Kritisi Pelaksanaan Shalat Tarawih 4 Raka’at
Masalah :
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي
رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ
وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ
حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ
تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Dan
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا
بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ
الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ
كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا
سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ
لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى
شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ
لِلْإِقَامَةِ
Kajian :
Tarawih, (kadang-kadang
disebut teraweh atau taraweh) adalah salat
sunnat yang dilakukan khusus hanya pada bulan Ramadhan.
Tarawih ( تَراوِيْح )dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’
dari تَرْوِيْحَةٌ yang diartikan sebagai "waktu sesaat
untuk istirahat". (duduk bersenang-senang atau beristirahat.)
sehingga dikatakan orang bahwa Shalat Tarawih berarti shalat dengan rasa senang
dan kelapangan hati setelah shalat fardhu Isya'
Tarawih menurut
asal katanya ialah duduk untuk istirahat setelah mengerjakan sembahyang empat
rakaat shalat tarawih. Setiap empat rakaat dinamakan tarawih adalah sebagai
majaz, kerana adabnya beristirahat sesudah pelaksanaan 4 rakaat.
Tarawih
itu disebut juga dengan Qiyamu Ramadhan. Sembahyang Tarawih dikerjakan setelah
mengerjakan sembahyang Isya’ dan waktunya berpanjangan sehingga akhir
malam.
Pelaksanaan yang terjadi
Banyak
orang mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat
sekali salam, dengan dalil hadis Siti Aisyah sebagai berikut:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ
حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا
تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ
قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ
عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Artinya:
Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan
Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan
engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat
jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3
rakaat. Kemudian aku bertanya ”Ya Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat
Witir”? Kemudian beliau menjawab: ”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku
tidaklah tidur”.
Banyak
orang terkecoh dan terjebak dalam memahami penjelasan Imam Muhammad
al-Shan’âniy dalam kitab Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, sehingga mereka
mengatakan tata cara shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam disebutkan
dalam kitab itu. Untuk menjawab tuduhan itu, mari kita lihat secara langsung
redaksi Imam Muhammad al-Shan’âniy, sebagai berikut:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا
فِي غَيْرِهِ عَلَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ
فَصَّلَتْهَا بِقَوْلِهَا ( يُصَلِّي أَرْبَعًا )
يُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُتَّصِلَاتٌ وَهُوَ الظَّاهِرُ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُنْفَصِلَاتٌ وَهُوَ بَعِيدٌ
إلَّا أَنَّهُ يُوَافِقُ حَدِيثَ صَلَاةُ اللَّيْلِ
مَثْنَى مَثْنَى .
Artinya;
Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan
Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Kemudian Siti A’isyah
merincikan shalat Rasulullah dengan perkataannya:”Beliau shalat 4 rakaat”.
Redaksi ini memiliki kemungkinan 4 rakaat dilakukan sekaligus dengan 1 salam,
ini adalah yang zhahir, dan juga bisa dipahami 4 rakaat itu dilakukan secara
terpisah (2 rakaat- 2 rakaat), tetapi pemahaman ini jauh hanya saja ia sesuai
dengan hadis Shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat. (Muhammad
Ibn Ismâîl al-Shan’âniy,
Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, vol. 2 h. 27).
Maksud
perkataan Imam Muhammad al-Shan’âniy:” 4 rakaat dilakukan dengan sekali salam,
dipahami menurut zhahir/tekstual hadis. Sedangkan pelaksanaan 4 rakaat dengan 2
salam menjadi jauh bila tidak ada keterangan dari hadis lain. Tetapi 4 rakaat
dengan cara 2 salam memiliki kekuatan dengan adanya keterangan hadis Shalat
malam itu dilakukan dengan 2 rakaat-2 rakaat.
Dalam
hal ini Imam Syafii mengatakan dalam kitab al-Risâlah sebagai berikut:
فَكُلُّ كَلَامٍ كَانَ عَامًا ظَاهِرًا
فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَهُوَ عَلَى ظُهُوْرِهِ
وَعُمُوْمِهِ حَتَّى يُعْلَمَ حَدِيْثٌ ثَابِتٌ عَنْ
رَسُوْلِ اللهِ .
Artinya:
“Setiap perkataan Rasulullah dalam hadis yang bersifat umum/zhahir diberlakukan
kepada arti zhahir dan umumnya sehingga diketahui ada hadis lain yang tetap
dari Rasulullah”. (9 Muhammad Ibn Idrîs al-Syâfiiy, al-Risâlah, Jakarta: (Dinamika Jakarta t.t)
h. 148).
