam kpd sang pembawa salam ,sayyidina wa maulana Muhammad SAW. Yg sgt menarik adalah ketika Allah memamerkan shalawat yg tanpa batas kpd beliau, Dalam kitab Al Qur'an Allah menuturkan dan mengatur nya sedemikian rupa dalam satu ayat yg terdiri dari kosa kata yg keseluruhannya terpancar cahaya yg mengagumkan dan menyilaukan mata hati setiap mrk yg mabuk cinta kpd sang pembawa RAHMAT.

 Perhatikanlah setiap kosa kata dlm ayat itu,semuanya adalah cahaya! Ini adalah isyarat yg sgt jelas yg bisa ditangkap oleh para Auwliya' bhw barang siapa yg ingin segera mendapatkan cahaya Ilahai yg dititipkan pd Nur Muhammad,maka hendaklah Ia menyibukkan diri dg bershalawat kpd Nya. Oleh sebab itu lah seluruh thareqah yg mu'tabarah seluruhnya dihiasi dg shalawat kpd Nya.

 Pembuktian:
 إن الله Allah adalah Nur/cahaya=sumber Nur/cahaya
 وملئكته Para Malaekat adalah Nur/cahaya. Isim dhamir yg menempel pd kalimat Malaekat, kembali ke Lafzhul jalalah juga adalah Nur/carahaya.
 يصلون Shalawat itu juga adalah Nur/cahaya Huruf waw lil jamaah mudzakkar kembali kpd para malaekat juga adalah Nur/cahaya. Disini Allah membawakannya dg redaksi Fi'il yg maknanya Lil hudust wa attajaddud:artinya tanpa dibatasi ruang dan waktu, begitulah guyuran shalawat kpd Nabi pembawa Rahmat itu!
 على النبي Sudah maklum Nabi adalah Nur/cahaya. Disini Allah tdk mengatakan على الرسول Padahal Rasul itu lebih mulya dari pd Nabi.Tp disini Allah meradaksikan dg Nabi hanyalah utk mentaukid/menguatkan Fi'il tadi yg gunanya tanpa dibatasi ruang dan waktu tentang guyuran shalawat kpd sang pembawa rahmat! Karna sang pembawa rahmat itu menjadi Nabi jauh sebelum Adam AS menjadi Nabi. Dan kalau Allah meradaksikannya dg Rasul, maka akan disangka guyuran shalawat kpd beliau sgt terbatas yaitu ketika beliau sudah berusia 40 th.

Maka oleh sbb itulah pd maqam ini Allah meredaksikanya dg Nabi. Maka stlh hal itu sdh dipaparkaNya dan sdh kita fahami, maka Allah mengundang kita spy kita bisa beranjak menaiki maqam satu demi satu spt maqam para malaekat dg mengendarai bahtra shalawat ini melalui firmanNya:
 يا أيها الذين أمنوا Telah kita maklumi juga bhw IMAN itu adalah Nur/cahaya
 صلوا Shalawat adalah Nur/cahaya
 عليه Atas Nabi: Nabi adalah Nur/cahaya
 وسلموا Salam juga adalah Nur/cahaya
 تسليما Cucilah zhahir dan bathin mu dg cahaya supaya engkau/jiwa dan ragamu adalah cahaya,

 Yg bershalawat tnp sayyidina berarti cinta nya melalui nash yg tertera! Yg slalu memakai sayyidina berarti cintanya melalui adab dan rasa hormat! Walaupun kita sama2 sdh memaklumi qa'idah: Kadang kala adab lebih diutamakan dari yg lain!

 Tanpa sayyidina...? referensi :tolong dilihat juga
 1. Al-Muwatta'/ 459,
 2. sahih Ibnu Hibban/ 1958,
 3. sahih dan juga An-Nasa'iy/ 1288,
 4. sahih, An-Nasa'iy/ 1290,
 5. sahih,Ibnu Hibban/ 1957,
 6. sahih. [Muslim/ 405],
 7. [Al-Muwatta'/ 459, sahih],
 8. [An-Nasa'iy/ 1285, sahih],
 9. [Ibnu Hibban/ 1965, sahih]
 10. [Al-Bukhariy/ 3190]
 Wallahu a'lam bisshawab! tolong dikoreksi dan diperbaiki....

Selasa, 11 Oktober 2011

Syariat Thariqat Hakikat Makrifat

Syari'at, Thariqat, Haqiqat & Ma'rifat ======================

 Ilmu Syariat itu jadi Khazanah (tempat penyimpanan utama). ilmu Thariqat, Haqiqat dan Ma'rifat terkandung di dalamnya. Ilmu Tarekat itu jadi jalan sejati bila ingin mengetahui Tuhan. Lebih sukar karena sulit. Hati sanubari. Ilmu Hakekat itu pasti. Tahu yang sebenarnya, Kenyataan sifat-sifat Tuhan. Akan tetapi Allah tak dapat dilihat. Terlihat juga hanya pada sifat-sifatNya. Melihat tuhan hanya lah bisa lewat mengenal keagungan sifat dan khalqahNya Ilmu Makrifat yang lebih tinggi, Artinya tahu dengan jelas.

Sadarilah itu dalam hidupmu! Sebab hidup nafas masuk-keluar itulah sebenarnya. Tahu dengan sebenar-benarnya. Bila mata tertutup sifat yang Maha Kuasa nampak bercahaya. Bila mata terbuka tersaksi dalam dzat segala-galanya yang terlihat itu. Ruang alam terang-benderang, ini sifat Yang Maha Agung.

Beramal dalam Islam ada tertibnya. Ada urutan dan susunannya. Ada "progression" nya dari satu tahap ke tahap yang lebih tinggi. Ia bermula dengan Syari'at , kemudian dengan Tariqat , diikuti pula dengan hakikat dan diakhiri dengan Makrifat. sehingga yang perlu diperhatikan adalah salah satu dari empat macam itu tidak bisa ditinggalkan disaat sudah mencapai ke tingkat lain, karena kedudukan mereka laksana berpisah dalam kesatuan dan berkesatuan dalam berkepisahan 

Seringnya kita mendengar tentang kalimat Syari'at, Thariqat, Haqiqat & Ma'rifat, sehingga perlulah bagi kita untuk mengenal kalimat itu masing-masing secara lebih mendalam. sebagian dari kalimat-kalimat perumpamaan dari kalimat diatas sering diumpamakan sebgai telur, pohon kayu dll.

Perumpamaan Telur



Syari'at = Kulit luarnya
Thariqat = Putih telurnya
Hakikat = Merah Telur
Ma'rifat = Inti dari merah telu Tidak ada telur tanpa kulit, sebagaimana tasawuf tanpa syariat. Bahkan kulit telur itu mesti diupayakan jangan sampai retak, apalagi pecah. Kalaulah tidak, maka dapat dipastikan seluruh isi telur itu akan membusuk dan tidak berguna lagi.

Perumpamaan Tanaman
Kalau Tashawuf diibaratkan tanaman,
Syari'at = Pohon 
Thariqatnya = Menyiram, memupuk dan memeliharanya dari hama dan berbagai macam gangguan, agar menghasilkan buah hakikat.
Haqiqat = Buah
Ma'rifat = Berhasilnya tanaman itu dapat sehingga dapat mencicipi dan menikmati buah tanamannya

Perumpamaan Perjalanan
Orang yang akan atau sedang melakukan perjalanan, ibaratnya sebuah kendaraan.
Syariat = Jalan raya yang harus dilalui .
Thariqat = adalah jalan-jalan kecil sebagai jurusan yang akhirnya mengarah kepada terminal hakikat. 
Terminal = jurusan akhir dari perjalanan
Hakikat = tujuan terakhir dari perjalanan

Syariat itu bagaikan perahu
Thariqat bagaikan lautan
Hakikat itu mutiara yang sangat mahal harganya

Syari’at adalah perbuatan (jasad) si hamba dalam melaksanakan ibadah kepada Allah harus dengan semurni-murninya ibadah.
Thariqat adalah jalan (hati) untuk menuju kesuatu tujuan yang diridhai Allah, dengan hati yang bersih dan ikhlas atas segala perbuatan dan menerima cobaan Allah SWT.
Haqiqat (nyawa) adalah tujuan untuk mencapai keridhaan Allah sehingga terbukti adanya “diri yang hakiki” yang kita hanya dapat merasakan dan sadari, bahwa diri yang yang keluar dari diri, sehingga kita dapat membuktikan dengan kesadaran yang hakiki tentang Kekuasaan Allah, tentang Rahasia Alam, tentang Alam Ghaib dan lain-lainnya.
Ma’rifat (Rahasia Allah), adalah sampainya suatu tujuan sehingga terwujud suatu kenyataan dan terbukti kebe narannya (tidak diragukan lagi).
========

Nasehat Imam Malik Rahimahullah

 و من تصوف و لم يتفقه فقد تزندق من تفقه و لم يتصوف فقد تفسق و من جمع بينهما فقد تخقق “
Barang siapa yang ber Tashawuf tanpa mempelajari fiqih maka ia adalah Zindiq (rusak keimanannya) , sementara orang yang belajar fikih tanpa mengamalkan nilai Tashawuf maka ia adalah orang yang rusak. namun barang siapa yang memadukan keduannya benarlah ia “.

Imam Syafi’i rahimahullah dalam [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47] pernah menasehati kita dengan tulisannya :

 فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
 فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

“Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kenikmatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan).

 Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata : “ Ketahuilah wahai anak-anakku, mudah-mudahan Tuhan memberikan taufiq kepada kami dan engkau dan semua ummat Islam, aku wasiatkan kepada kamu bahwa engkau tetap menjalankan syari’at dan memelihara batas-batasnya. Ketahuilah wahai anak-anakku, bahwa thariqat kami ini didasarkan atas al-Qur’an dan as-Sunnah “. Kemudian Syeikh Ibrahim An-Nasharbadzi, berkata : “ Asal atau dasar ajaran ini (tasawwuf) adalah menetapi kitab dan sunnah, meninggalkan hawa nafsu dan bid’ah, berpegang pada imam-imam, mengikuti ulama salaf, meninggalkan sesuatu yang diadakan oleh orang-orang belakangan dan berdiri diatas jalan yang ditempuh oleh orang-orang terdahulu”.
 =============

Ada yang mengatakan bahwa Perjalanan spiritual justeru dimulai dari MA’RIFAT, ke THARIQAT, lalu ke HAQIQAT dan akhirnya sampai pada SYARIAT.

Mereka mengumpamakan dengan :
MA'RIFAT adalah bertemu dan mencairnya kebenaran yang hakiki: yang disimbolkan saat Muhammad SAW bertemu Malaikat Jibril,
HAQIQAT saat dia mencoba untuk merenungkan berbagai perintah untuk IQRA,
THARIQAT saat Nabi Muhammad SAW berjuang untuk menegakkan jalanNya dan
SYARIAT adalah saat Nabi Muhammad SAW mendapat perintah untuk sholat saat Isra Mikraj yang merupakan puncak pendakian tertinggi yang harus dilaksanakan oleh umat muslim. karena hal tersebut diatas, sehingga mereka mengatakan SYARIAT SHALAT ADALAH PUNCAK PENDAKIAN SPIRITUAL yang terkadang justeru dilalaikan oleh kaum sufi dan para ahli spiritual. Padahal, Nabi MUHAMMAD SAW memberi tuntunan tidak seperti itu.

Jumat, 26 Agustus 2011

Khutbah Haji Wada' (Haji Terakhir) Rasulullah SAW




Hari itu Hari Tarwiyah / 9 Zulhijjah tahun 10 hijriyah di Lembah Uranah, Bukit Arafah 10 H. Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pergi ke Mina dan melaksanakan shalat zuhur, asar, magrib, isya, dan subuh di sana. Seusai menanti beberapa saat hingga matahari terbit, beliau lantas melanjutkan perjalanan hing­ga tiba di 'Arafah. Tenda-tenda waktu itu telah didirikan di sana. Beliau pun masuk tenda yang disiapkan bagi beliau.

Setelah matahari tergelincir, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meminta agar Al-Qashwa’, unta beliau, didatangkan. Beliau kemudian menungganginya hingga tiba di tengah Padang Arafah. Di sana telah berkumpul sekitar 124.000 atau 144.000 kaum Muslim. Beliau kemudian berdiri di hadapan mereka me­nyampaikan khutbah haji terakhir beliau yang lebih dikenal dengan sebutan haji wada’

خطبة الوداع لرسول الله


أما بعد، أيها الناس: اسمعوا مني أبين لكم، فإني لا أدري لعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا، في موقفي هذا.

أيها الناس: إن دماء كم وأموالكم حرام عليكم إلى أن تتقوا ربكم، كحرمة يومكم هذا، في شهركم هذا، في بلدكم هذا. ألا هل بلَّغتُ؟ اللَّهم اشهد.

