Tasamuh Sebuah Solusi Pembenaran.
==============================
Oleh Hadya Noer.
Seringkali dalam sebuah diskusi atau kajian, pembahasan mengenai hukum-hukum
islam (syariat) yang berkaitan dengan "khilafiyah" atau perbedaan
pendapat. Kita seringkali dihadapkan dengan perkataan "tasamuh"
(toleransi). Ironisnya kata-kata ini menjadi tren dikalangan para
"intelektual islam" sebagai sebuah jalan tengah sebagai solusi dalam
menyikapi perbedaan. Lalu untuk apa kita berdiskusi atau melakukan sebuah
kajian?. Jujur mendengar perkataan tasamuh saya jadi semakin "alergi"
tetapi bukan berarti saya tidak memahami kata ini. Seketika terbersit dalam
pikiran saya, bila suatu pandangan itu telah jelas-jelas bertentangan dengan Al
Quran dan Hadist perlukah kita ber"tasamuh", bila pandangan itu telah
jelas-jelas bertentangan dengan ijma' dan qiyas para ulama mutaqaddimin dan
mutaakhirin apakah tasamuh adalah solusinya. Sebuah kata yang mematikan tajdid
ikhtilafiyah menurut hemat saya.
Pertanyaannya sekarang "tasamuh" yang bagaimana yang dituntut dalam
Islam?adakah perbedaan ini yang dimaksud sebagai rahmat. Inikah yang dimaksud
dengan Islam agama yang "sammahah" (pemurah/mudah) sehingga dengan
mudahnya kita menggampangkan semua urusan dalam beribadah dan beramaliyah. Pada
kesempatan ini saya ingin mengangkat sedikit tentang pemahaman tasamuh dalam
islam dalam menyikapi perbedaan.
Sebagai sebuah negara yang mayoritas muslim, saya menilai umat islam di negeri
ini sudah sangat toleran. Sebagai contoh dengan masuknya begitu banyak paham
dan aliran ke negeri ini. Berdasarkan data resmi dari Kemenag tidak kurang
lebih dari 300 aliran sesat berkembang di negeri ini. Inikah
"tasamuh" yang dimaksud? bahkan seorang tokoh Islam Liberal seperti
Ulil Abshar berani mengatakan,"Ahmadiyah dan pengikutnya berhak untuk menjalankan
ajarannya dan tidak ada seorang manusiapun yang boleh menyesatkan manusia
lainnya kecuali Tuhan". Lalu timbul pertanyaan bila seorang muslim tidak
boleh dikatakan sesat (padahal telah jelas keterangan menurut syara') maka
tentu untuk orang kafir sekalipun tidak boleh kita katakan "kafir"
karena hanya tuhan yang boleh mengkafirkannya. Yang akhirnya melahirkan sebuah
istilah "pluralisme agama". Na'uzubillah tsumma na'uzubillah...
Apa itu tasamuh?
Tasamuh dalam al-Qamus al-Muhith, merupakan derivasi dari kata “samh” yang
berarti “jud wa karam wa tasahul” (sikap pemurah, penderma, dan gampangan).
Islam adalah agama samahah (pemurah) dan yusr (mudah). Hal ini sebagaiman
dijelaskan dalam banyak ayat dan hadits, di antaranya: Allah Ta’ala berfirman.
"... ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ
الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ..."
Allah menghendaki untuk membersihkan umat Islam yang dirahmati ini dari segala
bentuk kesulitan dan belenggu, maka Allah tidak menjadikan untuk mereka
kesempitan pada agama ini.
Allah menghendaki untuk membersihkan umat Islam yang dirahmati ini dari segala
bentuk kesulitan dan belenggu, maka Allah tidak menjadikan untuk mereka
kesempitan pada agama ini.
Kemudian firman-Nya:
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ
مِنْ حَرَجٍ ۚ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ
ۚ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ..."
Perbedaan pemahaman ini muncul sejak di zaman para sahabat Rasulullah
Shallallahu'alihiwasallam. Kerancuan yang timbul di tengah-tengah masyarakat
kita hari ini ialah apabila munculnya sekelompok 'agamawan reformis' atau
digelar juga 'progresif' yang mendakwa bahwa pendapat mereka sajalah yang benar
lalu mereka ini ingin melakukan apa yang disebut 'perbaikan' (ishlah) atau
pembaharuan (tajdid) dalam masyarakat dengan pelbagai slogan pula seperti
'kembali kepada al-Quran dan Sunnah', atau 'mengikut amalan generasi Salaf' dan
seumpamanya.