Maksud
dari perkataan Imam Syafii adalah redaksi hadis yang masih bersifat
umum/zhahir, boleh-boleh saja dipahami demikian adanya, dengan catatan selama
tidak ada keterangan lain dari hadis Rasulullah. Tetapi bila ditemukan hadis
Rasulullah yang menjelaskan redaksi zhahir dan umum satu hadis, maka hadis
tersebut tidak boleh lagi dipahami secara zhahir dan umum.
Jika
hendak dipertentangkan, hadis tentang shalat yang dikerjakan 2-2 lebih kuat dan
lebih banyak diamalkan oleh umat sebab ia merupakan hadis Qauliy (perkataan
Nabi) dalam riwayat lain dikatakan juga sebagai hadis Fi’liy (perbuatan Nabi),
sedangkan hadis Siti Aisyah 4-4 hanya merupakan hadis Fi’liy (perbuatan Nabi).
Ketika
terjadi perbedaan antara perkataan Nabi dengan perbuatannya maka yang harus
dilakukan umatnya adalah mengamalkan apa yang diperintahkannya (perkataannya),
sebabnya adalah lantaran perbuatan Nabi bisa jadi merupakan kekhususan bagi
beliau yang tidak berlaku bagi umatnya. Contohnya adalah tentang kandungan
surat Annisa ayat 3 sebagai perintah Nabi kepada para sahabat dan umatnya agar
tidak memiliki istri lebih dari 4 orang. Padahal beliau sendiri di akhir
hayatnya meninggalkan 9 orang istri. Dalam hal ini yang berlaku adalah kita
tetap tidak boleh memiliki istri lebih dari 4. Sementara beristri lebih dari 4
merupakan kekhususan yang hanya boleh bagi Nabi.
Dengan
kaidah ini, maka mengerjakan shalat malam dengan 2-2 rakaat lebih tepat
ketimbang mengerjakannya dengan 4-4 rakat sekali salam, sebab bisa jadi shalat
4-4 rakaat merupakan sesuatu yang khusus bagi Nabi.
Masih
ada cara lain yang paling mudah untuk memahami hadis Siti Aisyah yakni dengan
mencari ucapan Aisyah sendiri pada lain kesempatan. Kita tentu berhak
mempertanyakan kembali apakah yang dimaksud Siti Aisyah 4 rakaat benar-benar
sekali salam??? Ternyata Siti Aisyah sendiri sebagai periwayat hadis 4-4 menjelaskan
dalam hadis lain bahwa yang dimaksud dengan 4 rakaat pelaksanaannya adalah
dengan 2-2.
Perhatikanlah
penjelasan Siti Aisyah pada hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا
بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ
الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ
كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا
سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ
لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى
شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ
لِلْإِقَامَةِ.
Artinya:
Dari Aisyah berkata: ”Seringkali Rasulullah melakukan shalat antara selesai
shalat Isya yang disebut orang dengan shalat ’Atamah sampai Fajar beliau
mengerjakan shalat 11 rakaat, beliau melakukan salam pada tiap 2 rakaat dan
melakukan 1 rakaat Witir. Apabila seorang Muadzzin selesai dari azan shalat
Shubuh yang menandakan fajar telah datang, Muadzzin tersebut mendatangi beliau
beliau pun melakukan shalat 2 rakaat ringan setelah itu beliau berbaring
(rebah-rabahan) atas lambungnya yang kanan sampai Muadzzin itu mendatangi
beliau untuk Iqamah (Imam Muslim dalam kitab Shahihnya hadis no: 1216, Imam
al-Hakim dalam al-Mustadrak hadis No: 1671, Imam al-Darimiy dalam sunannya
hadis No: 1447, Imam al-Bayhaqiy dalam al-Sunan al-Shughra hadis No: 600,
al-sunan al-Kubra hadis No: 4865 dan Ma’rifah Sunan Wa al-Atsar hadis No:
1435).
Dalam Riwayat hadis Imam al-Bukhariy dari sahabat Nabi,
Abdullah Ibn Umar:
إِنَّ رَجُلًا قَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ صَلَاةُ اللَّيْلِ قَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ
فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ . (صحيح البخاري رقم
: 1069(
Artinya:
”Sesungguhnya
Seorang lelaki bertanya; Ya Rasulullah, bagaimana cara shalat malam? Rasulullah
menjawab; Shalat malam itu 2 rakaat-2 rakaat. Maka apabila engkau khawatir
subuh maka shalat witirlah engkau dengan satu rakaat.