فمن كانت عنده أمانة فليؤدِّها إلى من ائتمنه عليها. وإن ربا الجاهلية موضوع ولكن لكم رؤوس أموالكم لا تظلمون ولا تظلمون. قضى الله أن لا ربا، وإن أول ربا أبدأ به ربا عمِّي العباس بن عبد المطلب. وإنَّ دماء الجاهلية موضوعة… وإنَّ مآثر الجاهلية موضوعة غير السدانة والسقاية. والعمد قود، وشبه العمد ما قتل بالعصا والحجر، وفيه مائة بعير، فمن زاد فهو من أهل الجاهلية.

أيها الناس: إن الشيطان قد يئس أن يعبد في أرضكم هذه، ولكنه قد رضي أن يطاع فيما سوى ذلك مما تحقرون من أعمالكم.

أيها الناس: إن لنسائكم عليكم حقا، ولكم عليهن حق، لكم عليهن ألا يوطئن فرشكم غيركم، ولا يدخلن أحدا تكرهونه بيوتكم إلا بإذنكم، ولا يأتين بفاحشة مبينة فإن فعلن فإن الله قد أذن لكم أن تعضلوهن وتهجروهن في المضاجع، وتضربوهن ضربا غير مبرح، فإن انتهين وأطعنكم فعليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف، فاتقوا الله في النساء، واستوصوا بهن خيرا. ألا هل بلغت؟ اللهم اشهد.

أيها الناس: إنما المؤمنون إخوة، فلا يحل لامرئ مال أخيه إلا عن طيب نفس منه. ألا هل بلغت؟ اللهم اشهد.

فلا ترجعن بعدي كفارا يضرب بعضكم رقاب بعض، فإني قد تركت فيكم ما إن أخذتم به لن تضلوا بعده، كتاب الله وسنتي؟ ألا هل بلغت؟ اللهم اشهد.

أيها الناس: إن ر بكم واحد، وإن أباكم واحد، كلُّكم لآدم، وآدم من تراب، أكرمكم عند الله أتقاكم، وليس لعربي على أعجمي فضل إلا بالتقوى.

ألا هل بلغت؟ اللهم اشهد. فليبلغ الشاهد الغائب، والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :

Wahai manusia! Dengarkanlah nasihatku baik-baik, karena barangkali aku tidak dapat lagi bertemu muka dengan kamu semua di tempat ini. Tahukah kamu semua, hari apakah ini? (Beliau menjawab sendiri) Inilah Hari Nahr, hari kurban yang suci.Tahukah kamu bulan apakah ini? Inilah bulan suci. Tahukah kalian tempat apakah ini? Inilah kota yang suci. Karena itu, aku permaklumkan kepada kalian semua bahwa darah dan nyawa kalian, harts bends kalian dan kehormatan yang satu terhadap yang lainnya haram atas kalian sampai kalian bertemu dengan Tuhanmu kelak. Semua harus kalian sucikan sebagaimana sucinya hari ini, sebagaimana sucinya bulan ini, dan sebagaimana sucinya kota ini. Hendaklah berita ini disampaikan kepada orang-orang yang tidak hadir di tempat ini oleh kamu sekalian!
Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah, saksikanlah!
Hari ini hendaklah dihapuskan segala macam bentuk riba. Barang siapa yang memegang amanah di tangannya, maka hendaklah is bayarkan kepada yang empunya. Dan, sesungguhnya riba jahiliah adalah batil. Dan awal riba yang pertama sekali kuberantas adalah riba yang dilakukan pamanku sendiri, Al-’Abbas bin’Abdul-Muththalib.
Hari ini haruslah dihapuskan semua bentuk pembalasan dendam pembunuhan jahiliah, dan penuntutan darah cara jahiliah. Yang pertama kali kuhapuskan adalah tuntutan darah ‘Amir bin Al-Harits.

Wahai manusia! Hari ini setan telah putus asa untuk dapat disembah pada bumimu yang suci ini. Tetapi, ia bangga jika kamu dapat menaatinya walau dalam perkara yang kelihatannya kecil sekalipun. Karena itu, waspadalah kalian atasnya! Wahai manusia! Sesungguhnya zaman itu beredar sejakAllah menjadikan langit dan bumi.
Wahai manusia! Sesungguhnya bagi kaum wanita (istri kalian) itu ada hak-hakyang harus kalian penuhi, dan bagi kalian juga ada hak-hak yang harus dipenuhi istri itu. Yaitu, mereka tidak boleh sekali-kali membawa orang lain ke tempat tidur selain kalian sendiri, dan mereka tak boleh membawa orang lain yang tidak kalian sukai ke rumah kalian, kecuali setelah mendapat izin dari kalian terlebih dahulu. Karena itu, sekiranya kaum wanita itu melanggar ketentuan-ketentuan demikian, sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian untuk meninggalkan mereka, dan kalian boleh melecut ringan terhadap diri mereka yang berdosa itu.Tetapi,jika mereka berhenti dan tunduk kepada kalian, menjadi kewajiban kalianlah untuk memberi nafkah dan pakaian mereka dengan sebaik-baiknya. Ingatlah, kaum hawa adalah makhluk yang lemah di samping kalian. Mereka tidak berkuasa. Kalian telah membawa mereka dengan suatu amanah dari Tuhan dan kalian telah halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Karena itu, bertakwalah kepada Allah tentang urusan wanita dan terimalah wasiat ini untuk bergaul baik dengan mereka.

Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah, saksikanlah!

Wahai manusia! Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian sesuatu, yang jika kalian memeganginya erat­-erat, niscaya kalian tidak akan sesat selamanya. Yaitu: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Wahai manusia! Dengarkanlah baik-baik spa yang kuucapkan kepada kalian, niscaya kalian bahagia untuk selamanya dalam hidupmu!
Wahai manusia! Kalian hendaklah mengerti bahwa orang-orang beriman itu bersaudara. Karena itu, bagi tiap­-tiap pribadi di antara kalian terlarang keras mengambil harta saudaranya, kecuali dengan izin hati yang ikhlas.
Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah saksikanlah!
Janganlah kalian, setelah aku meninggal nanti, kembali kepada kekafiran, yang sebagian kalian mempermainkan senjata untuk menebas batang leher kawannya yang lain. Sebab, bukankah telah kutinggalkan untuk kalian pedoman yang benar, yang jika kalian mengambilnya sebagai pegangan dan lentera kehidupan kalian, tentu kalian tidak akan sesat, yakni Kitab Allah (Al ­Quran).

Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah, saksikanlah!

Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, dan sesungguhnya kalian berasal dari satu bapak. Kalian semua dari Adam dan Adam terjadi dari tanah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian semua di sisi Tuhan adalah orang yang paling bertakwa. Tidak sedikit pun ada kelebihan bangsa Arab dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.

Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah, saksikanlah!
Karena itu, siapa saja yang hadir di antara kalian di tempat ini berkewajiban untuk menyampaikan wasiat ini kepada mereka yang tidak hadir!
Tak lama setelah Rasulullah Saw. menyampaikan khutbah tersebut, turunlah firman Allah, Pada hari ini telah Kusem­purnakan bagi kalian agama kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan Islam telah Kuridhai menjadi agama bagi kalian (QS AI-Ma’idah [5]: 3).

Mendengar firman Allah tersebut, ‘Umar bin Al-Khath­thab pun meneteskan air mata. Melihat hal itu, dia pun dita­nya, “‘Umar! Mengapa engkau menangis? Bukankah engkau ini jarang sekali menangis?”
“Karena aku tahu, selepas kesempurnaan hanya ada ke­kurangan,” jawab Umar. Ia telah merasakan suasana perpisahan (wada’) terakhir dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang sangat dicintainya.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Tafsir QS. Ar-Ra'du : 11 Tentang Nasibkah



Kajian | Tafsir Ar Ra’ad: 11 berbicara tentang merubah nasib ..?
=============================

Ada (bahkan banyak) yang berceramah di atas mimbar dengan mengatakan: “Tuhan tidak bisa merubah nasibmu jika kamu sendiri tidak merubahnya”. Untuk mempertegas dakwahnya mereka menyandarkan dengan firman Allah:

إنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Dengan mengartikan مَا pada perkataan مَا بِقَوْمٍ dan مَا pada perkataan مَا بِأَنْفُسِهِمْ dengan makna nasib, sehingga makna lengkap ayat di atas adalah : "Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib sesuatu kaum sehingga mereka merubah nasib mereka sendiri ".(Ar Ra’ad: 11)

PADAHAL

مَا dalam ayat di atas secara bahasa adalah isim maushul yang berarti sesuatu, apa saja. Dalam kamus belum kita jumpai “ma” bermakna nasib.

Apalagi kalau kita terjemahkan seperti di atas, sungguh bertentangan dengan kenyataannya. Ada terjadi dalam

Kehidupan kita sehari-hari, misalnya orang tidak berusaha apa-apa untuk mendapatkan lekayaan tetapi tiba-tiba dia menjadi orang yang kaya, tanpa diduga-duga, dia mendapat hadiah dari seseorang, warisan berlimpah dan lain-lain.

Sebaliknya, ada orang yang berusaha siang dan malam dengan kerja keras banting tulang tetapi Allah tidak menghendakinya kaya. dan lagi pula itu bertentangan dengan rukun iman yang ke-enam, percaya kepada qadha dan qadar datang dari Allah.

Ilmu-ilmu alquran mengatakan bahwa ada sebagianAyat al-Qur’an adakalanya ditafsirkan dengan ayat lain.

Mari kita perhatikan ayat yang lain yang mirip dengan ayat ini, yaitu dalam Surat al-Anfal : 53

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya : Yang demikian itu (siksaan Allah) adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri (dengan berbuat maksiat) dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S. al-Anfal : 53)

“Yakni: Allah swt menganugerahkan ni’mat kepada penduduk Makkah dengan mengenyangkannya dari rasa lapar, memberi keamanan dari rasa takut, dan membangkitkan kepada mereka (Rasulullah) Muhammad saw . Kemudian mereka menerima ni’mat ini dengan meninggalkan syukur, mendustakan Rasulullah saw, dan mereka merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, sehingga Allah swt mencabut kembali ni’mat-Nya dan menimpakan azab atas mereka. Assidi berkata: (yang dimaksud) ni’mat Allah (di sini) adalah Muhammad saw. Allah memberikan ni’mat Rasulullah Muhammad atas kaum Quraisy, kemudian mereka memungkiri dan mendustakannya. Kemudian Allah memindahkannya kepada kaum Anshar. (Tafsir Khazin)

Tafsir Khazin mengatakan:

“Dan Firman Allah (sesungguhnya Allah tidak merubah sesuatu ............ dari suatu kaum); ayat ini ditujukan kepada ‘Amir bin Thufail dan Arbad bin Rabi’ah, yakni tidak merubah sesuatu dari kesehatan dan ni’mat yang telah diberikan kepada mereka, (sehingga mereka merubah apa yang ada pada mereka sendiri); yakni dari tingkah-tingkah yang baik kemudian mereka berma’siat kepada Tuhannya, dan mereka mendustakan ni’mat-ni’mat-Nya atas mereka, sehingga halal murka Allah kepada mereka”.(Tafsir Khazin juz 4 halaman 4).

Apabila kita sesuaikan dengan maksud ayat 53 Surat al-Anfal di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa مَا pada perkataan مَا بِقَوْم adalah bermakna ni’mat, bukan berma’na nasib. Ini akan lebih jelas lagi apabila kita perhatikan ayat 11 Surat ar-Ra’d di atas secara lengkap, yaitu :

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

Artinya : Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah nikmat sesuatu kaum sehingga mereka merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Tafsir Jalalain mengatakan:
“(sesungguhnya Allah tidak merubah sesuatu ......... dari suatu kaum) Allah tidak mengambil kembali ni’mat-Nya dari mereka (sehingga mereka merubah apa yang ada pada mereka sendiri); yakni dari kelakuan-kelakuan yang baik dirubah menjadi kelakuan-kelakuan ma’siat”. (Tafsir Jalalain jilid II halaman 249).

KESIMPULAN
“Bahwasannya Allah tidak akan mengambil kembali ni’mat yang telah diberikan kepada seseorang kecuali jika orang itu sudah mendurhakai Allah, yakni tidak memakai ni’mat menurut semestinya sesuai dengan kehendak-Nya yang memberikan ni’mat itu”.