Perbedaan pemahaman ini muncul sejak di zaman para sahabat Rasulullah
Shallallahu'alihiwasallam. Kerancuan yang timbul di tengah-tengah masyarakat
kita hari ini ialah apabila munculnya sekelompok 'agamawan reformis' atau
digelar juga 'progresif' yang mendakwa bahwa pendapat mereka sajalah yang benar
lalu mereka ini ingin melakukan apa yang disebut 'perbaikan' (ishlah) atau
pembaharuan (tajdid) dalam masyarakat dengan pelbagai slogan pula seperti
'kembali kepada al-Quran dan Sunnah', atau 'mengikut amalan generasi Salaf' dan
seumpamanya.
Tak ada salahnya untuk kita melakukan sebuah pembaharuan, malah ia dituntut
apabila masyarakat menjadi semakin jauh dari amalan murni Islam yang sebenar
lalu mencampur-adukkan dengan amalan khurafat dan bidaah sesat. Bahkan ada
hadist dari Abu Hurayrah R.A. yang menyebut bahwa Allah akan membangkitkan
setiap seratus tahun untuk ummat ini orang yang memperbaharui agamanya. (Sunan
Abu Dawud)
Namun yang terjadi saat ini ialah ada sebagian golongan bukannya
'memperbaharui' agama daripada perkara-perkara khurafat dan bidaah sesat,
sebaliknya membongkar perkara-perkara khilafiyyah yang telah disepakati para
ulama silam sejak ratusan tahun lalu untuk bersetuju berbeda pendapat (agree to
disagree). Sehingga menimbulkan perpecahan ditengah-tengah umat.
Menyadari hakikat bahwa perbedaan pendapat para ulama itu tidak dapat dielakkan
khususnya dalam hal-hal furu'iyah yang terperinci dalam hal ibadah, maka para
ulama usul telah merumuskan bahwa "kebenaran dalam perkara ranting (furu')
itu sangat banyak."
Lalu selama kita mengikuti pandangan mayoritas ulama (al-sawad al-a'zam) yaitu
para imam mazhab empat dari kalangan Ahlul Sunnah wal Jamaah, maka Insya Allah
kita berada di atas landasan dan jalan yang benar.
Renunglah nasihat para ulama dahulu dalam mengambil sikap beradab apabila
menangani perbedaan pendapat dengan menekuni karya-karya mereka yang banyak
berhubungan dengan adabul ikhtilaf (Adab Berbeda Pendapat).
Imam Asy-Syafii rahimahullah (-204 H) dalam washiat beliau berkata:
وأعرف حق السلف الذين
اختارهم الله تعالى لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم، والأخذ بفضائلهم، وامسك عما
شجر بينهم صغيره وكبيره
Ini perkataan dan bimbingan Imam Asy-Syafii, untuk tidak membicarakan
perselisihan yang terjadi di antara salaf, yaitu para sahabat. Beliau
menyatakan bahwa generasi sahabat adalah termasuk salaf.
Ini perkataan dan bimbingan Imam Asy-Syafii, untuk tidak membicarakan
perselisihan yang terjadi di antara salaf, yaitu para sahabat. Beliau
menyatakan bahwa generasi sahabat adalah termasuk salaf.
Imam al-Shatibi r.a. sendiri sebagai contoh menulis:
Sesungguhnya perbedaan pendapat yang terjadi pada zaman sahabat hingga ke hari
ini berlaku adalah dalam masalah-masalah ijtihadiyyah. Pertama kali ia berlaku
pada zaman Khulafa' al-Rasyidin dan sahabat-sahabat yang lain, lalu berlanjut
hingga zaman para tabi'in dan mereka tidak saling mencela di antara satu sama
lain. (al-I'tisham 2/191)
Juga dalam beberapa perkara furu’ yang masih dalam ranah perbedaan ijtihadiyah,
Islam juga memberikan kelonggaran kepada kaum muslimin untuk mengamalkan sesuai
dengan pendapat yang rajih menurut keyakinannya, tentunya berdasarkan ilmu dan
manhaj yang benar.
Ibnu Wahab menceritakan dari Qasim, ia berkata: Bahwa Qasim pernah berkata: Aku
kagum akan perkataan Umar bin Abdul ‘Azis, “Aku tidak suka jika para sahabat
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berselisih pendapat. Sebab jika
mereka dalam satu pendapat niscaya manusia akan mengalami kesempitan. Mereka adalah
Imam yang patut diteladani. Jika seseorang mengikuti salah seorang dari mereka
maka ia berada dalam keleluasaan.”