Nashiruddin al-Albaniy dalam bukunya “صلاة التراويح” sebagai
berikut:
وَصَدَقَ
رَحِمَهُ اللهُ فَقَوْلَ الشَّافِعِيَّةُ: "يَجِبُ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ
رَكْعَتَيْنِ فَإِذَا صَلاَّهَا بِسَلاَمٍ وَاحِدٍ لَمْ تَصِحُّ"، كَمَا فِي
اْلفِقْهِ عَلَي اْلمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَشَرْحِ اْلقَسْطَلاَنِي عَلَي
اْلبُخَارِي وَغَيْرِهَا خِلاَفُ هَذَا اْلحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَمَنَافٌ
لَقَوْلِ النَّوَوِي بِاْلجَوَازِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ اْلعُلَمَاءِ
اْلمُحَقِّقِيْنَ فِي اْلمَذْهَبِ الشَّافِعِي فَلاَ عَذْرَ لِأَحَدٍ يُفْتِي
بِخَلاَفِهِ. [صلاة التراويح، ص: 17-18]
Artinya:
“Dan sungguh benar ucapan
Imam an-Nawawi rahimahullah itu, maka mengenai pendapat ulama-ulama Syafi’iyyah
bahwa wajib salam tiap dua raka’at dan bila shalat empat raka’at dengan satu
salam tidak sah, sebagaimana terdapat dalam kitab fiqih mazhab empat itu dan
uraian al-Qasthallani terhadap hadis al-Bukhari dan lainnya, hal itu menyalahi
hadis (Aisyah) yang shahih itu serta menafikan terhadap ucapan (pendapat)
an-Nawawi yang mengatakan hukum boleh (jawaz) itu. Padahal an-Nawawi salah
seorang ulama besar ahli tahqiq dalam mazhab Syafi’i, hal itu tidak bisa
ditolerir (dibenarkan) bagi siapapun juga berfatwa menyalahi ucapan beliau
itu.” [Shalatut-Tarawih, hal 17-18]
Imam
Nawawiy al-Dimasyqiy:
يَدْخُلُ وَقْتُ
التَّرَاوِيْحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ
ذَكَرَهُ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ وَيَبْقَى إِلَى طُلُوْعِ
اْلفَجْرِ وَلْيُصَلِّهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ كَمَا هُوَ اْلعَادَةُ فَلَوَْصَلَّي
أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيْمةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ
الْقَاضِى حُسَيْنٌ فيِ فَتَاوِيْهِ ِلاَنَّهُ خِلاَفُ
الْمَشْرُوْعِ قَالَ وَلاَ تَصِحُّ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ بَلْ يَنْوِى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ
أَوْ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ أَوْ قِيَامَ رَمَضَانَ
فَيَنْوِيْ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ مِنْ
صَلاَةِ التَّرَاوِيحِ . )المجموع شرح المهذب : ج 4 ص : 38 (دار الفكر 2000(
Artinya:
”Masuk
waktu shalat Tarawih itu setelah melaksanakan shalat Isya. Imam al-Baghawi dan
lainnya menyebutkan: “waktu tarawih masih ada sampai terbit fajar”. Hendaklah
seseorang mengerjakan shalat Tarawih dengan dua rakaat-dua rakaat, sebagaimana
kebiasaan shalat sunah lainnya. Seandainya ia shalat dengan 4 rakaat dengan
satu salam, maka shalatnya tidak sah. Hal ini telah dikatakan oleh al-Qâdhi
Husain dalam fatwanya, dengan alasan hal demikian menyalahi aturan yang telah
disyariatkan. Al-Qâdhi juga berpendapat seorang dalam shalat Tarawih ia tidak
boleh berniat mutlak, tetapi ia berniat dengan niat shalat sunah Tarawih,
shalat Tarawih atau shalat Qiyam Ramadhan. Maka ia berniat pada setiap 2 rakaat
dari shalat Tarawih.
Imam
Ahmad Ibn Hajar al-Haytamiy:
اَلتَّرَاوِيْحُ
عِشْرُوْنَ رَكْعَةً , وَيَجِبُ فِيْهَا أَنْ تَكُوْنَ
مَثْنَى بِأَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ , فَلَوْ
صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ لِشِبْهِهَا بِاْلفَرْضِ فِي طَلَبِ الْجَمَاعَةِ
فَلاَ تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ بِخِلاَفِ نَحْوِ
سُنَّةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ . )فتح الجواد شرح الارشاد :ج 1 ص :
163 (مكتبة اقبال حاج ابراهيم سيراغ ببنتن 1971(
Artinya:
Shalat Tarawih itu 20 rakaat, wajib dalam pelaksanaanya dua-dua, dikerjakan dua
rakaat-dua rakaat. Bila seseorang mengerjakan 4 rakaat dengan satu salam, maka
shalatnya tidak sah karena hal tersebut menyerupai shalat fardhu dalam menuntut
berjamaah, maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang). Lain
halnya dengan shalat sunah Zuhur dan Ashar (boleh dikerjakan empat rakaat satu
salam) atas Qaul Mu’tamad.
===
Dari berbagai sumber