Untuk memperjelas tafsir ayat ini, Allah berfirman:

“Hal itu (terjadi) disebabkan karena Allah tidak merubah ni’mat yang telah diberikanNya kepada sesuatu kaum, kecuali jika kaum itu sudah merubah hal mereka sendiri (dari taat menjadi durhaka)”. (Al Anfal: 53)

Sabtu, 06 Agustus 2011

Pemahaman Ayat Al Yauma Akmaltu Lakum



Pemahaman Ayat Al Yauma Akmaltu Lakum

Ayat di bawah ini sering dipotong dan dipakai untuk menyalahkan amalan hasil ijtihad yang sudah menjadi tradisi yang sah. Golongan yang melakukan manipulasi ini tak bisa menerima pertemuan budaya yang sesungguhnya telah menyerap ajaran Islam dengan cara yang lebih lentur atau fleksibel. Mereka mengeksploitasi ayat-ayat al-Qur’an agar sesuai dengan misinya dengan dalih atas nama Allah dan RasulNya. Mereka menggunakan slogan “kembali ke al-Qur’an dan Hadis” berdasar pemahaman salaf, namun dalam kenyataannya mereka justru melecehkan atau memanipulasi syarah dari para ulama salaf rodhiyallahu anhum, terutama terhadap interpretasi dan syarah atas dalil hadis atau ayat yang tidak sejalan dengan propaganda mereka. Yang lebih buruk lagi, interpertasi atas ayat dan hadis yang ditunggangi oleh Yahudi mereka gunakan untuk menyerang atau menyesatkan saudara seiman. Naudzubillah min syururihim

حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم واخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم
“Di Haramkan Atas Kamu Sekalian memakan Bangkai, Darah, dan Daging Celeng/Babi, dan apa2 yang di persembahkan selain kepada Allah (tidak di sembelih dengan mengatasnamakan Allah) dan Hewan yang mati terjerat Lehernya, dan Hewan yang mati terpukul, dan Hewan yang mati karena jatuh, dan Hewan yang Mati sebab Berkelahi (“Gundangan” Jawa) dan Hewan yang di Mangsa Binatang Buas kecuali Hewan yang diburu dengan menggunakan Anjing, atau di gigit binatang Buas sebelum mati di sembelih, dan Hewan yang di sembelih untuk persembahan Berhala, Dan Kalian juga di Haramkan membuat keputusan dengan cara mengundi dengan anak panah. Perbuatan2 seperti tersebut adalah bentuk kefasikan. Pada Hari ini orangorang Kafir itu putus harapan terhadap Agama Kalian, maka janganlah Kalian takut dengan mereka, tapi takutlah dengan Aku (Allah), Pada Hari ini telah Aku sempurnakan Agama kalian dan menyempurnakan juga Nikmat Kalian, dan Aku Ridlo Islam adalah Agama Kalian, Barang siapa yang berada dalam keadaan Darurat (sehingga andai tidak segera makan bisa menyebabkan mati) ia di perbolehkan memakan apaapa yang di haramkan tadi asal memakan dengan sekedarnya, sesungguhnya Allah Maha Mengampuni dan Maha Berbelas Kasihan” (Ayat 3 surah Al Maidah)

Mungkin dengan membaca keseluruhan Terjemah Ayat di atas Anda sudah dapat menyimpulkan bahwa ayat tersebut tidak sedang membicarakan tidak bolehnya ada pembaharuan (inovasi) dalam Agama, tapi ayat itu sedang berbicara masalah makanan yang di haramkan Allah, tentang kemurahan yang di berikan kepada orang yang terpaksa, tentang Keputusasaan Kaum Kafir atas Agama Islam, serta tentang Kesempurnaan Islam dalam konteks sudah tersedianya Garis-garis Besar Haluan dalam Hidup dan BerAgama.

Namun untuk lebih meyakinkan Anda bahwa Para salaf juga sudah membicarakan Ayat tersebut dengan cara pandang yang lebih luas dan lebih dekat dengan Pemahaman yang sesungguhnya, dan karena yang menjadi Fokus pembahasan adalah penggalan ayat
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
maka saya tidak akan membahas arti setiap kalimat yang ada dalam Ayat di atas, namun akan lebih menitikberatkan pada tema utama pembahasannya. Mari kita pertama kali melihat sejarah yang melatarbelakangi di turunkannya ayat ini.

Sebab2 diturunkannya ayat ini seperti yang terdapat dalam Kitab Asbabu Al Nuzul oleh Imam Al Naysaburi adalah sebagai berikut keterangannya:
أسباب نزول الآية:
أَخرج ابن منده في كتاب الصَّحابة، من طريق عبد الله بن جبلة بن حبان بن أَبجر عن أَبيه عن جده حبان قال: كنَّا مع رسول الله صلى الله عليه وسلّم وأَنا أُوقد تحت قدر فيها لحم ميتة، فأَنزل تحريم الميتة فأَكفأَت القدر.

“Di keluarkan oleh Ibnu Mandah di dalam Kitab Al Shohabah, dari jalur ‘Abdullah bin Jablah bin Hibban bin Abjar dari Bapaknya dari Kakeknya Hibban mengatakan: Pada waktu itu Kita bersama2 Rasulullah dan saya sedang membakar Daging Bangkai di atas Periuk/Bejana, maka turunlah Ayat tentang keharamannya Bangkai, maka seketika saya balikkan bejana itu”

Dalam Tafsir Al Qurthubi al Jaami’ li Ahkaamil Quran juz 6 halaman 62 menjelaskan sebagai berikut ketika sampai pada penggalan ayat di atas :
وذلك أن النبيّ صلى الله عليه وسلّم حين كان بمكة لم تكن إلاَّ فريضة الصَّلاة وحدها، فلما قَدِم المدينة أنزل الله الحلال والحرام إلى أن حجّ؛ فلما حجّ وكمل الدين نزلت هذه الآية
“Hal itu sehubungan karena ketika di Makkah tidak di bicarakan Hukum2 kecuali seputar Shalat, namun setelah Beliau صلى الله عليه وسلّم sampai di Madinah dalam Hijrahnya Allah menurunkan Wahyu2 yang berkenaan dengan masalah Halal dan Haram sampai Beliau صلى الله عليه وسلّم melaksanakan Ibadah Haji. Nah setelah Hajji dan Sempurnalah Agama Islam itu, di turunkannyalah Ayat ini”

وقال الجمهور: المراد معظم الفرائض والتحليل والتحريم، قالوا: وقد نزل بعد ذلك قرآن كثير، ونزلت آية الربا، ونزلت آية الكلالة إلى غير ذلك، وإنما كمل معظم الدين وأمر الحج
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, bahwa yang dikehendaki (dengan ‘menyempurnakan’) adalah sebagian besar dari perkara yang fardlu, penghalalan dan pengharaman.

Mereka berkata: “Telah turun setelah itu (ayat) al Quran yang banyak. Dan turun (pula) ayat riba dan ayat kalalah. Adapun yang sempurna adalah sebagian besar (yang berkaitan dengan) agama dan masalah haji.”

Lalu apa arti kesempurnaan itu? Jika sudah sempurna, kenapa Harus Ada Ahli Fatwa semacam Syaih Muhammad Bin Abdul Wahab, Bin Baz, Utsaimin, Al Albani dll? Apakah di dalam Al Quran telah semuanya komplit di bicarakan Hukum2nya? Mereka mengatakan Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu Wata’ala memberitakan bahwa agama Islam adalah agama yang telah sempurna. Artinya telah sampai pada tingkatan paripurna. Tidak butuh lagi terhadap penambahan dan pengurangan, relevan di setiap keadaan dan zaman tanpa butuh revisi dan koreksi. Karena memang agama ini turun dari Pencipta dan Pengatur alam semesta, yaitu Allah Subhanahu Wata’ala Dzat Yang Maha Sempurna.

Lalu kenapa Nabi tidak mengatakan adanya Pembagian Bid’ah menjadi Lughawy dan Isthilakhy, atau Dunia dan Agama, atau Majazy dan Haqiqy? Atau menegaskan Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah secara tersurat dan gamblang?

Dan ternyata Atsar Sahabat berbicara apa yang di maksud “Akmaltu Lakum Dinakum” itu seperti yang terekam dalam atsar Sahabat dan di nuqil dalam Tafsir Al Thobary adalah :

حدثنا ابن وكيع قال، حدثنا يحيى بن أبي غَنِيَّة، عن أبيه، عن الحكم:”اليوم أكملت لكم دينكم”، قال: أكمل لهم دينهم: أن حجوا ولم يحجَّ معهم مشرك.
“Pada Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu Agamamu” Al Hakam mengatakan yang di maksud adalah Agama Mereka (Para Sahabat) telah di sempurnakan dengan Pelaksanaan Haji Mereka yang tidak di campuri oleh Orang2 Musyrik”

Ingat sebelum Fathu Makkah yang Haji di Baytullah al Haram itu justru lebih banyak dari Agama Yahudi!!! Dan setelah Fathu Makkah ada undang2 baru yaitu tidak di perbolehkannya Orang2 Musyrik memasuki Masjidil Haram!!!!

Sekarang mari kita lihat Tafsir Ibnu Katsir (yang saya pernah melihat di sebuah milis di jungkir balikkan terjemahnya) sebagai berikut:

وقوله {ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱڎسْلَـٰمَ دِينًاۚ} هذه أكبر نعم الله تعالى على هذه الأمة حيث أكمل تعالى لهم دينهم، فلا يحتاجون إلى دين غيره، ولا إلى نبي غير نبيهم صلوات الله وسلامه عليه، ولهذا جعله الله تعالى خاتم الأنبياء وبعثه إلى الإنس والجن، فلا حلال إلا ما أحله، ولا حرام إلا ما حرمه، ولا دين إلا ما شرعه، وكل شيء أخبر به فهو حق وصدق لا كذب فيه ولا خلف كما قال تعالى: {وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْڕۚ} أي صدقاً في الأخبار، وعدلاً في الأوامر والنواهي، فلما أكمل لهم الدين، تمت النعمة عليهم ولهذا قال تعالى: {ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱڎسْلَـٰمَ دِينًاۚ} أي فارضوه أنتم لأنفسكم، فإنه الدين الذي رضيه الله وأحبه، وبعث به أفضل رسله الكرام، وأنزل به أشرف كتبه.

“Adapun penjelasan
 {ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱڎسْلَـٰمَ دِينًاۚ}
adalah: ini adalah Ni,mat besar yang Allah berikan kepada Ummat Islam sehubungan dengan telah disempurnakannya Agama ini, maka Ummat Islam tidak lagi membutuhkan Agama selain Agama Islam, dan tidak butuh lagi Nabi selain Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلّم, karena Allah telah menjadikan Beliau صلى الله عليه وسلّم sebagai penutup para Nabi dan Mengutusnya menyeluruh kepada Manusia dan Jin, maka yang dihalalkannya adalah halal dan yang diharamkannya adalah haram. dan tidak ada Agama (Yang di akui Allah) kecuali apa yang di Syari’atkan olehnya صلى الله عليه وسلّم , apa yang di Kabarkan Beliau صلى الله عليه وسلّم pasti nyata dan benar adanya, tidak berdusta dan tidak pula salah, seperti yang telah di sabdakan Allah
 وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدلا
(dan telah sempurna Kalimat2 Tuhanmu yang benar dan adil adanya) maksudnya adalah benar dalam pemberitaannya dan adil dalam perintah dan larangan-Nya. Maka ketika telah sempurna Agama mereka, sempurna pulalah Ni'mat Allah kepada mereka, dengan alasan inilah ayat di atas di turunkan, dengan maksud menfardhukan apa yang di fardhukan kepadamu, Allah Meridhhai mereka semua Radliyallahu ’anhum karena Agama inilah yang di sukai Allah, karena itu Allah mengutus Yang Paling Utama2nya Utusan untuk membawakan Agama ini, dan Allah menurunkan Kitab-Nya kepada Beliau صلى الله عليه وسلّم .

وقال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس قوله {ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} وهو الإسلام، أخبر الله نبيه صلى الله عليه وسلّم والمؤمنين أنه قد أكمل لهم الإيمان، فلا يحتاجون إلى زيادة أبداً، وقد أتمه الله فلا ينقصه أبداً، وقد رضيه الله فلا يسخطه أبداً

“Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas yang di maksud PADA HARI INI TELAH AKU SEMPURNAKAN UNTUKMU AGAMAMU adalah Agama Islam, Allah memberitahukan hal itu kepada Nabi صلى الله عليه وسلّم dan Orang2 Mukmin bahwa sesungguhnya Allah telah menyempurnakan Iman mereka, maka tidak lagi butuh di tambah2 selamanya, dan Allah telah mematangkan Ni,matNya, maka tiada lagi akan berkurang selamanya, dan Allah telah meridhai mereka, maka tiada lagi Kemurkaan untuk selamanya”

Sementara dalam Tafsir Razy ada keterangan yang lebih terperinci dan sangat jelas sekali sebagai berikut:

وفيه مسائل:
المسألة الأولى: في الآية سؤال وهو أن قوله {ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} يقتضي أن الدين كان ناقصاً قبل ذلك، وذلك يوجب أن الدين الذي كان صلى الله عليه وسلّم مواظباً عليه أكثر عمره كان ناقصاً، وأنه إنما وجد الدين الكامل في آخر عمره مدة قليلة.