Mereka berkata :"Jika kami memilih pendapat yang paling ringan [paling
enak, -pent] maka tindakan kami ini adalah memudahkan dan menghilangkan
kesulitan". Maka jawaban kita kepada mereka :"Sesungguhnya penerapan
syari'at dalam seluruh sisi kehidupan itulah yang disebut memudahkan dan
menghilangkan kesulitan, bukan menghalalkan hal-hal yang haram dan meninggalkan
kewajiban-kewajiban".
Imam Asy-Syatibi telah membantah orang-orang yang berhujjah dengan model ini
dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam."Artinya : Aku telah
diutus dengan [agama yang] lurus yang penuh kelapangan" [Hadits Hasan].
Seraya [Imam Asy-Syatibi] berkata : "Dan engkau mengetahui apa yang
terkandung dalam perkataan [dalam hadits] ini. Karena sesungguhnya [agama]
"lurus yang penuh kelapangan" itu hanyalah timbul kelapangan padanya
dalam keadaan terkait dengan kaidah-kaidah pokok yang telah berlaku dalam
agama, bukan mencari-cari rukhsah dan bukan pula memilih
pendapat-pendapat dengan seenaknya". Maksud beliau yaitu bahwasanya
kemudahan syari'at itu terkait dengan kaidah-kaidah pokok yang telah diatur dan
bukan mencari-cari rukhsah yang ada dalam syari'at.
Kesimpulan :
Dengan perbedaan pendapat itu mereka (para shahabat) memberikan kita kesempatan
memilih pendapat dan ijtihad mereka. Itu karena ijtihad dibenarkan dan
perbedaan pendapat merupakan suatu kemestian. Setiap muslim dipersilahkan
beramal sesuai dengan dalil dan pemahaman yang dilihatnya lebih kuat sesuai
dengan mazhab 4. Inilah makna “keleluasaan dan rahmat” yang dimaksud di atas.
Tidak berarti bahwa semua pendapat kendatipun saling bertentangan itu benar.
Kebenaran hanya ada pada salah satu diantaranya, tetapi semua pendapat itu
terpuji dan diberi pahala selama tidak bertentangan dengan Al. Quran, Al Hadist,
Ijma' dan Qiyas.
Bila sudah jelas keterangan dalil dan nash seperti halnya shalat, puasa, zakat
dan haji hendaknya tidak perlu ada lagi perdebatan di antara kita. Inilah yang
saya maksud ikutilah as shamad al a'zam agar kita bisa bertasamuh demi
persatuan umat bukan untuk mencari-cari pembenaran dan selalu tampil beda.
Wallahuwaliyyuttaufiq wal hidayah wassalamu'alaikum wr wb.
Pengurus Harian DPP PERTI
Al Faqir
Hadya Noer (https://www.facebook.com/hadya.noer)
Dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah karangan Ibnu Faris, kata samahah
diartikan dengan suhulah (mempermudah). Pengertian ini juga diperkuat dengan
perkataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari yang mengartikan kata
al-samhah dengan kata al-sahlah (mudah), dalam memaknai sebuah riwayat yang
berbunyi, Ahabbu al-dien ilallahi al-hanafiyyah al-samhah. Perbedaan arti ini
sudah barang tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan kata-kata ini dalam kedua
bahasa tersebut (Arab-Inggris).
Artinya : “… Allah menghendaki kemudahan bagimu
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu …” (QS. Al-Baqarah: 185)
Artinya : “Dan berjihadlah kamu di jalan Allah
dengan jihad sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak
akan menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang
tuamu, Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari
dahulu ….” (QS. Al-Hajj: 78)
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu anhuma-, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam pernah ditanya: “Agama apa yang paling dicintai oleh Allah ‘Azza wa
Jalla ? Beliau menjawab: “Al-Hanifiyah As-Samhah” (yang mudah dan yang lurus).
(HR. Al-Bukhari)
Artinya : “Dan aku mengakui hak salaf yang telah
dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, dan
memegang dengan keutamaan-keutamaan mereka, dan aku menahan diri dari perkara
yang mereka perselisihkan baik yang kecil atau besar.”
Ibnu Hazm berkata [dalam Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam. hal. [69]
:"Sesungguhnya kita telah mengetahui bahwa seluruh yang diwajibkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah kemudahan, sesuai dengan firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala."Artinya : Dan dia [Allah Subhanahu wa Ta'ala]
sekali-kali tidak menjadikan bagi kalian dalam agama suatu kesempitan"
[Al-Haj : 78]
Ketua Pemuda Islam Perti Manggeng, Aceh