Dalam ayat ini ada beberapa pertanyaan:

Masalah pertama: perlu di pertanyakan maksud ayat ini bahwa Sabda Allah “Telah Aku sempurnakan bagimu Agamamu” mengindikasikan Kekurangan/kecacatan Agama sebelum turunnya ayat ini , dan Agama yang telah di jalankan Oleh Nabi pada sebagian besar Umurnya itu Naqish, karena pada kenyataannya Kesempurnaan Agama (setelah turunnya Ayat) baru di capai dalam sisa hidupnya yang sedikit.

واعلم أن المفسرين لأجل الاحتراز عن هذا الاشكال ذكروا وجوهاً:
الأول: أن المراد من قوله {أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} هو إزالة الخوف عنهم وإظهار القدرة لهم على أعدائهم/ وهذا كما يقول الملك عندما يستولي على عدوه ويقهره قهراً كلياً: اليوم كمل ملكنا، وهذا الجواب ضعيف لأن ملك ذلك الملك كان قبل قهر العدو ناقصاً.
الثاني: أن المراد: إني أكملت لكم ما تحتاجون إليه في تكاليفكم من تعلم الحلال والحرام، وهذا أيضاً ضعيف لأنه لو لم يكمل لهم قبل هذا اليوم ما كانوا محتاجين إليه من الشرائع كان ذلك تأخيراً للبيان عن وقت الحاجة، وأنه لا يجوز.
الثالث: وهو الذي ذكره القفال وهو المختار: أن الدين ما كان ناقصاً، البتة، بل كان أبداً كاملاً، يعني كانت الشرائع النازلة من عند الله في كل وقت كافية في ذلك الوقت، إلا أنه تعالى كان عالماً في أول وقت المبعث بأن ما هو كامل في هذا اليوم ليس بكامل في الغد ولا صلاح فيه، فلا جرم كان ينسخ بعد الثبوت وكان يزيد بعد العدم، وأما في آخر زمان المبعث فأنزل الله شريعة كاملة وحكم ببقائها إلى يوم القيامة، فالشرع أبداً كان كاملاً، إلا أن الأول كمال إلى زمان مخصوص، والثاني كمال إلى يوم القيامة فلأجل هذا المعنى قال: {ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} .

Ketahuilah demi kehati2an, Para Ahli, tafsir dalam menyikapi Kemusykilan ini, mempunyai beberapa pandangan:

Yang di maksud “Telah aku sempurnakan Bagimu Agamamu” adalah hilangnya rasa takut dan tampaknya kekuatan atas para musuhnya. Pandangan seperti ini selaras dengan ketika raja telah menguasai musuh2nya di katakana telah sempurna kekuasaan penguasa itu dengan penaklukan. Pandangan seperti ini lemah, karena jika begitu berarti sebelum adanya penaklukan atas musuh2nya Kerajaan itu masih kurang (Naqish). Yang dimaksud adalah ketercukupannya ayat2 Taklif (Pembebanan) dalam masalah halal dan haram. Pandangan seperti ini juga Lemah Argumen, karena jika ketercukupan itu hanya bisa di capai pada hari itu, bagaimana akan bisa mencukupi kebutuhan pengamalan Syari’at pada masa lalunya? Sedangkan kebutuhan untuk mengamalkan ajaran Agama tidak terbatas pada hari itu saja. Ini adalah pendapat terpilih yang di sampaikan oleh Al Qaffal, Selamanya Agama itu tidak akan Kurang dan terpotong2, tetapi selamanya dalam keadaan Sempurna, artinya Syari’at yang di turunkan pada saat itu telah menyempurnakan kebutuhan pada waktu itu juga, hanya saja Allah yang Maha Tahu tentu tahu juga pada saat pertama kali Syari’at itu di turunkan pasti bersesusaian dengan kebutuhan pada saat itu yang tidak akan selaras dengan kebutuhan hari esok, maka tidak salah jika ada suatu penetapan hukum yang kemudian di hapus setelah di tetapkan atau di tambah setelah tidak tercantum. Adapun Pada Akhir Zaman ini Allah telah menurunkan Syari’at yang sempurna dan akan selalu eksis sampai hari qiyamat. Syari’at yang pertama itu sempurna menurut ukuran zamannya, dan yang kedua menyempurnakan untuk segala zaman, maka sehubungan dengan hal ini ayat “Telah aku sempurnakan bagimu Agamamu” ini di turunkan.

المسألة الثانية: قال نفاة القياس: دلت الآية على أن القياس بالطل، وذلك لأن الآية دلت على أنه تعالى قد نص على الحكم في جميع الوقائع، إذ لو بقي بعضها غير مبين الحكم لم يكن الدين كاملاً، وإذا حصل النص في جميع الوقائع فالقياس إن كان على وفق ذلك النص كان عبثاً، وإن كان على خلافه كان باطلاً.

Masalah yang kedua: Bantahan Para penganut tidak adanya Qiyas (salah satu Imam Madlhab yang menolak Qiyas yang saya ketahui adalah Imam Madlhab Abu Dawud al Dhahiri) dalam masalah Agama mengatakan: Ayat ini menunjukkan bahwa Qiyas itu adalah Hal yang Bathil. Karena dengan jelas ayat ini menunjukkan tercakupnya semua hukum waqi,iyyah, andai dalam Agama itu ada satu saja hokum yang tertinggal penjelasannya, itu menunjukkan Kekurangan Agama itu sendiri, jika qiyas yang di hasilkan itu bersesuaian dengan Nash2 itu sama saja Qiyas itu tidak ada artinya, jika Qiyas itu ternyata tidak sesuai dengan Nash, maka Qiyas itu menjadi Batal.

أجاب مثبتو القياس بأن المراد بإكمال الدين أنه تعالى بيّن حكم جميع الوقائع بعضها بالنص وبعضها بأن بين طريق معرفة الحكم فيها على سبيل القياس، فإنه تعالى لما جعل الوقائع قسمين أحدهما التي نص على أحكامها، والقسم الثاني أنواع يمكن استنباط الحكم فيها بواسطة قياسها على القسم الأول، ثم أنه تعالى لما أمر بالقياس وتعبد المكلفين به كان ذلك في الحقيقة بياناً لكل الأحكام، وإذا كان كذلك كان ذلك إكمالاً للدين
Jawaban dari Penganut adanya Qiyas demikian: Kesempurnaan Agama yang di maksud adalah Allah telah menjelaskan segala kejadian itu terkadang dengan Nash yang jelas, dan terkadang untuk bias mengetahui Hukum2 Kejadian itu dengan cara Qiyas. Allah Ta’ala membuat sebuah kejadian itu dengan 2 cara, ada yang dengan mendapat Nash yang jelas, dan ada yang dengan jalan menarik kesimpulan dari Nash yang jelas tadi. Nah maka ketika Allah membuat metode Qiyas, kemudian Para Mukallaf beribadah dengan berdasarkan Qiyas tadi, itu sama artinya dengan pernyataan akan kesempurnaan Agama itu sendiri.

Keterangan yang bersumber dari Kitab Tafsir Ruhul Bayan sebagai berikut:

{ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} بالنصر والإظهار على الأديان كلها أو بالتنصيص على قواعد العقائد والتوقيف على أصول الشرائع وقوانين الاجتهاد {وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى} بالهداية والتوفيق أو بإكمال الدين والشرائع أو بفتح مكة ودخولها آمنين ظاهرين وهدم منار الجاهلية ومناسكها والنهي عن حج المشركين وطواف العريان {وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱڎسْلَـٰمَ دِينًاۚ} أي: اخترته لكم من بين الأديان وهو الدين عند الله لا غير
“Telah Aku sempurnakan Bagimu Agamamu dengan Pertolongan dan menyemarakkan Agama itu mengalahkan Agama2 yang lain. Atau dengan Nash2 Kaidah Keimanan dan selesainya Garis2 besar Syari’at dan kodefikasi Ijtihad, Dan telah Aku Sempurnakan Untukmu Nikmatku dengan petunjuk dan Anugrah, atau dengan Kesempurnanaan Agama dan Syari’at, atau dengan di bukanya Makkah dan memasukinya dengan aman serta semarak, dan merubuhkan tonggak kejahiliahan dan tata cara peribadatannya. Dan pelarangan orang2 Musyrik untuk berhajji, dan thowaf dengan telanjang, Dan Aku Ridlo Islam sebagai Agamamu maksudnya Allah telah memilihkan Agama untuk kalian dari sekian Agama yang ada, Islamlah Agama satu2nya menurut Allah, tidak yang lain.
Dari beberapa Penafsiran di atas maka اليوم أكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا

Terjemahnya adalah:
pada hari ini sudah aku lengkapkan bagimu agamamu, dan aku sempurnakan atasmu ni’mat dariku serta aku restui bagimu islam sabagai agama (q. s Al- Ma-idah 53)

Berdasar atas ayat ini kiranya dapat dimengerti bahwa yang tersedia bagi umat islam berkenaan dengan agamanya tidak perlu lagi berijtihad yang mengakibatkan perbedaan pendapat karena sebagaimana ditegaskan dalam ayat diatas segala sesuatu yang berkenaan dengan agama sudah disempurnakan adanya atau dengan bahasa kita. Agama sudah (sempurna) dan paripurna. Selain dinyatakan dalam surat Al-Ma’idah tadi dalam ayat lain juga disebutkan bahwa dalam Al-Qur’an tersedia penjelasan untuk segala hal.
ونزلنا عليك الكتاب تبينا لكل شيئ
Artinya: dan kami turunkan kepadamu al-qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu (Q.s Al-Nahi Ayat 89 juz 14)

Untuk melepaskan diri dari pertanyaan yang dikatomis tadi ada hal yang dapat kita sepakati:

1.Kesempurnaan Al-Qur’an sebagaimana ditegaskan diatas bukanlah tatanan texnis yang bersifat detail, terperinci dan juz’iyahnya melainkan tatanan yang prensifil dan foundamental.

2.Ajaran-ajaran prinsipil yang dimaksud dalam al-qur’an selaku kitab suci agama adalah sepiritualitas dan moral ajaran mana yang baik dan yang buruk untuk kehidupan manusia sebagai hamba allah yang beraqal budi sebagai acuan moral dan etika yang bersifat dasariyah. Al-Qur’an sepenuhnya sempurna tidak kurang satu apa. Adapun yang muncul dalam manusia yang dinamis dan terus berubah bisa dicarikan jawabannya dari sudut moral dengan mengembalikan pada ajaran Al-Qur’an yang prinsipil tadi inilah yang dimaksud dengan Al-Qur’an merupakan kitab yang sempurna yang menjelaskan segala hal. Jadi jangan ssekali-kali kita bayangkan bahwa kesempurnaan Al-Qur’an terus dibuktikan dalam kemampuannya menjawab pertanyaan juz’iyah apalagi yang bersifat texnis operasional

Lagi pula penjelasan moral atau etika yang tersedia tidak selalu terapan pada semua kasus etika yang terjadi dalam kehidupan kita, karena Al-Qur’an bukan kamus Ensiklopedia sehingga untuk menagkap petunjuk Al-Qur’an atas persoaan-persoalan etika yang kita hadapi dalam kehidupan nyata terlebih dulu kita mengenal prinsip-prinsip universal yang dicanangkannya. Ikhtiyar menyambungkan prinsip ajaran yang bersifat universal pada kasus-kasus kehidupan yang juz’iyah itulah disebut ijtihad yang terus dipukul dengan ketajaman nalar dan kejujuran hati manusia sebagai hambanya. Dan hasil ijtihad (sebagai proses intlektual untuk menurunkan ketentuan Universal pada kasus-kasus yang bersifat partikular sekaligus kerangka texnis operasional nya) itulah yang disebut fiqh. Seringnya terjadi perbedaan pendapat para intlektual tersebut karena dipengaruhi beberapa faktor .

a.Ajaran agama yang dicanangkan dalam Al-Qur’an atau Al-Hadits ada yang qoth’i ajaran yang bersifat prinsip dan absolut dan tidak dapat ditawar lagi sebagaimana kewajiban Shalat sewaktu puasa Rhomadlon dan lain-lainnya. Dalam hal ini tidak mungkin ajaran yang bersifat juziyah (Partikular) dan oprasional yang masih mungkin di interpretasikan denagn berbagai ma’na contoh dalam ayat Al-Qur’an disebutkan:

حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير ” الأية” (المائدة أية 3)

Dalam ayat ini jelas sekali Allah mengharamkan darah dan daging babi namun tidak jelas dari berbagai hal:

Pertama: apa arti maytah itu sendiri sehingga terjadi perbedaan apa tulang dan bulu itu termasuk bagian maytah sebagaimana yang dikemukakan pendapat Syafi’I atau bukan? Sebagaimana pendapat hanafi atau tulang tergolong maytah sedangkan rambut bukan maytah, perbedaan ini muncul karena perbedaan tentang apa itu arti hidup? Imam Syafi’i berpendapat bahwa hidup adalah berkembang dan menerima makanan lain halnya dengan imam hanafi beliau berpendapat bahwa yang dikatakan hidup adalah anggota yang dapat merasakan sesuatu, demikian pula dengan imam malik hanya saja beliau berpendapat tulang dapat merasakan sesuatu.

Setelah mereka sepakat bahawa rambut yang terlepas dari hayawan yang halal untuk dimakan dagingnya ketika masih hidup tergolong barang yang suci setelah ia sepakat bahwa setiap sesuatu yang lepas dari hayawan yang masih hidup adalah maytah, karena ada suatu hadits:

ما قطع من البهيمة وهي حية فهو ميتة

Artinya : sesuatu yang lepas dari hayawan yang hidup termasuk dari pada bangkai

Kedua : mengenai sesuatu yang lepas dari hayawan yang masih hidup termasuk bangkai apakah khusus apa segala penggunaan karena kata-kata hewan hanya hanya berlaku pada kata kerja bukan kata benda.

Yang ketiga : bangkai apa saja yang diharamkan?
Contoh lagi dalam kitab al-Qur’an disana disebutkan :

اذا قمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم ……الأية المائدة 6

Dalam ayat ini jelas sekali bahwa orang yang akan melakukan Shalat secara ayat disana ada tuntutan untuk melaksanakan wudlu namun kurang jelas dalam berbagai segi :
Segi pertama : apa arti Shalat itu sendiri ? dan apakah Shalat jenazah termasuk pada Shalat yang ada dalam kata Shalat yang berada dalam ayat diatas karana dalam Shalat jenazah disitu tidak terdapat ruku’ dan sujud, padahal Rasululloh pernah bersabda :
صلوا كما رأيتموني اصلي

Artinya : Shalatlah kalian semua sebagaiman kalian mengetahui aku Shalat.
Sedangkan Shalat yang kita ketahui dari Rasululloh adalah Shalat yang ada ruku’ dan sujudnya sebagaiman apa yang telah sitegaskan dalam al-Qur’an :
واركعوا مع الراكعين….. البقرة 43

Demikian halnya dengan masalah thowaf apakah juga harus suci dari hadats karena ada hadits yang diceritakan oleh Imam turmudzi yang mengatakan :

الطواف بالبيت صلاة الا ان الله احل فيه الكلام

Segi kedua : perintah wudlu’ dalam ayat diatas ini semata-mata hanya menjadi sarana Shalat sehingga tidak perlu niyat sebagaimana pendapatnya imam Hanafi, karena berbeda dengan menutup aurot ataukah memang wudlu’ termasuk iabadah yang diperintahkan bukan hanya menjadi sahnya Shalat saja terbukti walau masih belum hadats orang akan Shalat tetap diperintahkan wudlu’ maka harus niat karena termasuk dalam ayat :

وما امروا الا ليعبد الله مخلصين له الدين………حنفاء

b. Karena berbeda menentukan ajaran qath’iy dan dzonni sebagaiman dilakukan satu jama’ah jum’ah dalam satu balad tanpa ada hajad mulai zaman Rasul sampai pada orang-orang yang lemah yang merasa kesulitan untuk mendatangi pada jama’ah tsb. Dan didukung dengan penuh perhatian Rasul pada kaum-kaum yang lemah . Ini berarti hal yang qath’iy dan tidak dapat ditawar lagi tapi juga mungkin karena jama’ah Rasul dianjurkan satu jama’ah karena untuk mendengarkan wahyu darinya, sedangkan ada zaman shahabat hanya du hawatirkan adanya fitnah sehingga jika acuab siatas taelah tiada maka tidak ada masalah jum’atan lebih dari pada satu jama’ah, berarti ajaran tersebut dikategorikan dzonni. Demikian pula ada perbedaan penelitiian dzonni dan qath’iy adanya imam harus seorang pria.

c. Berbedanya situasi dan kondisi umat sebagaimana yang terjadi dalam menentukan ajaran agama diantara intelektual Hijaz dan intelektual Irak, bagi hijaz telah mempertahankan teks hadits dan fatwa shahabat dan bagi intelektual irak lebih mengedepankan esensi dari pada teks dengan dirasionalkan dan mempertahankan dari pada tujuan syareat, contoh saja dalam hadits
ان في كل اربعين شاة شاة وان صدقة الفطر صاع من تمر او شعي وان من الشاة المصراة بعد اجتلاب لبنها رد معها صاعا من تمر

Intelektual Irak memahami hasits diatas dengan rasional dan disesuaikan dengan tujuan syari’at yaitu bagi pemilik 40 kambing harus memberi santunan pada fuqora’ dengan satu kambing atau yang senilai. Orang yang mengeluarkan zakat fithrah, wajib satu sha’ kurma atau yang senilai, air susu yang telah diperas harus diganti dengan sesamanya atau yang senilai, berbeda dengan intelektual tanah Hijaz mereka memahami teks tersebut dengan apa adanya tanpa meniggalkan syareat oleh karenannya mereka mengharuskan mengeluarkan kambing dan juga khusus dengan sho’, tidak diperbolehkan mengeluarkan dengan nilai dari barang tersebut

Hal ini dipengaruhi setidaknya tiga hal yaitu :
>>Hadits dan fatwa shahabat yang diterima oleh para intelektual Irak tidaklah sebanyak apa yang diterima oleh para intelektual Hijaz.

>>Situasi dan kondisi di Irak telah tersebar beberapa fitnah karena negara tersebut telah menjadi pangkalan pelarian orang-orang syiah dan khowarij sehingga banyak pemalsuan hadits atau perubahan sehingga sangat perlu adanya selektif yang sangat ketat yang berakibat pada sangat minimnya hadits yang lulus sensor.

>>Lingkungan di Irak tidak sama dengan lingkungan di Hijaz, ketegasan hukum dan kasus juga tidak sama, karena pemerintah Paris telah meninggalkan beberapa adat istiadat dan muamalah yang tidak ada pada tanah Hijaz

4. Karena berbedanya cara memberi pertimbangan pada hadits dan mengedepankan satu riwayat yang lain. Misalnya Abu Hanifah dan para pengikutnya telah membuat dasar hukum dengan hadits mutawatir dan masyhur dan mengedepankan hadits yang tidak diriwayatkan oleh para intelektual agama, oleh karenya Abu yusuf berkata :

وعليك بما عليه جماعة من الحديث وما يعرفه الفقهاء
Artinya : Anda harus mengambil hadits yang telah didukung oleh golongannya ulama’ dan telah diketahui oleh para intelektual agana.

Sedang Imam Malik dan para shahabat dan pengikutnya lebih mengedepankan apa saja yang menjadi keputusannya ahli Madinah dan tidak memakai hadits Ahad yang berbeda dengan keputusan Ahli Madinah. Untuk mujtahid lain telah mengambil hadits ysng diriwayatkan orang-orang adil baik intelektual atau bukan, identik dengan fatwa Ahli Madinah atau tidak. Dari faktor ini kan berkembang bahwa intelektual Irak seperti Abu Hanifah telah membuat keputusan bahwa Hadits Masyhur sama dengan hadits mutawatir ampu mentakhsis dalil al-Qur’an yang masih umum, dan mampu mengqoyidi dalil yang mutlak, berbeda dengan intelektual yang lain.

5. Karena berbeda memberi pertimbangan fatwa shahabat yang hasil dari ijtihad mereka, Abu Hanifah dan santrinya telah menggunakan dasar hukum atas keputusan shahabat walau hasil ijtihad bagi Syafi’i serta pengikutnya menganggap bahwa hasil ijtihad shahabat tidak ma’sum (ada jaminan kebenaran) maka perlu ijtihad sendiri walau hasilnya berbeda dengan hasil ijtihadnya shahabat.

6. Karena menanggapi dasar-dasar yang timbul karena gramatika (susunan bahasa) sebagaimana yang berpendapat bahwa teks dapat dijadikan dasar penetapan dalam dalil mantuq (bahasa nyata) dan mengantarkan keputusan dalam dalil mafhum mukhalafahnya (asumsi yang terkandungnya) sebagian tidaklah demikian, ada yang berpendapat dalil yang masih umum maka qath’iy dalam semua yang dimuat, sebagian lain ada yang berpendapat dzonni (dugaan) dan jika ada amar mutlaq berarti menunjukkan dasar hukum wajib kecuali ada dalil yang merubahnya, sebagian malah justru sebaliknya masih banyak. Masih banyak lagi fakyor-faktor yang mengakibatkan berbeda pendapat yang tidak mungkin disebutkan disini dengan keseluruhan.

Nah kiranya lebih dari cukup tulisan di atas untuk membongkar sarang kutu busuk yang mencoba menutupi otak kaum muslimin selama ini, sehingga tiada lagi kata basi yang menydutkan, melecehkan, dan merendahkan peran Ulama untuk berintraksi dengan budaya sekitarnya. Kita tentu masih teringat dengan jasa imam Syafi’i manakala manusia telah berani menyimpulkan, mengartikan, menafsirkan dan menyimpulkan Nash2 suci itu dengan seenak sendiri, Beliau telah berhasil meminimalir itu semua dengan di ciptakannya sebuah rumusan metode berijtihad yang tentu saja pada Zaman Nabi dan Sahabat tidak ada, yaitu apa yang di sebut Ushul Fiqih. Rumusan Ushul Fiqih itu telah di pakai oleh Para Pakar generasi berikutnya, karena belum pernah ada yang mampu menyaingi ketelitian Rumusan Beliau Radliyallahu ‘anhu.

Edit dari Source : http://warkopmbahlalar.com/ayat-yang-di-perkosa-salafi-wahabi.html#comment-346

Sabtu, 09 Juli 2011

Hukum Penggunaan Ilmu Hisab dan Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal



Para ulama dalam menggunakan sarana untuk menentukan awal dari bulan Ramadhan dan Syawal. Sebagian ulama memilih rukyah, sebagian lagi memilih hisab, dan ada pula yang menggabungkan antara rukyat dan hisab. Dalam rukyah sendiri masih terbagi menjadi beberapa aliran, sebagaimana dalam hisab juga terdapat beberapa aliran. Khusus untuk ilmu hisab, ada sebagian ulama yang menganggap bahwa penggunaan ilmu hisab dalam menentukan waktu-waktu ibadah, termasuk juga penentuan awal Ramadhan diharamkan. Tentunya ini berdasarkan dari pemahaman mereka terhadap berbagai dalil naqli yang dijadikan sebagai sandaran bagi ijtihad mereka.

Prinsip wilayatul hukmi adalah salah satu dari paham fikih. Menurut imam Hanafi dan Maliki, penanggalan Qamariyah harus sama di dalam satu wilayah hukum suatu negara; inilah prinsip wilayatul hukmi. Sedangkan menurut imam Hambali, kesamaan tanggal Qamariyah ini harus berlaku di seluruh dunia, di bagian bumi yang berada pada malam atau siang yang sama. Sementara itu, menuru imam Syafi’i, penanggalan Qamariyah ini hanya berlaku di tempat-tempat yang berdekatan, sejauh jarak yang dinamakan mathla’. Inilah prinsip mathla’ madzhab Syafi’i.

Dalil Tidak Diperbolehkannya Menggunakan Ilmu Hisab

1. Dalil Naqli

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Artinya: Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Berpuasalah karena kamu melihat hilal, dan berbukalah karena kamu melihat hilal. Jika kamu terhalang oleh kabut, maka sempurnakanlah jumlah bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari)

Wajhu al-Dilâlah
Secara jelas hadis di atas menerangkan kepada kita bahwa untuk menentukan awal bulan Ramadhan atau Syawal adalah dengan rukyah. Jika tidak dapat rukyah karena langit terhalang mendung, umat Islam cukup menyempurnakan bilangan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ

Artinya: Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi yang tidak dapat menulis dan menghitung. Jumlah bulan ini seperti ini dan seperti ini dan seperti ini, maksudnya, satu bulan terkadang jumlahnya dua puluh sembilan hari dan kadang kali tiga puluh hari”.

Wajhu al-Dilâlah
Hadis di atas menerangkan bahwa umat Islam adalah umat yang tidak dapat membaca dan menghitung. Untuk itu sebagai sarana termudah terutama untuk mengetahui awal bulan adalah dengan cara rukyah.

َقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Artinya: Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kalian semua berpuasa sehingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal. Jika hila tertutup awan, maka hitunglah bulan itu”.

Wajhu al-Dilâlah
Hadis di atas dapat dipahami bahwa puasa dilarang sebelum hilal benar-benar dapat dilihat. Dalam hadis di atas menggunakan huruf lâm nahiy yang berarti larangan. Sementara dalam kaidah ushuliyyah dikatakan: Larangan menunjukkan makna haram, kecuali jika terdapat indikasi. Imam al-Sindi memberikan catatan bahwa dengan hadis ini menerangkan haramnya puasa sebelum melihat hilal dan tidak ada kewajiban puasa sebelum hadirnya hilal.

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Artinya: “Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada dibulan itu, maka berpuasalah.” (QS. Al-Baqarah :185)

Wajhu al-Dilâlah
Ayat di atas dapat dipahami bahwa setiap orang Islam yang menyaksikan hilal pada bulan Ramadhan, maka umat Islam sudah diwajibkan berpuasa.

2. Dalil Aqli

Puasa adalah ibadah, sebagaimana shalat dan haji. Sementara waktu ibadah sudah ada keterangannya yang jelas dari Syariat. Dengan demikian, menggunakan ilmu hisab dalam hal yang berkaitan dengan ibadah tidak dibenarkan.

Syarat sahnya rukyat:

1. Dilaksanakan saat keadaan udara cerah dan tidak ada penghalang apapun (faktor-faktor lain yang menyebabkan tidak dimungkinkan bulan terlihat)
2. Harus diperhitungkan juga tempat yang digunakan untuk melihat dan mengamatinya. Begitu juga diperhitungkan ketinggian tempat tersebut.
3. Orang yang melihat harus orang yang adil, sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Syari’at.
4. Matanya harus dalam keadaan sehat.
5. Dia harus orang yang sudah terlatih di dalam masalah ini, paling tidak dia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
6. Tidak dipengaruhi faktor-faktor kejiwaan yang mengganggu proses pengamatan.


Dalil Diboleh Menggunakan Ilmu Hisab

1. Dalil Naqli
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji". (QS. Al-Baqarah:189)

Wajhu al-Dilâlah
Ayat di atas menunjukkan bahwa perputaran bulan merupakan petunjuk dari waktu ibadah haji dan juga ibadah lainnya.


هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Artinya: "Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui." (QS. Yunus: 5)

Wajhu al-Dilâlah
Ayat di atas menunjukkan bahwa peredaran matahari dan bulan dapat dijadikan pedoman bagi umat manusia untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ َ

Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka berpuasalah.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Wajhu al-Dilâlah
شَهِدَ dalam bahasa Arab memiliki empat makna:

1. أخبر (memberikan informasi)
شهد أعرابي عند رسول الله بأنه أهل الهلال بالأمس
“Salah seorang pedalaman memberikan informasi kepada Rasulullah bahwa dia melihat hilal kemarin.”

2. أطلع علي الأمر و عنايته (melihat sesuatu)
شهدت فلانا يصلي في المصلى
“Aku melihat si fulan shalat di masjid.”

3. حضر (Menghadiri)
شهدنا العيد
“Kami menghadiri shalat Id.”

4. علم (menyatakan atau mengetahui)
شهد الله أنه لا إله إلا هو
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia.”

Dalam ayat di atas boleh digunakan empat makna tersebut secara keseluruhan, atau juga bisa satu dari empat makna tadi. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengkalim bahwa makna شَهِدَ adalah menyaksikan saja dengan mengabaikan makna lainnya.

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Artinya: Nabi bersabda: “Berpuasalah karena kamu melihat hilal, dan berbukalah karena kamu melihat hilal. Jika kamu terhalang oleh kabut, maka sempurnakanlah jumlah bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari”.

Wajhu al-Dilâlah
الرأية memiliki beberapa makna

1. العلم بالشئ (mengetahui sesuatu)
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
Artinya: "Apakah kamu (Muhammad) tidak mengetahui bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara gajah.” (QS. Al-Fil:1)

2. التقدير العقلي (perkiraan dengan akal pikiran)
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى
Artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" (QS. Al-Shâffât:102).

3. الحسابات العلمية البحتة و التجارب المعملية (perhitungan secara ilmiah dan eksperimen di laboratorium)
وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
Artinya: “Dan orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Saba: 6)

4. البصر (melihat dengan mata)
وَأَلْقِ عَصَاكَ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّى مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ يَا مُوسَى لَا تَخَفْ إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ
Artinya: “’Dan lemparkanlah tongkatmu’. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh".Hai Musa, janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.” (QS. Al-Naml:10)

5. التذكير (mengingatkan sesuatu)
قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا
Artinya: “Muridnya menjawab: 'Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali'". (QS. Al-Kahfi:63).

6. الرؤيا المنامية (bermimpi)
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: 'Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!'". (QS. Al-Shâffât:102).

Jika kita lihat, bahwa penggunaan kata الرأية di atas, memiliki berbagai makna tergantung dari konteks ayat tersebut. Hanya saja yang perlu dipahami adalah bahwa kita tidak dapat mengikat makna الرأية pada satu makna saja mana, yaitu melihat dengan mata telanjang, kecuali dalam konteks nas terdapat indikator yang menunjukkan kepada makna tersebut. Sementara perintah الرأية dalam menentukan awal Ramadhan atau Syawal, tidak terdapat satu pun indikator yang hanya menunjukkan pada satu makna saja, yaitu melihat dengan mata. Dengan demikian, الرأية bisa berarti melihat dengan mata, atau juga melihat dengan menggunakan akal pikiran. Penggunaan ilmu hisab untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal pada hakikatnya adalah bagian dari rukyah. Hanya ia bukan rukyah dengan mata telanjang, namun rukyah dengan ilmu pengetahuan.

َقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Rasulullah Saw. Bersabda: “Janganlah kalian semua berpuasa sehingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal. Jika hilal tertutup awan, maka hitunglah bulan itu”.

Wajhu al-Dilâlah
Dalam hadis di atas dikatakan bahwa jika pada akhir Sya'ban langit terhalang sesuatu, maka Rasulullah memerintahkan kita untuk menghitung bilangan pada bulan tersebut. Kata فَاقْدُرُوا oleh imam Ibnu hajar dan imam Ahmad diartikan sebagai hitungan (فحسبوه).
Menurut Ibnu Qudamah, فَاقْدُرُوا (ukurlah ia) mengandung makna:

1. fakmilu: sempurnakanlah hitungan 30 hari.
2. fahsibu: hisablah, lakukan perhitungan.
3. fadhayyiqu: ambillah yang singkat.

Hanya saja, arti harfiyah فَاقْدُرُوا yang merupakan arti paling tersurat dan paling generic adalah “ukurlah”, yaitu perintah untuk melakukan pengukuran. Makna ini berhubungan erat dengan kata yang sama di dalam surat Yunus ayat 5:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Artinya: "Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui." (QS. Yunus: 5)

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ

Artinya: Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi yang tidak dapat menulis dan menghitung. Jumlah bulan ini seperti ini dan seperti ini dan seperti ini, maksudnya, satu bulan terkadang jumlahnya dua puluh sembilan hari dan kadang kali tiga puluh hari”.

Wajhu al-Dilâlah
Hadis di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. Diutus di tengah-tengah orang yang tidak dapat membaca dan menghitung. Ini bukan berarti bahwa umat Muhammad Saw. adalah umat yang selamanya bodoh yang tidak pandai baca tulis. Perhitungan bulan yang sangat sederhana sebagaimana diberitahukan Rasulullah, memang sangat cocok untuk umat Islam masa itu. Hanya saja, hadis tersebut mengandung illah, yaitu tentang umat yang tidak dapat membaca dan menghitung. Dalam kaidah ushul dikatakan
الحكم يدور مع علته وجودا و عدما
Ketentuan hukum akan sangat bergantung kepada illah.

Jika illah tersebut telah hilang, maka hukum pun akan berubah. Demikian halnya dengan hadis di atas, mana kala umat Muhammad Saw. sudah dapat membaca dan menghitung, maka yang harus digunakan adalah perhitungan bulan dengan hitungan tersebut. Dengan kata lain, bahwa tidak menghisab bil ilmi itu dikarenakan tidak bisa, seandainya bisa maka metode hisab bil ilmi itu yang akan digunakan oleh Nabi Saw. untuk menetapkan kapan hadirnya hilal, atau dengan metode wujudul hilal. Itulah cara yang utama untuk menetapkan awal bulan itu. Karena keterbatasan fasilitaslah sehingga tidak memungkinkan untuk menggunakan metode ini pada saat itu. Maka Rasulullah Saw. memberikan sebuah solusi dengan cara melihat hilal fil fi’li/
bil aini. Sekaligus pernyataan Rasulullah tersebut menepis suatu anggapan bahwa Rasulullah Saw. Tetap tidak mau menggunakan hisab meskipun para sahabat pada saat itu orangnya pintar-pintar dan ilmu hisab itu sudah ada.

3. Dalil Aqli

1. Puasa adalah ibadah sebagaimana shalat dan haji. Waktu ibadah tersebut memang sudah ditentukan oleh Syariat. Hanya saja, sarana mengetahui waktu dapat berubah sesuai dengan perkembangan teknologi. Dengan demikian, menggunakan ilmu hisab untuk mengetahui waktu ibadah dibolehkan. Kenyataannya, seluruh ulama sepakat menggunakan ilmu hisab dalam menentukan waktu shalat. Puasa adalah ibadah seperti halnya shalat. Dengan demikian, menentukan awal bulan puasa juga dapat menggunakan ilmu hisab sebagaimana shalat.

2. Melihat hilal dengan menggunakan ilmu pengetahuan (ilmu hisab) menghasilkan nilai yang bersifat qath’i, sementara sesuatu yang qath’i harus lebih di dahulukan dari pada yang zanniy.

3. Rukyah dengan mata telanjang juga mempunyai kelemahan. Setidaknya, rukyah sangat bergantung pada psikis, fisik dan kondisi udara perukyah.

4. Selain awan yang dapat menghalangi pandangan, di udara banyak partikel atau butiran kecil yang menghabat pandangan, yaitu partikel yang berasal dari air (hidrometeor), misalnya kabut, mist (kabut tipis) dan hujan dan partikel lainnya (litometeor), misalnya debu dan asab. Partikel pencemar udara juga dapat mengganggu pandangan. Partikel-partikel ini mempunyai dampak terhadap pandangan sebagai berikut:

* a. Mengurangi cahaya
* b. Mengaburkan citra dari benda yang diamati.
* c. Menghamburkan cahaya.

Kriteria Wujudul Hilal

Menurut Bapak Sutrisno Muliawan Syah (Dewan Hisab dan Rukyat Pimpinan Pusat Persis) bahwa ada beberapa kriteria yang dimiliki wujudul hilal untuk mengantisipasi beberapa kemungkinan:

1. Jika ketinggian hilal telah mencakup seluruh negeri, maka besoknya diputuskan masuknya tanggal bulan hijriyah.

2. Bila garis tanggal/garis ketinggian hilal membelah suatu negeri maka daerah yang belum nampak (masih negatif) mengikuti yang sudah nampak dengan alasan karena masih dalam batas wilayatul hukmi. (maka putusan ada di tangan menteri agama sebagai qadhi qudhat/ hakim penentu yang berkompeten untuk memutuskannya, yang jelas esoknya dinyatakan masuk tanggal bila hilal positif di atas ufuk mar’i).

3. Menteri dalam kondisi di atas (no.1) harus melihat bahwa negerinya merupakan wilayatul hukmi.


Munaqasyah dan Tarjih

1. Di lihat dari dua argumentasi di atas, yaitu antara yang membolehkan dan melarang, dalil yang digunakan bagi orang yang membolehkan lebih kuat. Hal ini dilihat dari makna rukyah dalam al-Quran yang kenyataannya tidak hanya memiliki satu makna saja.

2. Selain itu, dalam al-Quran secara jelas juga banyak menyebutkan mengenai salah satu tujuan daripada peredaran bulan, bumi dan matahari, yaitu untuk mengetahui hitungan waktu dan tahun, termasuk di dalamnya hitungan waktu ibadah.

3. Di masa-masa awal Islam terutama di zaman Nabi Muhammad Saw. bahkan pada generasi sesudahnya, penerapan awal bulan Qamariyah khususnya awal Ramadhan selalu didasarkan atas metode rukyatul hilal, tepatnya melihat bulan sabit dengan mata telanjang. Kalau karena satu dan lain hal terganggu dan karena rukyatul hilal tidak mungkin dilakukan, maka dengan sendirinya rukyatul hilal ditiadakan atau tidak dilakukan. Kompensasi atau jalan keluar yang diberikan untuk mengantisipasi itu, penetapan awal bulan Ramadhan harus dilakukan dengan cara menyempurnakan atau tepatnya menggenapkan bilangan bulan Sya’ban yakni menjadi 30 hari. Barulah keesokan harinya umat Islam berpuasa Ramadhan. Ketentuan ini jelas-jelas tertera pada periwayatan hadis di atas yang satu sama lain saling mendukung dan melengkapi.

4. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang nyata-nyata merupakan karunia Allah Swt. juga, selain dimungkinkan menggunakan alat-alat bantu seperti teropong (al-marâshid) dan lain-lain yang lebih meyakinkan pengelihatan mata. Sebatas ini, umumnya ulama atau bahkan seluruh ulama membolehkan pelibatan alat-alat teropong dan ilmu hisab dalam melakukan kegiatan rukyatul hilal; tetapi dalam fungsinya sebagai alat bantu atau penguat semata-mata, bukan kapasitasnya sebagai penentu. Dan karenanya, maka penetapan awal bulan Ramadhan berdasarkan ilmu hisab tetap ditolak oleh kebanyakan ulama jika kegiatan hisab dilakukan secara mandiri tanpa menyertakan rukyah yang menjadi andalannya.

5. Dalam perjalanan selanjutnya, seiring dengan perkembangan IPTEK yang semakin maju, serta kecanggihan ilmu falak, perlahan-lahan namun pasti tidak sedikit ulama yang kemudian membolehkan penetapan awal bulan Ramadhan khususnya dan bulan-bulan Qamariyah yang lain pada umumnya dilakukan berdasarkan hasil ilmu hisab dan ilmu falak semata-mata; tidak perlu lagi dilakukan dengan melibatkan rukyatul hilal. Jika perlu, hisab tidak hanya dilakukan untuk satu tahun takwim berkala, akan tetapi bulan Qamariyah khususnya awal Ramadhan dan Syawal sudah ditentukan sedini mungkin dengan bertumpu kepada ilmu hisab dan ilmu falak. Pendapat ini didasarkan pada semangat dari penyariatan (ruh al-tasyrîi) sejumlah ayat di atas yang pada intinya Allah menciptakan matahari dan bulan yang diantara tujuan dan fungsi utamanya ialah untuk menetapkan prihal bilangan tahun dan bulan bahkan pekan dan hari. Belum lagi memperhatikan kondisi obyektif ayat-ayat al-Quran itu sendiri yang secara lugas mendorong manusia muslim untuk menggali ilmu-ilmu hisab dan falak.

edit source : http://afdacairo.blogspot.com/2009/03/hukum-penggunaan-ilmu-hisab-dalam.html

Rabu, 29 Juni 2011

Logo Ismadya (Ikatan Santri Manggeng Aceh Barat Daya)


Ini adalah Logo Ikatan Santri yang berada di Kecamatan Manggeng Kabupaten Aceh Barat Daya Provinisi Aceh, Indonesia.

Tabarruk (Tafa-ul) Dalam Tepung Tawar (Peusjiek; Bhs. Aceh)



Tabarruk (Tafa-ul) Dalam Tepung Tawar (Peusijuek; Aceh)

TABARRUK
Kegiatan tabarruk (meminta barakah) sebagaimana sering dilakukan oleh kaum muslimin adalah tidak bertentangan dengan aqidah Islam, bahkan merupakan sunnah dan sering dilakukan oleh ummat muslimin yang bertauhid dan berakidah yang lurus, sebagaimana dalam

KISAH YUSUF DENGAN AYAHNYA ,

اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا وَأْتُونِي بِأَهْلِكُمْ أَجْمَعِينَ
Artinya : Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku (Q.S. Yusuf : 93)

Mata Nabi Ya’kub sembuh seketika, pada saat wajah beliau menyentuh qamis Nabi Yusuf , sebagaimana kisah selanjutnya dalam firman Allah :
فَلَمَّا أَنْ جَاءَ الْبَشِيرُ أَلْقَاهُ عَلَى وَجْهِهِ فَارْتَدَّ بَصِيرًا قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya : Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya'qub, lalu kembalilah dia dapat melihat. Berkata Ya'qub: "Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui tentang Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya. (Q.S. Yusuf : 96)

KISAH BANI ISRAIL DENGAN TABUTNYA,
Tabarruk Bani Israil dengan tabut (peti tempat menyimpan kitab Taurat) sebagaimana disebut dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah : 248,

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.(Q.S. al-Baqarah : 248)

KISAH NABI MUHAMMMAD SAW DENGAN BERBAGAI MACAM AMALAN TABARRUK YANG DIMINTA SAHABAT KEPADA BELIAU,

Nabi SAW memberkati anak-anak baru lahir dengan melakukan tahnik (menyuapi makanan yang sudah lebih dahulu dikunyah kepada anak-anak). Hadits Muslim menyebutkan :

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يؤتى بالصبيان فيبرك عليهم ويحنكهم
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW sering dibawa kepada beliau anak-anak yang baru lahir, maka beliau memberkati dan melakukan tahnik kepada anak-anak itu. (H.R. Muslim) Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 237, No. Hadits : 286

Nabi SAW memberkati orang sakit dengan mengusap kepala dan meminumkan air sisa wudhu’ beliau kepada sisakit. Tersebut dalam Shahih Bukhari :

السائب بن يزيد يقول ذهبت بي خالتي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله، إن ابن أختي وجع، فمسح رأسي ودعا لي بالبركة، ثم توضأ، فشربت من وضوئه
Artinya : Al-Sa-ib bin Yazid berkata : “ Bibiku pergi bersamaku kepada Rasulullah”. Bibiku berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya anak saudaraku sakit”. Lalu Rasulullah SAW mengusap kepalaku dan berdo’a keberkahan untukku. Kemudian beliau berwudhu’, maka aku minum dari air sisa wudhu’nya. (H.R. Bukhari) Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. I, Hal. 49, No. Hadits : 190

Nabi SAW memberkati dengan air yang telah disentuhnya. Imam Bukhari meriwayatkan hadits sebagai berikut :

َقَالَ أَبُو مُوسَى دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحٍ فِيهِ مَاءٌ فَغَسَلَ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ فِيهِ وَمَجَّ فِيهِ ثُمَّ قَالَ لَهُمَا اشْرَبَا مِنْهُ وَأَفْرِغَا عَلَى وُجُوهِكُمَا وَنُحُورِكُمَا
Artinya : Berkata Abu Musa : “Nabi Muhammad SAW meminta semangkok air, lalu beliau mencuci kedua tangannya dan membasuh wajahnya di dalamnya, dan mengeluarkan air dari mulutnya, kemudian bersabda kepada mereka berdua (dua orang sahabat yang ada di sisi beliau, “Minumlah dari air itu dan semburlah pada wajah dan lehermu” (H.R. Bukahri) Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. I, Hal. 49, No. Hadits : 188

Mengharap barakah dengan keringat Rasululah SAW

عن أنس بن مالك قال كان النبي صلى الله عليه و سلم يدخل بيت أم سليم فينام على فراشها وليست فيه قال فجاء ذات يوم فنام على فراشها فأتيت فقيل لها هذا النبي صلى الله عليه و سلم نام في بيتك على فراشك قال فجاءت وقد عرق واستنقع عرقه على قطعة أديم على الفراش ففتحت عتيدتها فجعلت تنشف ذلك العرق فتعصره في قواريرها ففزع النبي صلى الله عليه و سلم فقال ما تصنعين ؟ يا أم سليم فقالت يا رسول الله نرجو بركته لصبياننا قال أصبت
Artinya : Dari Anas bin Malik, Nabi SAW biasa memasuki rumah Ummu Sulaim dan tidur di atas kasurnya sedangkan Ummu Sulaim sedang pergi. Anas berkata: “Pada suatu hari Rasulullah SAW datang dan tidur di atas kasur Ummu Sulaim, kemudian Ummu Sulaim dipanggil dan dikatakan padanya: Ini adalah Nabi SAW tidur di rumahmu dan di atas kasurmu. Anas berkata : Ummu Sulaim datang dan Nabi sedang berkeringat, lalu keringatnya tersebut dikumpulkan di atas sepotong kulit yang ada di atas tikar. Kemudian Ummu Sulaim membuka talinya dan mulai meyerap keringat tersebut lalu memerasnya ke dalam botol, maka Nabi kaget dan berkata: Apa yang kamu lakukan Ummu Sulaim ? Ummu Sulaim berkata: Wahai Rasulullah kami mengharapkan berkahnya bagi anak-anak kami” Beliau berkata: Engkau benar (H.R. Muslim) Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal.1815-1816, No. Hadits : 2331

=====================

TAFAUL

عن أنس بن مالك قال : جاء أبو بكر إلى النبى - صلى الله عليه وسلم - فقعد بين يديه فقال : يا رسول الله قد علمت مناصحتى وقدمى فى الإسلام وإنى وإنى ، قال : وما ذاك قال : تزوجنى فاطمة فسكت عنه أو قال : أعرض عنه فرجع أبو بكر إلى عمر فقال : هلكت وأهلكت ، قال : وما ذاك قال : خطبت فاطمة إلى النبى - صلى الله عليه وسلم - فأعرض عنى ، قال : مكانك حتى آتى النبى - صلى الله عليه وسلم - فأطلب مثل الذى طلبت ، فأتى عمر النبى - صلى الله عليه وسلم - فقعد بين يديه فقال : يا رسول الله قد علمت مناصحتى وقدمى فى الإسلام وإنى وإنى ، قال : وما ذاك قال : تزوجنى فاطمة فأعرض عنه ، فرجع عمر إلى أبى بكر فقال : إنه ينتظر أمر الله فيها ، انطلق بنا إلى على حتى نأمره أن يطلب مثل الذى طلبنا ، قال على : فأتيانى وأنا أعالج فسيلا فقالا : ابنة عمك تخطب قال : فنبهانى لأمر ، فقمت أجر ردائى طرفا على عاتقى وطرفا أجره على الأرض حتى أتيت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فقعدت بين يديه فقلت : يا رسول الله قد عرفت قدمى فى الإسلام ومناصحتى وإنى وإنى ، قال : وما ذاك يا على قلت تزوجنى فاطمة قال : وعندك شىء قلت : فرسى وبدنى قال : أعنى درعى قال : أما فرسك فلا بد لك منها ، وأما درعك فبعها ، فبعتها بأربعمائة وثمانين فأتيته بها فوضعتها فى حجره ، فقبض منها قبضة فقال : يا بلال ابغنا بها طيبا ، وأمرهم أن يجزوها ، فجعل لهم سرير شرط بالشرط ووسادة من أدم حشوها ليف وملء البيت كثيبا يعنى رملا وقال لى : إذا أتتك فلا تحدث شيئا حتى آتيك ، فجاءت مع أم أيمن حتى قعدت فى جانب البيت وأنا فى جانب وجاء رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فقال : ههنا أخى فقالت أم أيمن أخوك أو أخوك وقد زوجته ابنتك قال : نعم ، فدخل فقال لفاطمة : ائتينى بماء . فقامت إلى قعب فى البيت فجعلت فيه ماء فأتت به ، فأخذه فمح فيه ثم قال لها : قومى ، فنضح بين ثدييها وعلى رأسها وقال : اللهم أعيذها بك وذريتها من الشيطان الرجيم ، وقال لها : أدبرى ، فأدبرت فنضح بين كتفيها ثم قال : اللهم إنى أعيذها بك وذريتها من الشيطان الرجيم ، ثم قال لعلى : ائتينى بماء ، فعلمت الذى يريد فقمت فملأت القعب ماء فأتيته به ، فأخذ منه بفيه ثم مجه فيه ثم صب على رأسى وبين ثديى ثم قال : اللهم إنى أعيذه بك وذريته من الشيطان الرجيم ، ثم قال : أدبر ، فأدبرت فصب بين كتفى وقال : اللهم إنى أعيذه بك وذريته من الشيطان الرجيم ، وقال لى : ادخل بأهلك باسم الله والبركة (جرير) كنز العمال وأخرجه أيضا ابن حبان

source : http://mursyidali.blogspot.com/2011/01/pesijuk-tepung-tawar.html

=====================

TAFAUL
Tafa’ul adalah harapan akan datang kebaikan atau rahmat yang disebabkan oleh perbuatan tertentu. Akar kata tafa-ul adalah fa’l. Menurut Kamus Mahmud Yunus, makna fa’l adalah tanda akan baik. Sedangkan tafa-ul adalah menenungi tanda akan baik, optimis.
1. Dalam Qamus Idris Marbawy Fa’l berarti sempena. Sedangkan Tafa-ul diartikan mengambil sempena atau lawan tasya-um (menganggap sial)
2. Sempena (bahasa melayu) artinya tanda baik.
3. Dalam Kamus Mukhtar al-Shihah, fa’l : Seseorang yang sakit mendengar orang lain berkata : “Hai salim (yang selamat) atau seseorang yang membutuhkan sesuatu, mendengar orang lain berkata : “ Hai wajid (mendapatkan sesuatu).
4. Lalu orang sakit atau yang membutuhkan sesuatu itu terbersit dalam hatinya mengharapkan kesembuhan atau mendapatkan harapannya, sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim.
5. Contoh tafa’ul adalah memalingkan rida’ (kain selendang) oleh khatib pada saat khutbah shalat minta hujan dengan harapan berobah keadaan

=====================

Definisi Tafaul :
التفاؤل مرادف للتيمن و هو مأخوذ من اليمن أي البركة و البشارة و أصله من اليمين ضدّ اليسار
............ dst
إذن مبنى التفاؤل مبدأ الخير
............ dst Source : http://www.diwanalarab.com/spip.php?article6801

Tafaulnya Rasul :
إنّ من الصفات النبيلة والخصال الحميدة التي حبا الله بها نبيه الكريم ورسوله العظيم صفة التفاؤل، إذ كان صلى الله عليه وسلم متفائلاً في كل أموره وأحواله، في حلِّه وترحاله، في حربه..
........ dst...
Source : http://www.islamweb.net/media/index.php?id=46450&lang=A&page=article

=====================

PEUSIJUEK / TEPUNG TAWAR
Peusijuek (bahasa aceh) adalah satu paket rangkaian kegiatan memercik air atau menyulangkan nasi ketan atau menaburkan padi atau beras yang telah diwarnai dengan pewarna oleh seseorang kepada orang lain dengan didiringi do’a kepada Allah SWT agar selamat, bahagia dst dengan niat Tafaul / Tabarruk dengan media bahan-bahan yang memiliki makna / nilai pilosofis.

Acara peusjuek sering dilaksanakan dalam rangkaian acara adat / serimonial oleh seseorang kepada seseorang dengan penuh rasa khidmat.

Ada yang mengatakan bahwa “pesijuek” merupakan amalan orang yang beragama Hindu. Dan mereka berargumen dengan kalimat
من تشبه بقوم فهو منهم
Dan hadits
Tatkala Rasulullah memenangkan perang Khandaq bersama para shahabat beliau. Shahabat Salman al-Farisi selaku inisiator pengadaan khandaq, menancapkan ujung pedangnya ke tanah lalu meletakkan sorbannya di atas gagang pedang sebagai simbol kemenangan. Rasulullah segera memerintahkan Salman untuk mencabut pedang tersebut dan memberitahukan kepada khalayak bahwa tindakan tersebut adalah perilaku tentera Romawi yang menancapkan pedang atau tombak ke tanah dan menaruh helm besi mereka di gagangnya pasca menang perang.

Kita jawab bahwa tidak semua tasyabuh adalah sesat, karena kita harus merujuk kepada Al-Qur'an dan Hadits, apakah itu perkara buruk atau baik. Silakan rujuk ke masalah tabarruk dan tafaul diatas.

Bahan symbol yang dipergunakan untuk peusijuek dimasing-masing daerah berbeda-beda, hal itu tergantung dengan daerah tempat peusijuek itu sendiri. Berbedanya bahan bukanlah merupakan hal yang dipertentangkan, Karena ia hanyalah merupakan symbol dari sesuatu yang dipergunakan untuk Tafa-ulnya (Tabarruknya)

Harapan manfaat dari bahan-bahan yang dipergunakan tersebut antara lain:
1. Nasi Ketan (nasi yang melekat erat sesamanya)
2. Air (semoga selalu dalam hak Allah)
3. Tepung Tawar/Bedak (semoga dihias dengan kebahagiaan)
4. Bunga (wangi dan disenangi serta indah)
5. Minyak Wangi (selalu dipergunakan disaat ibadah karena kesunnahannya)
6. Daun Sedingin (daun yang bersifat dingin dan aman ketika dimanfaatkan)
7. Rumput Seumbo (mudah rizki dan kuat manfaatnya)
8. Daun Pandan (bagus barang yang dituju karena kewangiannya)
9. Batang Talas (cepat berkembang dan batangnya selalu bermanfaat)
10. Tunas Pinang (kuat dan lurus ketika dimanfaatkan)
11. Inai /pacar (kuat manfaat dari segi apapun)
12. Emas (barang yang dituju sesuatu yang sangat berharga)
13. Beras & Padi (makanan pokok yang berkembang banyak dan selalu dimanfaatkan)
14. Garam (sesuatu yang menyedapkan dan memuaskan)
15. Gula (barang yang dituju agar mendapat kesenangan)
16. Kunyit (cepat berkembang serta makmur)
17. Limau Purut (membawa kebahagiaan)
18. Kemenyan (disukai Malaikat pembawa rahmat)
19. Kapas (beban yang berat jadi ringan)
20. Kaki Ayam (giat mencari rizki yang halal)
21. Hati Ayam (agar terbolak-balik hati)
22. Dan lain-lain

=====================

TAWASSUL
Tawasul ialah berdo’a kepada Allah dengan menyebut Haq Prioritas orang-orang Sholeh atau beramal baik, sebagaimana diceritakan dalam kitab Bukhory Juz II halaman 79, bahwa Sayyida Umar bin Khothob pernah meminta diturunkan hujan dengan cara bertawasul kepada paman Nabi yakni Abbas bin Abi Tholib :

اَللَّهُمَّ اِنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَأَسْقِنَا وَاِنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
Artinya”: Ya Allah kami bertawasul kepada Mu dengan menyebut nama Nabiku maka turunkanlah hujan kepada kami dan sekarang kami bertawasul kepada Mu dengan menyebut nama paman Nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kami.
======================

Selasa, 17 Mei 2011

Hukum Mu`allim dan Muta`allim Mengambil Zakat



Hukum Mu`allim dan Muta`allim Mengambil Zakat

Lajnah Bahtsul Matsa-il MUDI Mesjid Raya


(ولو استغل بعلم) شرعى كما فى روضة وأصلها (والكسب يمنعه) من الإشتغال به (فقير) فيشتغل بعلم ويأخذ (ولو استغل بالنوافل فلا) اى فليس بفقير فيكسب ولا يستغل بها والفرق ان الإستغال بالعلم فرض كفاية. (محلى ومتنه, 3. 196)

Jika seseorang mengkususkan diri untu mencari ilmu syar’i, penambahan syar’i sebagai yang ditambah dalam Raudhah Wa Ashliha, yang tidak sempat ia berusaha maka ia dianggab fakir, maka ia boleh menuruskan mencari ilmu dan mengambil harta zakat. Dan bila ia mengkhususkan diri untuk melakukan hal-hal yang disunatkan, maka ia tidak dianggab fakir dan harus berusaha dan tidak boleh mengkhususkan diri untuk hal-hal yang sunat, karena mencari ilmu hukumnya fardhu kifayah yang berbeda dengan pekerjaan yang lain yang hukumnya sunat.


(قوله بعلم شرعى) ولو مما يطهر الباطن كتصوف ومثل العلم آلته كالنحو كذا حفظ القرآن لاتلاوته (قليوبى, 3. 196)

(kata mushannif بعلم شرعى ) Walau mencari ilmu untuk membersihkan bathin seperti seperti ilmu tasawuf. Termasuk dalam ilmu Syar`i adalah ilmu penunjang ilmu Syar`i seperti sastra demikian juga menghafal Al-Quran, tidak termasuk membacanya (Qalyuby, III. 196)


(قوله ويأخذ) اى ما يكفيه ويكفى ممونه الازمة نفقته كأبيه وولده وعبده المحتاج اليه لازجته قاله شيخنا رملى (قليوبى, 3. 196)



(Kata Musannif : ويأخذ ) maksudnya boleh mengambil kadar yang mencukupi untuk kebutuhan diri sendiri dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya seperti orang tuanya, anaknya dan budak yang ia butuhkan. Tidak termasuk untuk kebutuhan isterinya, demikianlah pendapat guru kita Ramly. (Qalyuby, III. 196)


تنبيه ... وقد صرح به فى الأنوار فقال ولو قدر على كسب بالوراقة اوغيرها وهو مشتغيل بالتعلم القرآن او علم الذى هو فرض كفاية او تعليمه واشتغال بالكسب يقطعه عن التعلم والتعليم حلت له زكاة (ولو اشتغل بالنوافل) للعبادة وملازمة الخلوات فى المدارس ونحوها (فلا) يكون فقيرا وادعى فى المجموع الإتفقاق عليه لأن الكسب وقطع الطمع عما فى أيدى الناس أولى من اقبال على النوافل مع الطمع والفرق بين المشتغل بهذا وبين المشتغل بعلم وقرآن بأن ذلك مشتغل بما هو فرض كفاية بخلاف هذا ولأن النفع هذا قاصر عليه بخلاف هذا (مغنى المحتاج ومتنه, 3. 107)


Tanbīh (Peringatan). Imam Yusuf Irdabily telah menjelaskan dalam kitab al-Anwar dengan kata beliau ; Jika seseorang mampu untuk berusaha dengan menjual kertas atau dengan cara lainnya pada saat ia sedang belajar Al-Quran atau ilmu lain yang hukumnya fardhu kifayah ataupun mengajarinya, namun jika ia berusaha dapat menghalanginya untuk belajar dan mengajar maka halal terhadapnya mengambil harta zakat (jikalau seseorang megkhususkan dirinya untuk mengerjakan sunat) dan mengasingkan diri di Madāris (Ma`had/Pesantren) atau seumpamanya (maka ia tidak) dianggap fakir. Pengarang kitab al-Majmu` (Imam Nawawy) mengatakan pendapat ini telah disepakati oleh seluruh ulama karena berusaha dan memalingkan diri dari loba terhadap apa yang ada pada manusia lebih utama dari pada melakukan ibadah sunat diiringi rasa suka terhadap apa yang ada pada manusia. Perbedaannya yaitu belajar atau mengajar hukumnya fardhu kifayah berbeda dengan amalan sunat dan juga mamfaat dari amalan sunat hanya untuk dirinya berbeda dengan belajar dan mengajar. (Mughny al-Muhtaj wa Matnuh, III. 107)


قوله (كفايته بنفقة قريب) اى أصل او فرع فلو لم تكفيه فله أخذ تمام كفايته ولو من زكاة المنفق عليه من زوج او قريب ومنعهم دفع زكاته لمن تلزمه نفقته يحمل على من يكفيه النفقة ولو امتنع قريب من الإنفاق واستحيا من رفعه الى الحاكم كان له الأخذ لأنه غير مكفى (بجيرمى, 3. 310)


(Kata Musannif ; كفايته بنفقة قريب , kebutuhannya mencukupi dengan nafakah dari kerabatnya) yang dimaksud dengan kerabat adalah Ashal (ayah, kakek maka ke atas) dan Furu` (anak, cucu maka ke bawah) Jika nafakah dari mereka tidak memenuhi kebutuhannya maka ia boleh mengambil kebutuhannya dari zakat secukupnya walau dari harta zakat orang yang memberi nafakah terhadapnya, yaitu suami, atau “kerabat”. Pendapat ulama yang mengatakan tidak boleh memberi zakat kepada orang yang wajib dinafakahinya maksudnya adalah orang yang telah cukup kebutuhannya dengan pemberian mereka. Jika “kerabat” tidak mau memberi nafkah untuknya dan ia malu untuk mengadukan kepada hakim maka ia boleh mengambil zakat karena tidak cukup kebutuhannya. (Bujairimy, III. 310)

(لا) اشتغاله (بعلم شرعى) يأتي منه تحصيله (والكسب يمنعه) منه لأنه فرض كفاية (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب, 3. 310)

(Tidak) “terhalang untuk mengambil zakat” kesibukan seseorang (dengan ilmu agama) yang hasil kesibukan tersebut dapat bermamfaat untuk orang lain (sedangkan berusaha dapat menghalangi kesibukan) nya, karena kesibukannya adalah fardhu kifayah. (Fathu al-Wahab bi Syarhi Manhaj ath-Thullab, III. 310)

ويثتسنى من الأول ما لوكان مشتغلا بعلم الشرعى ويرجى منه النجابة والكسب يمنعه فتجب كفايته حينئذ ولا يكلف الكسب وفى حاشية الجمل وقع السؤال عما لو حفظ القرآن ثم نسيه بعد البلوغ وكان الإشتغال بحفظه يمنعه من الكسب هل يكون ذلك كإشتغاله بالعلم ام لا ؟ والجواب عنه ان الظاهر ان يقال فيه ان تعين طريقا بأن تتيسر فى غير أوقات الكسب كان كالإشتغال بالعلم والا فلا اهـ (اعانة الطالبين,4. 98)

Dikecualikan dari yang pertama (seorang anak yang sudah baligh dan sanggup untuk berusaha) jika seseorang bergelut dengan ilmu syar`i dan ada kemungkinan akan dicapai sebuah keberhasilan sedangkan usaha dapat menghalanginya dari hal tersebut maka pada saat itu ia boleh mengambil harta zakat dan tidak dibebankan ia untuk berusaha. Terdapat dalam Hasyiyah al-Jamal sebuah pertanyaan tentang orang yang telah menghafal Al-Quran kemudian ia lupa, sedangkan jika ia mencari nafkah mengakibatkan tidak ada waktu untuk menghafal kembali, samakah permasalahan ini dengan kesibukan mencari ilmu agama ataupun tidak? Jawabannya adalah menurut pendapat yang Dhahir jika ia mudah untuk menghafal kembali dengan tidak berusaha maka hal ini sama dengan kesibukan mencari ilmu, jika tidak maka tidak sama. Demikian (I`anah ath-Thalibin, IV. 98)

edit dan disadurkan kembali dari tulisan http://www.facebook.com/home.php?sk=group_166958133329227&view=doc&id=213480305343676